Jumat, 26 Mei 2017

Makan Vs Kerja

Preambule:
Tulisan ini sebelumnya draft tertanggal 10 September 2015, catatan yang setengah jadi kubuat hampir dua tahun yang lalu. Kuteruskan hari ini karena ...pengen aja heu heu
------*****------

Ini cerita soal makan, juga cerita soal kerja, kegigihan dan daya juang
Aih, tampaknya akan jadi bahasan yang berat. Kalau nanti terlalu berat untuk dilanjutkan, bisa jadi akan berakhir di folder draft menyusul tulisan lainnya. Hmmmm.... (dan ini beneran terjadi, ngendon di draft hampir 2 tahun)

Baru lulus kuliah, tempat kerja pertamaku adalah sebuah international NGO. Kurang lebih tiga bulan di Gunung Kidul, lalu ditempatkan di Pacitan.
Singkat kata setelah sekitar semingguan gitu aku di Pacitan, kami satu tim (4 orang) makan bareng di sebuah warung makan.  Aku satu-satunya perempuan, dan salah satu yang makan bersama adalah team leader a.k.a supervisorku.

Kalo soal makan ya, kamusku saat itu cuma mengenal dua rasa yaitu enak dan enak banget. Porsi makanku juga cuma dua pilihan yaitu banyak atau banyak banget (Sekarang belum berubah juga kamusnya).

 Tentu saja kesempatan makan gratis ditraktir kumanfaatkan sebaik mungkin. Pilih menu, pesan, makan dengan tekun lalu ludeees.

Waktu menyelesaikan makanku hampir berbarengan dengan pak team leader. Lalu sambil menunggu yang lain selesai makan, bapak itu ngomong ke aku dengan agak bisik-bisik

"Cepat makannya, Mbak Anjas", katanya sambil melirik piringku yang licin bersih
"Lapar, Pak", jawabku malu

"Saya mengamati, kebiasaan kerja orang itu sama dengan kebiasaan makan nya. Ini pengalaman saya bertahun-tahun dan sudah terbukti" Kata beliau sambil manggut-manggut

Aku hanya diam saja sambil senyum-senyum masih malu.
Pikirku waktu itu beberapa alasan kenapa bapak itu ngomong semacam itu ke aku:

  1. Menghibur aku. Melihat aku makan banyak dan super cepat yang tidak lazim buat perempuan dan ketika beliau basa-basi menegur aku mungkin aku tampak malu sekali sehingga dihibur sedemikian rupa dengan kalimat selanjutnya
  2. Doktrin kerja. Sebagai anak baru, beliau ingin menanamkan bahwa aku diharapkan kerja banyak dan selesai dengan cepat tanpa menyisakan pekerjaan. Licin tandas seperti piringku yang tak ada bersisa satu butir nasi pun
Setelah itu aku mulai mengamati orang-orang yang makan bersamaku.  Mencoba mencocokkan teori pak Team Leader.

Eternyata ya...bapak itu banyak benernya lho. 
Banyak kali model orang makan. Ada model orang yang (bukan karena alasan kesehatan lho ya), suka pilih-pilih menu makanan, menyisakan banyak makanan meski dia ambil sendiri itu makanan, menyisih-nyisihkan bagian dari hidangan ke pinggiran piring, mengunyah-ngunyah dengan segan, makan sambil mengerjakan hal-hal lain yang memperlama proses makannya.

Dan setelah dicocokkan antara kebiasaan makan dan kebiasaan kerjanya kok ya banyak yang cocok..hmmmm.

Oiya, sekarang aku agak berubah juga kebiasaan makannya.  Makan cepat dan tak bersisa masih kulakukan sih...tapi sekarang makan tak bisa sebanyak dulu,  mulai tidak mengambil makanan kalo sekiranya tidak terlalu suka, dan seringkali menunda makan.
Kok ya sepertinya sekarang dengan pekerjaan ya begitu juga...he he he he.

Kepengenan meneruskan tulisan ini karena kemarin ada teman Abbad yang main ke rumah lalu makan bareng anak-anak.

Abbad yang biasa makan cepat, kalah cepat sama temannya itu (Ini teman di sekolah sepak bola yang dijuluki 'kijang' karena kemampuan lari nya yang lincah seperti kijang).

Percaya nggak teori makan vs kerja ini ?....silahkan mengamati sendiri

 

Jumat, 19 Mei 2017

Penakluk ketinggian


Jadi, sejak kecil Raan 1 punya hobby dan ketrampilan memanjat yang menonjol.
Saat  belum bisa jalan, Sakha kecil sangat suka memanjat apa saja benda tinggi yang dilihatnya.  Satu yang melekat dalam ingatan adalah ketika umur 8 bulan Sakha berhasil memanjat  teralis jendela rumah Eyang Uti-nyadi Magelang  sampai ujung atas jendela. Meninggalkan ibuknya di bawah menengadahkan kepala, menjulur-njulurkan tangan berjaga dengan harap-harap cemas.
Perasaan ibuk?
Jangan ditanya, tentu saja deg-deg an.

Kesukaannya memanjat disalurkan di mana saja, daerah jelajahnya semakin meluas seiring bertambahnya umur.   Tantangan memanjat pohon di sekitar rumah,  poho-pohon di  halaman sekolah, pagar dan tembok, genteng, menara penampungan air…hmmmmm

Pernah suatu ketika, Ibuk jemput Raan 1 saat kelas 3 SD.
Biasanya, begitu ibuknya nampak  dia akan langsung memanggil..."Ibuuuk".
 Kali itu berbeda, Ibuk celingukan mencari  di kelas, menyisir halaman, menengok area ayunan dan prosotan.

Setelah cari dan tanya sana-sini, ternyata anaknya sedang bertengger santai di dahan pohon talok  paling tinggi di halaman sekolah.

Waktu itu Ibuk menjaga suara tetap tenang memberi instruksi.

"Yuk, Kak turun. Sudah waktunya pulang"

Setelahnya Ibuk memalingkan muka, gak tega lihat proses turun-nya...cuma bisa 'ndremimil' berdoa.

Pernah gagal memanjat?
Iya, pernah, waktu TK bibirnya sobek berdarah-darah.

Waktu itu naik pohon pake rok yang jumbai-jumbai, saat turun meloncat dari dahan terendah, ujung rok nyangkut di dahan dan Raan 1 kehilangan keseimbangan.

Jera?
Sepertinya tidak...
Panjatan adalah tantangan yang mengasyikkan.
Mengasah keberanian sekaligus kekuatan.

Hobby itu berlanjut sampai menjelang remaja sekarang.

Beberapa waktu yang lalu dapat kiriman foto Raan 1 outbond di pondok nya.
Daaan....ibuk di rumah 'ndremilil' berdoa.

Nduk, semangat ya.
Hadapi tantangan, taklukan persoalan.
Dengan keberanian, dengan keyakinan, dengan kesabaran.

Ibuk dan Bapak akan selalu mendoakan.

Jangan Asem