Selasa, 14 November 2017

Pesan Untuk Kakak

Pekan lalu berkabar dengan ustadzahnya Sakha di pondok,
Ustadzah menyampaikan ada perubahan pada Kakak, tidak se-semangat dulu.

Saat penjengukan sebelumnya memang Kakak sempat curhat beberapa hal yang sedikit banyak mengganggu dirinya.

Aku kirimkan tulisan ini untuk Si Kakak, lewat ustadzahnya (catatan: sudah dapat ijin Kakak untuk ditulis di blog sebagai pengingat)

Assalamualaikum,Kakak.

Ingat nggak buku cerita berjudul "Gurita yang suka menggelitik"

Iya, itu salah satu buku yang berulang diminta Abbad untuk diceritakan sebelum tidur, sampai hafal seluruh kalimat dan intonasi suara ibu saat membacanya.

Sekarang Shafa juga lagi senang dibacakan cerita itu, setelah tamat cerita Muhammad dan buku 
Hiu murah senyum.

Kakak masih ingat kan jalan ceritanya?
Ketika si gurita akhirnya dapat menemukan kemampuan  dirinya yang bisa  berenang cepat, berbadan lentur, dan menyemprotkan tinta nya selain 'sekedar suka menggelitiki ikan-ikan kecil'.

Bagaimana dia bisa menemukan kemampuan itu?

Itu terjadi ketika gurita ' terpaksa' harus mengejar mutiara milik kerang yang jatuh. 
Mutiara yang jatuh karena si kerang kaget digelitik gurita. 
Gurita terpaksa mengejar karena harus bertanggungjawab pada apa yang sudah dilakukannya.

Kadang kita memang harus memaksa diri kita sendiri, 
sedikit lebih keras, 
dan terkadang dengan sangat keras. 
Untuk mendapatkan apa yang kita inginkan, untuk mencapai apa yang kita cita-citakan.

Kakak pun pernah melakukan itu, 
Ingat nggak ketika kakak merengut-rengut karena harus les dengan Mbak Rifka, 
ternyata dengan sedikit memaksa diri waktu itu berhasil mengantar kakak mencapai target mengalahkan nilai UN ibu.
 
Atau ketika kakak berlatih mengurai tajwid, yang semula kakak bilang sangat-sangat sulit ternyata bisa juga lancar dengan  memaksa diri untuk berdisiplin berlatih.

Kakak sayang, 
Pencapaian  kakak sekarang ini sudah membuat ibu dan bapak bangga.
Berani memutuskan sekolah di pondok, meskipun  diberikan kesempatan untuk memilih yang lain, sanggup melewati masa transisi yang ibuk yakin tidak mudah, dan sekarang ini sudah masuk di tahun kedua dengan baik.

I know you so well, 
Push your self a little bit more
You will find that you are good enough at doing lots of other things.

Ibu sayang kakak...
Wassalamualaikum 

Jadi begitu, beberapa hari kemudian setelah pesan itu tersampaikan, aku bertemu dengan si Kakak
Ada gurat semangat yang kembali merona, ada optimisme yang kembali terpancar.

Doa ibuk dan bapak selalu menyertaimu, anakku


Selasa, 07 November 2017

Menggeser Cita-Cita

Ini masih cerita tentang Raan2 dan hobbynya, sepakbola.

Tak kuingat pasti sejak kapan Akhsan mulai menyukai bola, yang pasti sudah sejak kecil. Bapaknya sudah berhasil mengajak anak laki paling gede nya punya kesukaan yang sama terhadap bola. Perihal kesukaannya pada bola ini sempat aku coba manfaatkan untuk membuat Akhsan gemar membaca, meskipun saat itu nampaknya kurang berhasil. 

Ada ceritanya di sini : Akhsan belajar membaca

Keinginan Akhsan untuk jadi pemain bola pernah diutarakan padaku 5 tahunan yang lalu, dan spesial yang diinginkannya adalah menjadi pemain belakang. 

Pernah kutuliskan di sini:  Akhsan Pengen jadi Bek 

Keinginan Akhsan jadi pemain belakang sebenarnya ngeri-ngeri sedap deh buat ibuknya, melihat para pemain bola bermain si kulit bundar semakin besar kok semakin ngeri mainnya. Gedubrakan, main body...seram lah. 

Pernah suatu saat melihat salah satu pelatih Akhsan. yang tampilannya super duper kalem di luar lapangan, begitu main bola ngeri banget seruduk sana dan sini, dan pelatih Akhsan itu pemain belakang...hmmmmm

Lha pekan kemarin nungguin Akhsan latihan, rebutan bola sama temannya sembari dorong-dorong sana sini, sampai Akhsan terjatuh.  Anaknya sih ketawa-ketawa aja, dibantu berdiri oleh teman yang menjadi asbab jatuhnya dia, tapi emboknya ini kok 'mak tratap' di pinggir lapangan.

Semula memang Akhsan berposisi menjadi bek, tapi seiring berjalannya waktu ternyata karakter bermain  Akhsan lebih cocok menjadi seorang gelandang.

Bagaimana gaya Akhsan bermain bola pernah kutulis di sini:  Karakter Akhsan di Bola

Suatu waktu pernah aku, Akhsan, Sakha dan si Babe melihat acara TV yang mengungkap "patgulipat" di dunia bola, saat itu ada pemain, wasit dan manager yang diwawancarai. Sakha waktu itu ngomong sama adiknya.

"Nggak usah jadi pemain bola, San...ih...itu pake uang suap segala, haram lho!" Kata Sakha
"Haram, po Bu?" Akhsan bertanya memastikan padaku
"Kalau mengatur pertandingan, itu fair play nggak, San?" Aku menjawabnya dengan pertanyaan balik

Akhsan berfikir sejenak, "Kalau aku tetap main sepak bola dan nggak terima suap nggak papa kan, Bu?"
Aku tersenyum saja saat itu, "Boleeeh, jadi hobby saja juga boleh" sahutku

Selanjutnya masih panjang obrolan soal pengaturan permainan di dalam maupun di luar negeri, panjang karena Bapaknya ikut nimbrung ngobrol soal ini. Kalo aku sih lebih banyak nanya karena gak tau. Setelahnya Akhsan belum menggeser keinginannya, dan  tetap mau jadi pemain bola.

Sekitar dua tahun yang lalu Akhsan sempat mengeluh kakinya sakit, jalannya berjingkat-jingkat menahan sakit.  Sebelumnya dia sempat jatuh dan tertimpa badan temannya yang berpostur lumayan besar. Waktu itu, suamiku membawanya ke  putra "Bang Udin". Bagi yang belum kenal siapa Bang Udin silahkan baca di sini 
Sepulang dari Bang Udin, Akhsan sudah tersenyum kembali dan menceritakan lamanya antri gak sebanding dengan cepatnya terapi untuk perbaikan kakinya.
"Cuma klek-klek, selesai Bu" Begitu katanya.
Karena cuma klek-klek aja, cedera ini gak membuat Akhsan jera bermain bola, dia masih tekun berlatih dan bersemangat ikut tiap kali ada turnamen.

Nah, cederanya ini muncul kembali 2 bulan lalu.  Akhsan dibawa ke klinik terapi di daerah Warungboto, terapisnya pernah berpraktik di Klinik Terapi Fisik Universitas Negeri Yogyakarta kemudian membuka praktik mandiri untuk cedera olahraga.

Yang pengen tahu tentang KTF UNY silahkan klik di sini

Kami telpon dulu untuk janjian dengan terapisnya kapan bisa melakukan terapi.  Info dari Pak Eko, sang terapis dia membatasi pasien maksimal 10 hari per orang.
Akhsan dapat jadwal esok harinya pukul 10 pagi, sampai di sana lepas celana panjang lalu diminta tengkurap lalu dipegang-pegang sebentar.
 "Olahraganya sepak bola? "tebak sang terapis
" Iya,", jawab Akhsan pendek
Lalu pak terapis menjelaskan apa yang terjadi pada otot Akhsan dan terapi yang akan dilakukan.  Aku agak lupa detilnya karena yang antar waktu itu suamiku dan saat suamiku cerita aku tidak merekam dengan baik apa yang dicertakannya he he .
Intinya Akhsan diminta istirahat dulu 5 hari agar kakinya segera sembuh.

Istirahat lima hari tanpa bola cukup membuat bete Akhsan, memang iya Akhsan istirahat dari latihan di SSB, tapi masih saja curi-curi main bola di sekolah.
Nah, dua pekan yang lalu Akhsan cedera lagi, saat latihan dia kena takling teman dan posisi jatuhnya tidak tepat, berjingkat-jingkat kesakitan lagi.

Pulang sekolah senin sore Akhsan menahan tangis, bukan karena sakitnya tapi karena khawatir tak bisa ikut turnamen sementara dia sudah masuk tim yang akan berangkat dan dapat kartu pemain.

Akhsan menolak kuajak terapi, karena dia menduga pasti disuruh istirahat setelah diterapi. Kubujuk dengan lembut untuk tetap terapi dengan mempertimbangkan efek jangka panjang untuk kakinya jika dipaksa bermain, malah membuat Akhsan semakin banyak beralasan dan berurai air mata.

Akhirnya dengan 'intonasi ibu negara' aku putuskan untuk membuat janji terapi dilengkapi penjelasan panjang bla bla tentang fungsi kaki yang bukan 'sekedar' untuk main bola saja.  Ada banyak hal lain yang harus ditopang oleh kaki, dan kakinya yang cedera bila dipaksa untuk bekerja keras akan berakibat panjang ba..bla...bla

Jam 10 esoknya kujemput Akhsan dari sekolah untuk dibawa terapi, kembali ke tempat terapi sebelumnya.
Kali ini otot betis Akhsan ketarik, tegang, kaku, nyeri kalo dipake jalan.

Setelah tengkurep,  disinar, dipijat dan ditarik, Akhsan diminta mencoba berjalan. Dua kali puteran jalan aku bilang ke terapis nya 
"Itu jalannya belum normal, Mas"

Lalu Akhsan diminta naik kembali ke atas kasur, kali ini telentang.  
"Oh, ada yang geser sedikit" Kata terapisnya. Kembali dioles minyak, diurut, lalu ditarik sampai bunyi "klek", disertai cengiran Akhsan menahan rasa (entah nyeri entah lega).

"Coba jalan lagi" Kata Mas terapis
Akhsan jalan lagi bolak-balik dan terlihat lebih baik dari sebelumnya
"Gak sakit" katanya tersenyum lega.

Kami pulang dengan nasehat istirahat bola dua hari, kompres kaki di malam hari, peregangan yang baik sebelum mulai tanding nanti dan anjuran tambahan untuk mengoles dengan balsam atau penghangat otot sebelum bertanding.

Akhsan lega masa istrirahatnya cuma sebentar, jadi dia tetap bisa ikut turnamen.  Ibuk lega karena jalan Akhsan sudah tidak lagi terpincang-pincang.

Sepulang dari sana dan dilanjutkan beberapa hari kemudian pembicaraan menghangat di seputaran 'pekerjaan' di lapangan hijau.
Menjadi pemain  bukanlah satu-satunya profesi yang bisa aktif  di lapangan bola, ada wasit, pelatih, official, tenaga kesehatan, ahli gizi, terapis, dll, dll.

Abbad ikut nimbrung dengan bertanya, 
"Kalau aku gak jadi pemain bola tetep bisa main bola ya?

"Teteplah, main bola jadi hobby yang menyehatkan, pekerjaannya bisa yang lain, yang penting lagi tetep sholih apapun pekerjannya" kataku

"Kalo terapisnya kemarin itu ustadz juga lho, Bu. Ngajar di pondok yatim putri" tambah Akhsan.

"Nah iya, terapis tuh bisa menolong banyak orang.  Banyak pemain bola tanpa melihat dari klub mana dia berasal, bagus kan?" timpalku

Ya....pembicaraan ini akan terus bersambung. 
 Boleh Nak,  menggeser cita-citamu dari pemain bola,  yang tetap berkaitan dengan bola yang sudah kau cintai sedemikian rupa, yang penting sholih dan manfaat untuk orang lain.








Senin, 23 Oktober 2017

Pengamat Tampilan

Mei !
Lima bulan berlalu setelah posting terakhir di blog ini.

Anjas, kemana saja kamu?
Ya, tidak kemana-mana...di sini saja. Setiap hari menghadap layar monitor, menarikan jari di keyboard, tapi tak menyentuh blog pelipur hati ini.
Lebih banyak berkutat di seputaran laporan dan anggaran, aplikasi ini dan aplikasi itu.

Jadi baiklah, rasanya seperti gagu, ingin menulis selancar dulu.  Tapi yang terketik pilihan katanya tarasa kaku dan wagu. hmmmm

********
Ini cerita tentang Akhsan, Raan2 yang beranjak besar. Rupanya pemuda kecil ini tipe pengamat yang  detil. Sejak kecil memang Raan2 detil saat menggambar, detil dalam merapikan dan menata mainan, detil dalam menyimpan barang kesukaan. 

Sampai besar sekarang Raan2 jadi pengamat detil ibunya:
  1. Suka menirukan dengan level kemiripan advance bagaimana tahapan perubahan wajah ibunya kalo pas bahagia - biasa aja - jengkel - marah
  2. Tahu kapan hari-hari ibunya agak angot kalau pas PMS, "Ibu mau mens ya?" itu tanya nya dengan santai kalu ibunya lag bad mood.
Suatu saat kami pernah ngobrol begini:

Raan2: " Ibuk itu kalau jemput aku tapi gak pas sekalian pulang dari kantor tuh bajunya kurang rapi"
Ibu     : "Iya, kah? kayaknya ibuk pake baju biasa aja deh"
Raan2: "Iya, kalo diumpamakan laki-laki itu ibuk suka pake kaos oblong"

Memang sih, aku dasarnya gak suka pake seragam. Tapi enggaklah pake kaos oblong jemput anak-anak ke sekolah.

Ibu     : "Misalnya kapan sih pas ibuk pake baju gak rapi?
Raan2: "Waktu jemput aku pulang kemah itu lho, Buk?"

Aku berusaha mengingat-ingat pake baju apa waktu itu, bawahannya kulot lebar dan atasannya hem lengan panjang yang bahannya adem dan berwarna coklat, dan jilbab kaos lebar hitam polos.  Mungkin warna coklat hem itu udah mulai pudar ya, etapi selain warna coklat itu warna kesukaanku, kain adem yang semakin sering dipakai dan semakin kusem akan semakin adem kan?
Tapi memang kalo aku berada di antara para ibu penjemput yang bergamis warna-warni dengan kerudung, pashmina dan teman-temannya yang trendy pastilah nampak seperti kepompong diantara bunga dan kupu-kupu.

Ibu     : "Ogitu, maaf ya kalau Akhsan malu ibuk pake baju kurang rapi"
Raan2: "Gak papa sih, Buk. Yang penting ibuk nyaman"

Aih, anak ini masih jaga perasaan ibunya juga.  Okelah sayang, Ibuk akan mencoba lebih rapi dan tidak 'se-oblong' sekarang ini



Jumat, 26 Mei 2017

Makan Vs Kerja

Preambule:
Tulisan ini sebelumnya draft tertanggal 10 September 2015, catatan yang setengah jadi kubuat hampir dua tahun yang lalu. Kuteruskan hari ini karena ...pengen aja heu heu
------*****------

Ini cerita soal makan, juga cerita soal kerja, kegigihan dan daya juang
Aih, tampaknya akan jadi bahasan yang berat. Kalau nanti terlalu berat untuk dilanjutkan, bisa jadi akan berakhir di folder draft menyusul tulisan lainnya. Hmmmm.... (dan ini beneran terjadi, ngendon di draft hampir 2 tahun)

Baru lulus kuliah, tempat kerja pertamaku adalah sebuah international NGO. Kurang lebih tiga bulan di Gunung Kidul, lalu ditempatkan di Pacitan.
Singkat kata setelah sekitar semingguan gitu aku di Pacitan, kami satu tim (4 orang) makan bareng di sebuah warung makan.  Aku satu-satunya perempuan, dan salah satu yang makan bersama adalah team leader a.k.a supervisorku.

Kalo soal makan ya, kamusku saat itu cuma mengenal dua rasa yaitu enak dan enak banget. Porsi makanku juga cuma dua pilihan yaitu banyak atau banyak banget (Sekarang belum berubah juga kamusnya).

 Tentu saja kesempatan makan gratis ditraktir kumanfaatkan sebaik mungkin. Pilih menu, pesan, makan dengan tekun lalu ludeees.

Waktu menyelesaikan makanku hampir berbarengan dengan pak team leader. Lalu sambil menunggu yang lain selesai makan, bapak itu ngomong ke aku dengan agak bisik-bisik

"Cepat makannya, Mbak Anjas", katanya sambil melirik piringku yang licin bersih
"Lapar, Pak", jawabku malu

"Saya mengamati, kebiasaan kerja orang itu sama dengan kebiasaan makan nya. Ini pengalaman saya bertahun-tahun dan sudah terbukti" Kata beliau sambil manggut-manggut

Aku hanya diam saja sambil senyum-senyum masih malu.
Pikirku waktu itu beberapa alasan kenapa bapak itu ngomong semacam itu ke aku:

  1. Menghibur aku. Melihat aku makan banyak dan super cepat yang tidak lazim buat perempuan dan ketika beliau basa-basi menegur aku mungkin aku tampak malu sekali sehingga dihibur sedemikian rupa dengan kalimat selanjutnya
  2. Doktrin kerja. Sebagai anak baru, beliau ingin menanamkan bahwa aku diharapkan kerja banyak dan selesai dengan cepat tanpa menyisakan pekerjaan. Licin tandas seperti piringku yang tak ada bersisa satu butir nasi pun
Setelah itu aku mulai mengamati orang-orang yang makan bersamaku.  Mencoba mencocokkan teori pak Team Leader.

Eternyata ya...bapak itu banyak benernya lho. 
Banyak kali model orang makan. Ada model orang yang (bukan karena alasan kesehatan lho ya), suka pilih-pilih menu makanan, menyisakan banyak makanan meski dia ambil sendiri itu makanan, menyisih-nyisihkan bagian dari hidangan ke pinggiran piring, mengunyah-ngunyah dengan segan, makan sambil mengerjakan hal-hal lain yang memperlama proses makannya.

Dan setelah dicocokkan antara kebiasaan makan dan kebiasaan kerjanya kok ya banyak yang cocok..hmmmm.

Oiya, sekarang aku agak berubah juga kebiasaan makannya.  Makan cepat dan tak bersisa masih kulakukan sih...tapi sekarang makan tak bisa sebanyak dulu,  mulai tidak mengambil makanan kalo sekiranya tidak terlalu suka, dan seringkali menunda makan.
Kok ya sepertinya sekarang dengan pekerjaan ya begitu juga...he he he he.

Kepengenan meneruskan tulisan ini karena kemarin ada teman Abbad yang main ke rumah lalu makan bareng anak-anak.

Abbad yang biasa makan cepat, kalah cepat sama temannya itu (Ini teman di sekolah sepak bola yang dijuluki 'kijang' karena kemampuan lari nya yang lincah seperti kijang).

Percaya nggak teori makan vs kerja ini ?....silahkan mengamati sendiri

 

Jumat, 19 Mei 2017

Penakluk ketinggian


Jadi, sejak kecil Raan 1 punya hobby dan ketrampilan memanjat yang menonjol.
Saat  belum bisa jalan, Sakha kecil sangat suka memanjat apa saja benda tinggi yang dilihatnya.  Satu yang melekat dalam ingatan adalah ketika umur 8 bulan Sakha berhasil memanjat  teralis jendela rumah Eyang Uti-nyadi Magelang  sampai ujung atas jendela. Meninggalkan ibuknya di bawah menengadahkan kepala, menjulur-njulurkan tangan berjaga dengan harap-harap cemas.
Perasaan ibuk?
Jangan ditanya, tentu saja deg-deg an.

Kesukaannya memanjat disalurkan di mana saja, daerah jelajahnya semakin meluas seiring bertambahnya umur.   Tantangan memanjat pohon di sekitar rumah,  poho-pohon di  halaman sekolah, pagar dan tembok, genteng, menara penampungan air…hmmmmm

Pernah suatu ketika, Ibuk jemput Raan 1 saat kelas 3 SD.
Biasanya, begitu ibuknya nampak  dia akan langsung memanggil..."Ibuuuk".
 Kali itu berbeda, Ibuk celingukan mencari  di kelas, menyisir halaman, menengok area ayunan dan prosotan.

Setelah cari dan tanya sana-sini, ternyata anaknya sedang bertengger santai di dahan pohon talok  paling tinggi di halaman sekolah.

Waktu itu Ibuk menjaga suara tetap tenang memberi instruksi.

"Yuk, Kak turun. Sudah waktunya pulang"

Setelahnya Ibuk memalingkan muka, gak tega lihat proses turun-nya...cuma bisa 'ndremimil' berdoa.

Pernah gagal memanjat?
Iya, pernah, waktu TK bibirnya sobek berdarah-darah.

Waktu itu naik pohon pake rok yang jumbai-jumbai, saat turun meloncat dari dahan terendah, ujung rok nyangkut di dahan dan Raan 1 kehilangan keseimbangan.

Jera?
Sepertinya tidak...
Panjatan adalah tantangan yang mengasyikkan.
Mengasah keberanian sekaligus kekuatan.

Hobby itu berlanjut sampai menjelang remaja sekarang.

Beberapa waktu yang lalu dapat kiriman foto Raan 1 outbond di pondok nya.
Daaan....ibuk di rumah 'ndremilil' berdoa.

Nduk, semangat ya.
Hadapi tantangan, taklukan persoalan.
Dengan keberanian, dengan keyakinan, dengan kesabaran.

Ibuk dan Bapak akan selalu mendoakan.

Kamis, 27 April 2017

Sabar #Parentingbolaseri2

Sudah tahu kan, kalo Abbad menyusul jejak Akhsan, mas-nya, ikut Sekolah Sepak Bola?
Oh, belum pernah kuceritakan ya.

Baiklah, memang sudah lama banget gak cerita di rumah ini...sudah hampir setahun lo #kemanasajacoba?

Jadi Abbad masuk kelas paling bontot yang isinya anak umur 6-8 tahun waktu itu, sekarang sih sudah pada nambah umur jadi 7-9 tahun. Sekarang posisinya centre back alias bek tengah, posisi ke sekian setelah dicoba di semua posisi (kecuali kiper) dan setelah melihat kelebihan dan kekurangannya. Mungkin karena tendangannya keras menyapu bola sampai ke tengah lapangan dan perawakannya yang mendukung menjadi pertahanan yang rapat.

Kalau menurut wikipedia:

  1. Bek tengah berfungsi menjaga sektor tengah pertahanan (dalam beberapa kasus, seperti counter attack disaat bek sayap terlambat kembali, bek tengah bisa menjaga sektor sayap). 
  2. Mereka hampir setiap waktu berada di bagian belakang permainan bersama dengan penjaga gawang untuk menghindari terjadinya gol. 
  3. Bek tengah yang memiliki sundulan bagus kadang-kadang maju membantu serangan saat terjadi tendangan bebas dan hampir selalu maju tendangan sudut. 
  4. Bek dengan sundulan bagus tidak harus berpostur tinggi, contohnya Carles Puyol(spanyol) yang tingginya tidak sampai 180 cm (tinggi rata rata pemain Eropa).

Nah, poin dua itu kesukaan Abbad. Kalo pas tim nya ketemu lawan yang tak pernah menyerang, Abbad bisa santai-santai sambil ngobrol dengan sesama bek atau dengan kiper...hehe.

Poin tiga itu juga jadi andalan Abbad, kalo pas ada tendangan bebas teman-temannya hampir selalu menyebut "Abbad wae, Abbad wae" (Maksudnya Abbad yang disuruh melakukan tendangan bebas).

Aku tanya kenapa begitu dan Abbad bercerita kalo suatu ketika saat tendangan bebas dari tengah lapangan Abbad melakukan tendangan -asal tanpa rencana- yang melengkung dan membobol gawang lawan. Tendangan melengkung itu memukau teman-teman dan juga Abbad sendiri (namanya juga tidak sengaja). 

Sejak itu Abbad jadi lebih rajin mengasah tendangan lengkungnya... ehm.
Emang, ketidaksengajaan seringkali menjadi pemantik hal yang baik (bagi sebagian orang).

Ohiya, kok judulnya tulisan ini "Sabar" ya....nggak nyambung amat sama isinya.

Sabar....sabar...sebentar lagi sampai ke tema sesuai judul. 

Jadi, di suatu Jumat sore sepulang kerja aku dan Shafa mampir lapangan. Nengok Abbad yang sedang latihan. Memperhatikan tingkah polah anak yang bermacam-macam, disuruh operan bola malah ngobrol, disuruh antri shooting malah nendang bola temennya.  Mas pelatih sabar sekali menghadapi anak-anak ini. Padahal ada yang usil juga sama pelatihnya (salah satunya Abbad), Lagi duduk bareng untuk pengarahan, malah ada yang mengumpulkan rumput kering lalu 'menyiramkan' ke mas pelatih.

Sabar yo, Mas. Hobby bola-mu mengantarkan pada fase mengasah rasa. Menghadapi anak dengan segala tingkah polahnya.

Insya Allah kesabaran njenengan akan dibalas manis oleh-NYA


 


Jangan Asem