'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah'
SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya. Segera setelahnya, dering dengan spesial tone
terdengar, Bima menelepon Risma.
“Bunda, cepat pulang.....Nana kangen !”
terdengar suara Natya suara
sulungnya begitu Risma mengucap salam.
“Bawa oleh-oleh yang banyak Bun !”
kali ini terdengar suara Panji, adik
Natya
“Iya sayang, ini sudah naik taksi. Tunggu 15 menit ya. Assalamu’alaikum”
Risma memutuskan hubungan, senyumnya mengembang penuh kebahagiaan.
“Puri Asri,Pak “ pintanya pada supir taksi
Lima belas menit kali ini menjadi waktu yang sangat lambat untuknya,
kerinduan pada anak-anak setelah berpisah satu minggu dengan sepasang buah
hatinya. Rindu mendengar celoteh dan tingkah mereka, rindu bermain bersama,
membaca, menggambar, pentak umpet dan makan bersama. Bersliweran di benaknya senyum lebar Natya, wajah sendu Panji dan tentu
saja tatapan teduh Bima, suaminya.
Begitu taksi berhenti, Natya dan Panji menghambur keluar dari pagar, tak
sabar menunggu Risma membayar ongkos taksi. Seperti berlomba mereka menarik
perhatian bundanya dengan bercerita bersahutan, menggandeng tangan, menarik
baju.
Bima, dengan senyum tenang membantu mengeluarkan tas dan kantong oleh-oleh
dari bagasi.
“Apa kabar, Yah”
Ucap Risma sambil mencium tangan suaminya
“Baik”
senyum Bima sembari mencium keningnya
Risma memandang suaminya, merasakan ada sesuatu yang berbeda pada senyum
suaminya
“Anak-anak baik saja?”
tanyanya sambil membantu sang suami mengangkat bawaan
ke dalam rumah
“Baik, lihatlah mereka” Ucap bima sambil menunjuk dengan dagu pada Natya
dan Panji yang sibuk mengeluarkan oleh-oleh dari tas dan kantong bundanya.
“Syukurlah” Kalimat Risma mengambang, dia merasa asing dengan nada
suaranya sendiri,
se-asing perasaannya pada senyum
Bima.
***
“Enak, waktu Bunda pergi kita makan di rumah makan terus”
Celoteh Natya
menyebutkan beberapa nama rumah makan yang menyajikan menu sea food dan bakso
kesukaannya.
“Masak sih, pulang sekolah ngapain?”
tanya Risma menggoda Panji yang
biasanya langsung mencari Bundanya tiap pulang sekolah.
“Ikut Ayah ke kantor, enak...game-nya macam-macam”
Jelas Panji yang hobby
nge-game.
“Iya, aku disana liat foto-foto hewan peliharaannya Tante Maya, terus
diajarin nggambar sama bikin cerita. Tante Maya punya hewan banyak lho Bun, ada
kucing, kelinci, burung” Celoteh Natya
“Oh, ya...Asyik sekali”
Kata Risma sambil mengerling pada Bima yang nampak
berusaha berkonsentrasi pada buku yang dibacanya.
“Bunda kangen sama Natya dan Panji, kangen nggak sama Bunda?”
tanya Risma
sambil memegang tangan kedua buah hatinya
“Kangeeen....” keduanya menjawab kompak sambil menghambur memeluk bunda-nya
***
“Siapa dia?” tanya Risma malam harinya setelah menidurkan Natya dan Panji
“Dia siapa?” tanya Bima
“Tante Maya” Ucap Risma menggantung
“Anak baru” Jawab Bima hendak merebahkan badan, menjelaskan pada istrinya
yang mengenal hampir seluruh temannya, sama seperti dirinya yang mengenal
(minimal dari cerita Risma) tentang orang-orang yang bergaul dengan istrinya.
“Cantik?” tanya Risma lagi
“ Kok nanyanya gitu?” Bima urung merebahkan tubuhnya
“Jawab saja.” Kata Risma tersenyum menggoda
“Lumayan” Jawab Bima pendek
“Cantik bunda atau dia?” kejar Risma
“Bunda, cerita yang lain saja” Bima tak mau berpanjang-panjang membahasnya
“Bunda tidak akan tidur kalau Ayah belum cerita”, kali ini Risma dengan
wajah serius.
Dia sangat mengenal
suaminya, perubahan ekspresi, cara menatap dan bertutur Bima sejak
kedatangannya tadi membuatnya berkesimpulan “Ada sesuatu yang terjadi”
“Bunda ingin ayah menceritakan apa?” Bima mengalah, karena dia juga sangat
mengenal keras hati istrinya.
“Tante Maya” Ucap Risma datar.
Mhm....Bima menarik nafas panjang, kemudian mulai bercerita.
“Dia anak baru di kantor, masuk awal bulan ini, beda divisi. Waktu
anak-anak ikut ayah ke kantor, Natya main bareng dia, Ayah tak terlalu
memperhatikan apa saja yang dibicarakan. Bunda sudah mendengar ceritanya
sendiri tadi, sepertinya dia mengajarkan Natya banyak hal, tapi ya
sudah....hanya itu.” Bima nampak lega setelah mengatakan itu.
“Ayah tidak cerita kalau ada anak baru“ Risma bertanya pelan
“Bunda sibuk mempersiapkan keberangkatan bunda kemarin, dan itu bukan hal
yang penting untuk diceritakan “ Jelas Bima
“Sekarang jadi penting, Ayah suka ya sama dia” Risma tersenyum tipis
“Suka bagaimana? Bunda ada-ada saja !” Bima mulai menaikkan nada bicaranya
“Baiklah, bunda ganti pilihan katanya...bukan suka, tapi bersimpati...waktu
Ayah bercerita tadi, ada kerlip di mata Ayah, kerlip yang tak pernah bunda
lihat ketika ayah menceritakan tentang teman-teman ayah yang lain”
Risma
berkata panjang dan terus-terang, sesuatu yang selalu mereka berdua lakukan
selam menjalin rumah tangga. Berterus terang.
Bima memejamkan matanya sebelum menjawab, sepertinya sedang
mempertimbangkan pilihan kata yang paling tepat untuk menggambarkan
perasaannya. Mngkin juga untuk menghindari Risma melihat kerlipan lain di
matanya.
“Ayah merindukan bunda, satu pekan waktu yang sangat lama buat Ayah seorang
diri menemani anak-anak. Ayah merasa
agak lega ketika ada orang lain yang memperhatikan anak-anak. Kebetulan saja
orang itu Maya, anak baru yang belum sempat Ayah ceritakan pada Bunda”
Bima
menjawab sambil merebahkan badannya, mengambil posisi tidur menutup
pembicaraan
“Baiklah, selamat tidur sayang”
Risma mengalah, menghentikan pembicaraan,
mengecup pipi suaminya dan tidur dalam pelukan suaminya, meski lama tak bisa
juga matanya terpejam...dan dia tahu Bima pun hanya memejamkan mata namun tak
kunjung tidur sampai menjelang tengah malam.
Risma semakin khawatir ada sesuatu yang telah terjadi.
***
Beberapa hari setelah kepulangannya, Risma masih belum tenang. Entah
kenapa, dia merasa Bima berlaku tidak
biasa padanya. Cara bima menatapnya, berbicara padanya, dan menyentuhnya.
Sebenarnya perubahan sikap Bima tidak menjadi lebih buruk, tetapi bahkan
menjadi lebih baik. Bima yang tidak
biasa menunjukkan sikap romantis pada Risma di depan umum, akhir-akhir ini suka
menggenggam tangan Risma ketika mereka berjalan-jalan dengan anak-anak. Mengelus lembut kepala istrinya ketika makan
bersama di rumah makan, hal-hal kecil yang biasanya hanya dilakukan Bima jika
mereka hanya berdua saja.
Ini tak
membuat Risma bahagia, justru membuatnya curiga. Menurut artikel yang pernah dibacanya, para
lelaki akan bersikap lebih mesra kepada istrinya ketika dia berselingkuh, untuk
menutupi rasa bersalah yang menderanya dan menghilangkan kecurigaan sang istri.
Risma merasa perlu membicarakan hal ini pada suaminya, ia tak ingin
berlama-lama dalam kondisi hati yang penuh curiga, menduga yang tidak-tidak,
khawatir berkepanjangan, apalagi dengan aktivitas suaminya yang lebih dari sepuluh jam di tempat bekerja
bertemu dengan sebuah nama yang sangat mengganggunya meskipun ia belum pernah
bertemu langsung dengan pemilik nama itu “Tante Maya”.
“Mas, aku ingin bicarakan sesuatu”
Risma memulai pembicaraan malam itu,
ketika Natya dan Panji sudah lelap di kamar mereka masing-masing.
Panggilan ‘Mas’ dan sebutan “Aku’ sudah cukup
memberikan tanda buat Bima bahwa yang akan mereka bicarakan adalah sesuatu yang
serius.
“Sikap Mas berubah akhir-akhir ini”
Risma membuka pembicaraan to the point,
sesuatu yang selalu dilakukannya, salah satu yang membuat Bima menyukainya,
sikap lugas tanpa tedheng aling-aling.
“Berubah bagaimana?” Bima menggantung kalimatnya
“Mas terlalu romantis” tukas Risma
“Bukankah kau dulu sering protes karena aku tak pernah mau bergandeng
tangan, sekarang malah tak suka kuajak romantis” tanya Bima hati-hati.
“Perubahan ini terlalu mendadak dan kebetulan.” Jawab Risma
“Mendadak bagaimana? Kita sudah 10 tahun menikah, keromantisan-mu menular
padaku, dan terlalu kebetulan karena apa?” Bima bertanya membela diri
“Terlalu mendadak setelah Mas mengenal Maya, dan kebetulan aku bisa menebak
lebih dulu kalau mas jatuh simpati padanya” Risma tak berani memilih kata jatuh
cinta, membayangkan suaminya jatuh cinta pada perempuan lain sudah membuat
hatinya perih.
“Menurut teori yang aku baca, sikap seperti mas itu tanda-tanda dari lelaki
yang menyimpan wanita lain” Risma memelankan suaranya “Maaf, kalau kalimatku
menyinggung Mas” sambungnya. Tak tertahan air matanya sudah mulai menggantung
di pelupuk mata.
“Kamu baca dari mana tuh? Konsultasi psikologi ya?” Canda Bima mencoba
mencairkan suasana.
“Aku serius Mas” rajuk Risma
“Apa yang ingin kau dengar dariku? Pengakuan seperti apa?baik, dengar ya pengakuanku !
Ya, aku berusaha menjadi teman baik untuk Maya sebagai pendatang baru
Ya, dia anak baru yang bertype pekerja keras, membuatku teringat padamu .
Ya, aku sangat kesepian ketika kau pergi meski hanya sepekan.
Ya, aku kewalahan mendampingi anak-anak seorang diri.
Ya, aku sangat senang dan merasa punya teman ketika ada yang memperhatikan
anak-anak.
Ya,aku merasa tersanjung karena Maya memperhatikan anak-anak dan aku lebih
dari perhatiannya kepada teman yang lain.
Ya, aku bersimpati padanya.
Ya, aku teringat sikapmu yang lembut pada anak-anak ketika Maya sedang
bermain dengan Natya.
Ya, aku sempat membandingkannya denganmu
Ya, aku pernah makan siang bersamanya, tapi tak cuma berdua, ada teman lain
yang ikut serta
Ya, aku pernah mengantarkannya pulang sekali, hanya sekali dan aku tak
turun dari mobil
Ya, aku merasa sangat bersalah setelahnya
Ya,aku sangat menyesal “
Panjang Bima mengatakan itu dengan hati-hati, suara bergetar dan mata berkaca
memandang lekat Risma.
Risma mendengarnya dengan hati-hati, air matanya luruh setiap akhir kalimat
Bima. Hatinya perih, namun juga lega. Lega karena Bima sudah menceritakannya
dan ia sanggup mendengarnya.
“Ayah ingin tahu perasaan bunda?” tanyanya berbisik
Bima mengangguk, menyerahkan semua pada Istrinya
“Bunda seperti pemilik rumah yang dikunjungi pencuri di siang hari, tapi
pencuri itu tak mengambil apa-apa, hanya
melihat-lihat saja.” Jawabnya khawatir
“Ayah mencintai bunda” Jawab Bima sambil merengkuh Risma
Dalam rengkuh suaminya, Risma membisikkan puisi di teilnga Bisma
Sungguh,
ku mencintaimu
Seandainya bisa
kuingin genggam hatimu
erat, kuat
tapi
hati seperti pasir
jika digenggam terlalu kuat
akan lepas mengalir
dari sela jemari
Sungguh,
aku takut kehilanganmu
seandainya bisa
kan ku simpan rapat cintamu
tapi
cinta seperti air
jika didekap panas
akan menguap
meninggalkan pendekapnya
Sungguh
aku dalam kebimbangan
aku dalam kekhawatiran
aku dalam ketakutan