Rabu, 06 Januari 2016

Sunatan Abbad



Rencana awal Abbad sunat bulan Juli 2015  lalu, setelah wisuda TK, sebelum masuk SD, sama dengan Mamas Akhsan yang masuk SD dengan ‘bentuk baru’.  Tetapi ternyata, pulang wisuda Abbad ngeluh pusing dan telinga sakit. Gondongan rupanya.  Jadi, kutelpon tempat sunatnya dan kubatalkan pendaftaran sunat Abbad dan waktu sunat diundur sampai pemberitahuan berikutnya.

Enam bulan setelahnya saat  liburan semester  Abbad akhirnya sunat.  Kali ini setelah ujian sabuk karate, naik dari putih menjadi kuning.  Berbeda dengan saat mengantar sunat Akhsan dahulu yang gak ngerti apa dan bagaimana itu sunat (Gimana bisa ngerti ya, satu-satunya saudara laki-lakiku disunat saat aku masih bayi).  Sunat Abbad sudah lebih siap, terutama menyiapkan kondisi fisik dan mental Abbad.

Pengalaman saat Akhsan sunat dulu, pemulihan yang paling lama bukan dari jahitan kulitnya, melainkan luka di kepala penisnya.  Jadi, waktu itu setengah kepala penis Akhsan itu masih terbungkus kulit (kulup) sehingga pada saat proses menyunat dipaksa dibuka dan menimbulkan luka yang membuat Akhsan kesakitan.  Aku bertanya kepada suamiku, apakah kulit yang menutup kepala penis akan terbuka dengan sendirinya seiring dengan bertambahnya umur. Kata suamiku, jika tidak ditarik-tarik atau dibuka sedikit demi sedikit, kulup tetap akan menutup kepala penis meski sudah dewasa.

Belajar dari pengalaman Akhsan, sejak umur tiga tahun Abbad mulai kuminta menarik sedikit demi sedikit kulup nya setiap mandi.  Sampai umur 6 tahun, usaha sedikit demi sedikit itu berhasil.  Ketika kulup nya ditarik, kepala penis Abbad sudah tidak lagi lengket tertutup kulup.  Ini yang membuat proses sunatnya lebih ‘tidak menyakitkan’ dibanding Akhsan dulu.

Tapi ya....tetap saja ada tapinya.  Karena merasa tidak terlalu sakit, Abbad itu bergerak, beraktivitas dan polah seperti yang tidak habis sunat.  Masak pukul 14.00 disunat, pukul 17-an sudah main berguling-guling di kasur bareng adik sepupunya yang berkunjung ke rumah.
Ketika kuminta Abbad untuk agak anteng, dia bertanya “Emang gak boleh sama dokter?”
“Iya” jawabku mantep

Berhenti sebentar setelah itu ya sama aja polahnya, bahkan tidur malam harinya Abbad sudah meluk guling posisi hampir tengkurep.  Hadeeeh.

Abbad mulai mengeluh tidak nyaman ketika tidur malam.  Berkali-kali dia terbangun karena merasakan penisnya tegang dan terasa sakit.  Kata suamiku, ya memang seperti itu. Setelah sunat, ketika penis tegang akan terasa sakit dan tidak nyaman.  Suamiku memberi saran kepada Abbad untuk turun dari tempat tidur dan berjalan-jalan sebentar untuk meredakan ‘ketegangannya”. Beberapa malam setelah sunat, kami (aku dan suami) menemani Abbad bangun malam tiap kali tegang. Sepekan berlalu, Abbad mulai tenang saat malam hari, jahitan sudah mulai mengering, bengkak sudah berkurang, jadi mungkin rasa sakit saat penis tegang juga tidak sedhasyat sebelumnya.

Ketika kutanya Abbad, “Kalo malam udah gak ngaceng? (istilah Abbad untuk penis tegang)
“Masih, tapi aku udah punya cara praktis” Katanya bangga
“ Gak usah jalan-jalan kayak yang diajarin Bapak.  Diam aja sambil digerak-gerak kan dikit penisnya, nanti gak ngaceng lagi” Sambung Abbad sambil senyum lebar.

Dua pekan setelah sunat, Abbad sudah sekolah karena liburnya tlah usai. Sudah sembuh luka sunat nya.  Meningkat percaya dirinya, dan punya niat usil untuk menakut-nakuti teman sekelasnya yang sebagian besar belum sunat.  Heemmmmm.....anak-anak.




Senin, 04 Januari 2016

Oss !



Sudah sejak di Taman Kanak-Kanak Abbad bilang ingin ikut olahraga beladiri, karena Sakha sudah les renang dan Akhsan ikut sekolah sepakbola.  Mencari-cari tempat les beladiri di sekitaran rumah kok belum dapat informasi, jadi untuk menyalurkan hasrat olahraga-nya, Abbad kami ikutkan les renang sepekan sekali. 

Namanya cuma sepekan sekali ya, beda dengan Sakha yang belajar renang sepekan tiga kali jadi cepat lancar dan bisa empat gaya dalam hitungan bulan.  Abbad ini kok berbulan-bulan gak signifikan perkembangannya, selain karena frekuensi yang hanya sepekan sekali dan itu pun sering bolong kalau kami ada acara di akhir pekan sehingga Abbad gak berangkat renang.  Jadi begitulah.

Awal masuk kelas satu ada alternatif tempat latihan beladiri di Janti (gak terlalu jauh dari rumah), Aikido Jogja.  Kucari tahu tentang beladiri ini, filosofinya keren.  Suamiku mencoba menghubungi kontak yang tertulis di brosur yang kami dapat (ternyata suamiku kenal kontak person ini di urusan pekerjaan).  Kelas anak jadwalnya Sabtu sore dan  dibatasi 20 orang, sehingga anakku masuk dalam daftar tunggu ke-2, yang akan dihubungi jika ada anak yang tidak aktif latihan. 

Jadi, tiap kali Abbad bertanya kapan dia mulai latihan aikido, kami jawab “Tunggu SMS, Ya”.  Sebulan lebih sms tak kunjung tiba, berarti kuota 20 ini masih terpenuhi, tidak ada anak yang keluar atau mengundurkan diri.

Suatu sore, Abbad dan Bapak bertemu seorang anak laki-laki berbaju karate di swalayan dekat rumah.  Usai membayar di kasir, ditanyailah anak itu tempat latihannya di mana, jadwalnya kapan dll.  Ternyata ada tempat latihan karate yang lebih dekat lagi dari rumah, di Dojo Samawi.  Lokasinya di utara gedung Jogja Expo Center.  Jadwal latihannya pun bersahabat, yaitu Selasa dan Sabtu sore. 

Akhirnya Abbad mulai berlatih karate, Sakha pengen ikut juga karena les renangnya sudah berhenti dan kami pikir bisa lah menjadi pendamping dan penyemangat Abbad.  Benar saja, Sakha belajar dengan cepat dan oleh senpei-nya diminta mengajari Abbad di rumah.  Jadi, Sakha mengunduh video karate dari youtube dan rajin berlatih dengan Abbad di rumah.  Abbad yang menjadi anak paling kecil di dojo-nya, tampaknya menjadi kesayangan teman-temannya.  Wajahnya yang lucu dan umurnya yang paling muda membuat dia mudah dikenali, sering disapa dan digoda hehehe.  Untungnya Abbad oke-oke saja dan menikmati latihan demi latihan.  Latihan rutin di dojo dengan puluhan teman yang semuanya lebih besar, latihan bersama di Sleman dengan ratusan orang, latihan intensif sepekan full di kampus UIN, dan akhirnya ujian sabuk di aula STPN Yogyakarta.  



Sabuk putih Sakha dan Abbad sudah berganti jadi warna kuning sekarang, keduanya masih bersemangat untuk terus  olahraga.  Sakha menetapkan target untuk dapat sabuk hitam ....Oke...Sehat terus dan semangat terus ya, Nak !

Mood itu...



Katanya kalau menulis gak boleh tergantung mood, to? Harus konsisten dan punya target, buat sebagian orang tampaknya mudah berdisiplin menulis dan menulis.

Tapi kok gak berlaku ya buat aku, pernah sih mencoba untuk pokoke nulis.  Entah itu akhirnya jadi draft saja, judul saja, atau jadi nggladrah tak terkira.
Tapi tetap saja akhirnya jadwal pokoke nulis itu tidak bisa kupatuhi. Mungkin karena aku memang cuma penulis abal-abal, jadi tidak bisa sekerenmereka yang bisa punya karya dan terus berkarya tanpa terpengaruh cuaca hati dan suasana jiwa.

Disiplin dengan tenggat waktu hanya bisa kulakukan kalau ada ‘keterikatan’ dengan pihak lain, misalnya: tugas kantor (namanya staf ya, jelas kapan harus ngumpul tugas dari atasan), tugas kuliah  (kalau ini karena jelas konsekuensinya, kalo telat ngumpul gak dapat nilai) , tesis (lha kalo gak dikerjakan, beasiswa keburu habis), proyek nulis bareng teman-teman (gak enak dong, mengganggu jalannya proyek karena keterlambatanku).  Selebihnya kalo  nulis itu untuk mengisi blog berdebu-ku itu kok ya tergantung mood nya ampun tak terkira.

Kalau lagi pengen nulis itu, jam berapa saja ya kujabanin melek.  Tapi kalo udah yang namanya gak minat, waktu seluang apapun kok ya gak bisa tertuang ke tulisan meski cuma selembar. Dan waktu dua setengah  tahun terakhir ini bisa dihitung dengan jari tulisanku di luar yang wajib-wajib tadi yang bisa nyampir di blog.  Cuma 16 tulisan dalam waktu 30 bulan, jadi hanya satu tulisan dalam dua bulan (ih, kebangetan)
Bandingkan dengan tahun 2012 yang bisa posting 99 tulisan yang artinya dalam satu bulan bisa posting 8 tulisan, satu minggu 2 tulisan, jadi tiap tiga hari sekali posting tulisan. Padahal waktu itu kerjaan kantor buanyaaaak.

Mencari pembenaran katanya ...katanya lho ini, kegelisahan hati akan menjadi pemantik paling cihuy untuk membangkitkan mood dan menyalurkannya dalam bentuk tulisan.  Kalo dipikir-pikir, dua setengah tahun terakhir ini aku ada kesempatan sekolah yang artinya tidak bersentuhan dengan rutinitas kerja yang (faktor X di luar kerjaan) bikin banyak pikiran.  Ketika sekolah kok kegelisahan hati hilang.....ujungnya gak terpantik untuk nulis....ha ...ha...ha....mencari pembenaran.

Etapi bisa juga sih, hari ini hari pertama kerja di tahun 2016. Masih menunggu keputusan penempatan kembali di mana aku bakal ditugaskan.  Kegelisahan hati menyelimuti daaaan....munculah tulisan ini.


Jangan Asem