Kamis, 14 April 2016

Keputusan Sakha

Sakha sudah kelas enam tahun ini. Sebentar lagi SMP. Kalo dari badannya, tingginya sudah hampir menyamai tinggiku, sudah menyalip telinga.  Ukuran sepatu, jangan ditanya, sudah satu nomor di atasku.  Kami mencandainya dengan menyebut "big foot", dan Sakha tak kurang akal balas meledekku dengan sebutan "kaki bantet"

Ini Sakha Cilik
Sejak kelas 4 sih, Sakha bilang pengen masuk boarding school jika SMP, maunya sih meneruskan di SMP di yayasan yang sama dia sekolah dari Batita sampai SD sekarang....tapi  karena berbagai pertimbangan (terutama itungan matematika manusia) sejak awal aku memintanya untuk mencari alternatif boarding school  yang lain.  Saat si bungsu Shafa lahir keinginannya berubah, Sakha mau sekolah yang tiap hari pulang biar bisa ketemu adik imutnya setiap hari. 

Aku sih mendukung dua-dua pilihan Sakha, kalo mau boarding ya mari kita pilih sekolah yang sesuai di hati dan terjangkau di kantong.  Jika mau sekolah yang tiap hari pulang ya mari tentukan sekolah mana yang jadi target dan berusaha memenuhi kualifikasi murid sekolah sasaran.

Karena di awal kelas 6 Sakha bilang mau sekolah di SMP negeri (SMPN 9 atau  SMP Banguntapan I), aku mulai brosing syarat nilai kedua SMP itu.  Karena standarnya lumayan, aku menyarankan Sakha untuk ambil les 3 pelajaran UN untuk persiapan.

Sakha setuju, setelah mencoba les klasikal di salah satu bimbel dekat rumah (Sakha nggak cocok....karena biasa belajar dengan small group di sekolah).  Akhirnya Sakha les berdua  teman sekelasnya dengan satu guru privat.

Agustus -Desember 2015  les privat berjalan baik, Sakha dan temannya dapat tentor yang asyik dan sabar.  Aku sebenarnya gak pasang target nilai untuk Sakha....tapi karena dia punya keinginan masuk ke SMP yang tadi disebut di atas ya kusampaikan nilai minimal yang harus dia punya.

Januari 2016 teman Sakha memutuskan untuk berhenti les karena dua sebab:
1. Mulai Januari 2016 di sekolah Sakha ada les mapel UN setiap hari Sabtu (biasanya sabtu libur)
2. Teman Sakha sudah mendaftar dan diterima di salah satu boarding school di Kendal (Jateng)

Yasudah, Sakha melanjutkan les privatnya sendirian.  Awalnya dia menawar untuk berhenti les juga....tapi setelah negoisasi berjalan lumayan alot akhirnya les tetap dilanjut.

Aku dan suami memutuskan untuk tetap menganjurkan Sakha les bukan sekedar untuk mendapat target nilai tertentu...tapi berupaya mengajarkan sebuah usaha, kerja keras dan sungguh-sungguh untuk mendapatkan sesuatu.

Berapapun nilai UN Sakha nanti, kami tetap akan mencarikan sekolah yang terbaik untuk Sakha. Jika SMP negri target tidak terkejar, kami sebenarnya sudah siapkan alternatif B dan C (tentu saja ini di luar pengetahuan Sakha).

Februari 2016, sepulang sekolah tetiba Sakha bilang padaku "Ibuk, kakak memutuskan mau sekolah di Pati" (pondok pesantren ini adalah tempat sebagian putra-putri ustad/ustadzah di sekolah Sakha me nyekolahkan anak-anak mereka).

Pernyataan Sakha berlanjut dengan diskusi "mengapa dan mengapa" akhirnya dia memutuskan untuk mondok di Pati.

Sepertinya aku kok yang jadi gak rela membayangkan terpisah jarak dan waktu dengan Sakha, sekolah yang dimaksud berjarak ratusan kilo dari rumah....yang berarti tidak tiap pekan aku bisa bertemu.

Kucoba "melemahkan" keputusannya dengan pertanyaan....bagaimana dengan karate-nya? bagaimana dengan rencana les gitar-nya? bagaimana dengan konsekuensi tidak ketemu adik-nya?, bagaimana jika kami hanya bisa menengok sebulan sekali saja? dan bagaimana-bagaimana yang lain.

Semua itu dijawab Sakha dengan mantap dan satu kalimat Sakha yang membuatku berhenti bertanya adalah "Ibuk...kalo aku sekolah di SMP negri, aqidah-ku gimana?"

Ow...ow....dari TK sampe PT aku sekolah di negri....dan beginilah aqidah ku sekarang (sujud panjang mohon ampun)

Nampaknya tekad Sakha tak terbantahkan, dia memilih sekolah di Pati karena tidak mau sekolah negri dan kami orangtuanya mengatakan tidak untuk SMP Bias.
Aku iyakan saja keinginan Sakha....malamnya aku brosing lagi alternatif SMPIT yang ada di seputaran Jogja.  Hatiku kok rasanya diremes-remes pake garam ya...mbayangin Sakha harus jauh ke pati sana *episodemaklebay

Akhirnya dapat beberapa alternatif yaitu di sini, di sini, di sini dan di sini. 

Esok harinya setelah begadang semalam, aku tawarkan empat alternatif itu ke Sakha, dengan segala screenshoot  hasil pencarian semalam.  Profil sekolah, syarat, berita tentang sekolah....pokoknya segala info kuupayakan selengkap mungkin kusampaikan ke Sakha.

Akhirnya Sakha memutuskan untuk mencoba mendaftar di Pondok Bina Umat, jaraknya tak terlalu jauh dari rumah (meski bukan yang terdekat)...hanya 45 menit saja.  Masih di seputaran DIY, hanya beda Kabupaten saja.

Pekan berikutnya kami sekeluarga survey ke-sana, melihat lokasinya, melihat sekolah, asrama dan kamar-kamarnya.  Ketika kutanya Sakha, mantap kah untuk mendaftar? dia jawab "Iya"

Ini sudah kelas 6
Pekan berikutnya Sakha tes masuk, ada tes tertulis, baca Qur'an, cek hafalan, sholat, wawancara Sakha dan wawancara orangtua.  Saat pengumuman Alhamdulillah Sakha diterima.  Setelah pengumuman diterima, kembali kutanyakan kemantapan hati Sakha....ia jawab "mantap", maka kami melakukan proses registrasi, membayar, dan mendapatkan kain seragam.

Yah, inilah keputusan Sakha....sekarang dia tetap les privat di rumah...meski sudah diterima SMP tapi les tetap berjalan agar "belajar tentang usaha" tidak berhenti begitu saja.

Dia mulai membuat daftar barang yang harus dibawa ke  asrama, bersemangat memulai hidup jadi anak pondok dan  bilang ke Akhsan "Selamat menikmati jadi anak tertua dirumah ya, San"

Ahhaaai....ada apa dengan anak tertua? itu cerita lain waktu saja ya

*Proud of you, Ndhuk....sudah bisa mengambil keputusan besar dalam hidup.





Jangan Asem