Selasa, 25 Februari 2014

Pembebasan Vs Pembiaran


Ketika dulu wawancara untuk orang tua calon murid di sekolah tempat anak-anakku sekarang belajar, kami berdua (aku dan suami) ditanya prinsip apa yang dipakai dalam mendidik anak-anak. Kami sepakat menjawab sebagai orang tua kami berusaha memberikan pilihan dan membebaskan anak-anak untuk memutuskan pilihan mana yang akan mereka ambil.

Contoh sederhananya adalah ketika pagi hari aku menyiapkan air hangat untuk mandi anak-anak, pilihan yang kami berikan kepada anak-anak adalah mandi sekarang dengan kondisi air masih hangat atau menunda-nunda mandi dengan konsekuensi air mandi sudah dingin dan tidak ada menjerang air tahap dua.

Anak-anak diberikan pengertian konsekuensi akan pilihan yang akan diambilnya. Suatu ketika Akhsan yang sudah duduk di SD dan harus masuk sekolah pukul 07.00 dan diantar bersama Sakha, berlama-lama dalam persiapan pagi. Sudah kuingatkan untuk bersegera, karena kakak dan bapaknya akan berangkat paling lambat 15 menit sebelum pukul 7 agar tidak terlambat. Jika sampai dengan waktu itu Akhsan belum siap, maka ia harus berangkat bareng Abbad yang masih TK dan diantar ke sekolah pukul 07.30 yang artinya Akhsan akan terlambat sampai di sekolah. Waktu itu Akhsan masih tetap berlama-lama dan merasakan akibatnya hingga terlambat sampai di sekolah. Di lain waktu Sakha yang berlama-lama dan merasakan akibat dari keterlambatannya. Setelah insiden terlambat itu, hari-hari  berikutnya Sakha dan Akhsan memilih untuk bersegera agar tidak harus ikut pemberangkatan kloter kedua bersama Abbad yang artinya terlambat sampai sekolah. Ini yang kumaksud dengan ‘membebaskan untuk memilih’ 

Suatu ketika seorang teman bercerita,  di suatu rapat ada seorang bapak muda yang mengajak anak laki-lakinya yang seumuran Akhsan. Namanya anak-anak ya, dalam kondisi rapat di tengah orang tua pasti akan muncul kebosanan. Entah Bapak-anak ini tidak membuat perjanjian dulu saat berangkat rapat bagaimana si anak harus ‘bersikap’ selama ayahnya beraktivitas, atau memang pola pendidikan sehari-hari dalam keluarga mereka seperti itu, di tengah rapat yang berlangsung lesehan si anak mulai berjalan-jalan di tengah-tengah peserta rapat sementara sang ayah tidak berkomentar apapun.  

Rupanya rasa bosan semakin melanda si anak dan dia mulai menendang gelas-gelas peserta rapat. Sampai di sini si ayah masih juga tak berkomentar apa pun seolah-olah hal itu adalah sesuatu yang wajar. Akhirnya salah satu peserta rapat, tak tahan dan menegur si Bapak
“ Eh, #@* (menyebut nama si bapak muda)...kalau seperti itu namanya PEMBIARAN, bukan PEMBEBASAN”

Berikan anakmu pilihan, berikan dia pengertian, dan bebaskan dia untuk memilih

Minggu, 23 Februari 2014

Gemar Menggambar


Saat usia 2,5  tahun, Sakha pernah ikut lomba mewarnai di RT tempat kami tinggal. Waktu itu dengan PeDenya dia mewarnai satu halaman penuh dengan warna hijau saja di seluruh permukaan kertas tanpa mengenal garis batas bentuk gambar yang disediakan.  Setelahnya, Sakha langsung mengumpulkan hasil mewarnainya dan mengajak Bapak yang mengantarnya pulang.  

Waktu itu aku tak ikut mendampingi Sakha, tapi menunggu di rumah bersama Akhsan yang masih berumur 7 bulan. Aku dan suami senyum-senyum ketika ia bercerita bagaimana Sakha menyelesaikan lombanya. Kami memang tak pernah mengarahkan bagaimana Sakha mewarnai suatu gambar, terserah dia saja. Waktu itu aku dan suami hanya melontarkan pujian bahwa Sakha keren sudah berani lomba dan mengumpulkan kertasnya sendiri ke panitia.

Semakin besar, Sakha semakin suka menggambar dan menurutku gambarnya bagus (Aku sendiri saat seumur Sakha bahkan sampai sekarang tidak bisa mengggambar sebagus Sakha). Tapi tetap saja dia tidak terlalu suka mewarnai.  Sebenarnya kalau mau,  dia bisa juga sih mewarnai dengan bagus, tapi biasanya Sakha hanya akan mewarnai gambarnya ketika ada tugas dari sekolah untuk mewarnai atau ketika kurayu-rayu untuk menyempurnakan gambarnya dengan warna.


Sakha menggambar di kertas HVS yang disediakan Bapaknya, di halaman belakang buku tulisnya, di setiap sudut halaman bukunya...di mana saja dia suka.  Melihat kecenderungan Sakha yang suka menggambar, dan menyadari keterbatasanku dan suamiku dalam menggambar, kami manfaatkan youtube untuk mengasah ketrampilan Sakha. Kami downloadkan tutorial menggambar, dari cara menggambar tiga dimensi, cara menggambar wajah, gambar manga dan beberapa jenis gambar lain yang aku tak terlalu hafal apa jenisnya.


Ternyata Sakha cenderung menyukai komik,  dengan referensi favoritnya komik Conan, Miiko, dan Donald. Sakha mulai membuat karakter wajah dengan berbagai ekspresi, senang, kaget, sedih, menangis, geli, dan banyak ekspresi lain.  




Setelah menghabiskan beratus lembar kertas HVS, Sakha mulai serius menggambar di buku agar tidak cerai-berai.  Mulanya dia ragu menentukan tokoh dan alur utama cerita, terlalu banyak keinginan dan ide berloncatan di kepalanya membuat Sakha tak juga memutuskan ingin membuat tokoh seperti apa.

Ketika Sakha minta pertimbanganku, aku bilang 
“Ya...bikin aja tokohnya anak perempuan kayak Sakha, akan lebih mudah” 

“Kalau cerita aku di sekolah nanti banyak banget yang harus digambar dan diceritain” kata Sakha waktu itu

“Ya kalau gitu cerita tentang Kakak yang melakukan hobby kakak” lanjutku

“Hobby ku masak” Sakha menyahut dengan cepat

“Gimana kalo, tokohnya anak perempuan yang suka masak...?” tanyaku

Sakha tersenyum, mengecup pipiku lalu lari ke kamar dan mulai menggambar komiknya.
 
Yah, apapun yang kau sukai dan kau tekuni...pasti akan bermanfaat, Nak. Tak harus manfaat hasil, namun yang lebih penting adalah manfaat dalam proses mewujudkannya.

Leunca

Solanum ningrum, mungkin tidak banyak yang mengenal nama ini tapi kalau disebut kata leunca bisa jadi sebagian orang tahu namun hanya sedikit yang menyukai rasanya.  Leunca atau ranti adalah salah satu jenis terung-terungan yang biasa dikonsumsi sebagai sayuran atau obat.Leunca muda berwarna hijau muda dan akan berubah warna menjadi ungu tua atau hitam ketika tua dengan bulatan kecil-kecil bergerombol, berbiji dan mengkilap.  Rasanya renyah dan agak langu, konon leunca punya banyak manfaat dan khasiat, dari mengobati penyakit kulit sampai menghambat pertumbuhan sel kanker.  

Aku biasanya makan leunca sebagai lalapan dengan cocol sambel, tapi kalo di rumah penggemar leunca Cuma aku seorang. Suamiku tidak mau mencoba barang sebiji, begitu pula Abbad. Cuma Sakha dan Akhsan yang mencoba bereksperimen dan tidak meneruskan makan leunca “pahit” katanya.
Leunca pedasssss

Hari minggu pagi tadi aku ke pasar dan melihat sekantung leunca di pedagang sayur, aku beli saja. Cukup Rp 2.000,- sudah dapat sekantung plastik  ukuran 1 kg. Karena sedang dalam upaya membatasi konsumsi karbohidrat, kali ini aku tidak melalap leunca dengan sambel karena berefek nambah nasi terus dan terus dan terus.  Leunca hari ini kutumis dengan bumbu  bawang merah, bawang putih, cabe rawit dan garam dan rasanya mhmmmmm........

Kamis, 20 Februari 2014

J*NA*DI G*MBL*NG

Aku ingat betul tulisan itu (tanpa sensor tentu saja) yang membuat aku dihukum untuk pertama kalinya di sekolah.

Aku, anak kecil cemerlang kebanggaan sekolah (halah)...jatuh martabat karena dua kata itu. He he tentu saja aku tidak berpikir tentang martabat atau kehormatan apapun pada waktu itu, murni keisengan anak kecil yang menemukan sepotong kapur merah dan membutuhkan pelampiasan emosi sesaat.

Kata pertama adalah nama salah seorang temanku di kelas 2 SD, kata kedua  adalah kata dalam bahasa jawa yang berarti ngaco, sableng alias tidak normal pikirannya. Sekarang aku tidak habis pikir, kok bisa-bisanya aku menggabungkan kedua kata itu.

Seingatku teman yang namanya kutulis itu bukan termasuk dalam kategori anak yang usil, bandel dan suka bikin onar dalam kelas. Dia itu anak yang anteng, pendiam dan tidak neko-neko. Bisa jadi pikiran anak kecilku menerjemahkan bahwa anak yang ‘manis menurut kacamata orang tua’ adalah anak kecil yang aneh dan gemblung (#eh gak disensor).

Dua hari setelah membubuhkan tulisan di tembok belakang kantor  guru (nah kan, kenapa pula waktu itu aku pilih tulis di tembok belakang kantor...tidak di WC yang lumayan di luar jangkauan), aku dipanggil wali kelasku Bu Tri.  Rupanya para guru sudah menyelidiki siapa seniman di balik tulisan aneh itu dan dari laporan sana-sini, mengerucutlah tersangkanya kepadaku.

Mungkin Bu Tri kaget juga dengan ke-gemblungan-ku menulis di tembok, dan menyiapkan sebuah hukuman yang cukup intelek buat aku, murid imut kebanggaannya (halah...lagi).

Aku disuruh menulis di selembar kertas dengan kalimat “Aku tidak akan nakal lagi” sebanyak sepuluh baris.  Ah, gampang pikirku, sejak TK aku sudah piawai menulis, jadi hukuman semacam ini tidak akan membuatku jera (h hi hi, keluar tanduk di kepala).

Yang membuat aku bingung adalah ketika Bu Tri menyuruhku meminta tanda tangan Ibu ku di akhir tulisan hukuman itu. What, this is the end of my life!  Ibu ku juga guru SD, tapi tidak sama dengan SD tempat aku bersekolah, itu sengaja dilakukan ibu agar aku (dan kakak-kakakku) lebih mandiri dan tidak berada di bawah bayang-bayang ibu. 

Rupanya ini cara Bu Tri memberitahukan secara tidak langsung kepada Ibuku “Ini lho Bu, anaknya...tolong dididik ya, masak anak guru kok gak bisa kasih contoh yang baik”

Memutar otak, bagaimana aku bisa menjalankan hukuman dengan lancar tanpa tambahan nasehat panjang dari Ibu jika beliau tahu ‘kenakalanku’. Waktu tiga hari yang diberikan Bu Tri untuk menyelesaikan tulisanku tinggal sehari lagi, membawa selembar kertas kosong dan sebatang pulpen aku mendekati ibu.

“Bu, minta tanda tangan” ujarku dengan usaha keras mengatur nada suaraku senormal mungkin
“Buat apa?” Ibu menerima kertas dan pulpen yang kuangsurkan
“Anjas mau koleksi tanda tangan, Ibu tanda tangan di sini ya.” Aku menunjuk titik di kertas itu yang sudah kuhitung akan tepat berada di bawah 10 baris tulisan hukumanku nanti (asli aku gemetar waktu itu, berbohong pada Ibu)

Ibu membubuhkan tanda tangan dan bertanya “Mau minta tanda tangan Bapak nggak? Kan untuk koleksi? Semakin banyak semakin baik” Imbuh Ibu siap memanggil Bapak
Mboten Bu, ini koleksi khusus ibu-ibu” Ujarku sambil berlalu (nah lo, menutup kebohongan dengan kebohongan)

Terbirit-birit aku ke kamar menyelipkan kertas itu di bukuku dan mulai menuliskan 10 baris ‘aku tidak akan nakal lagi’. Karena kamar itu adalah kamar bersama, aku sangat hati-hati dan waspada melihat situasi, jangan sampai kakak-kakaku (yang 7 orang itu) ada yang tahu kalau aku mendapat hukuman.  Selesai menulis, aku lega memandang lembar kertas yang siap kuserahkan ke Bu Tri esok pagi.

Seminggu lebih berlalu dengan aman sentosa sodara, sampai suatu hari  sepulang dari pertemuan guru-guru SD Ibuku bertanya perihal insiden ‘J*na*di gemblung’ itu. Rupanya, Ibu dan Bu Tri bertemu dan mereka membahas tentang aku....Huwaaaaa.  

Tidak ada ekspresi marah dari Ibu, tidak karena aku mempermalukan Ibu, tidak karena aku sudah membohongi beliau.  Justru itu yang membuatku merasa sangat menyesal melakukan hal konyol, aneh dan nggak penting seperti itu yang membuat aku harus berbohong kepada Ibu. 


Jika mengingat kejadian  itu dan  melihat coretan anak-anakku sekarang di tembok rumah, aku bersyukur karena ‘konten’ yang di tulis anak-anak  jauuuuh lebih baik dari ibunya dulu.



Pila ampullacea


Namanya rumah dekat sawah alias mepet sawah, membuat anak-anakku terbiasa bermain dan mengenal segala jenis hewan di sawah.  Belalang, capung, kadal, ulat, kodok, jangkrik, bibis, cethul, kepik, keong dan ular. Selain ular, hewan yang lain tidak membuat mereka (dan aku) ketakutan. 

Satu jenis hewan yang menjadi favorit anak-anak adalah keong sawah alias Pila ampullacea, bukan untuk mainan tapi sebagai santapan. Sila baca tentang kehalalan mengkonsumsi hewan lunak ini di sini atau di sini.

Mulanya ibuku, ketika beliau berkunjung ke rumah kami, ibu  mengambil keong di sepanjang sawah dekat rumah lalu memasaknya melalui proses yang lumayan panjang sampai jadi hidangan yang mhmmmm.....Anak-anak yang semula ragu, kemudian mencoba dan ternyata enak, kemudian menjadi doyan dan terkadang di saat libur sekolah mereka akan menenteng kantong plastik kecil, menyusuri selokan dan sawah dekat rumah untuk mengumpulkan keong dan meminta aku memasaknya.  

Aku, akhirnya menjadi ahli mengolah keong dengan memodifikasi resep dari ibu mengikuti selera anak-anakku.

Serunya berburu dan meramu keong ini, diceritakan Sakha dan Akhsan ke teman-teman di sekolahnya. Sebagian besar teman mereka tidak pernah menyentuh sawah, kalaupun ada yang rumahnya dekat sawah, mereka tidak kenal dengan kuliner berprotein tinggi ini.

Ini penampakan keong sawah, gambar dari sini

Rumahku, menjadi tempat bermain seru untuk teman anak-anak. Bukan karena rumahnya besar dengan mainan yang lengkap...bukan, dari sekian banyak rumah teman Sakha dan Akhsan yang pernah kukunjungi, rumah kami adalah rumah yang paling mungil. 

Sawah, loteng, ayunan dan tangga kayu rupanya menjadi daya tarik buat anak-anak untuk berkumpul, selain (katanya) ibunya Mbak Sakha yang lucu dan wisata kuliner langka untuk mereka, Pila ampullacea ala chef Anjas.

Meskipun tidak setiap kali ada yang main ke rumah anak-anak menyantap keong, tergantung apakah mereka mau berkelana mencari bahan dasarnya, musim yang mempengaruhi ketersediaan bahan baku dan tentu saja tingkat kerepotan chef-nya di rumah.

Bisa jadi anak-anak itu makan keong sawah buatanku sambil  membayangkan menyantap escargot mahal dari Perancis sana ha ha ha.....

Sakha mengendus peluang usaha dalam urusan keong-mengeong ini, memanfaatkan promosi gratis dari mulut ke mulut oleh teman-temannya sendiri tentang lezatnya menyantap keong membuat Sakha berinisaiatif membeli sate keong yang di jual di pasar dekat rumah seharga Rp 1.000,- per tusuk, dan dijual kepada teman-temannya Rp 1.500,- per tusuk.  Ongkos transport kata Sakha. 

Sate keong ini umumnya terkenal di daerah Jawa Barat dan Bali. Namun ...
Sate....sate....gambar dari sini
 

Sakha biasanya membeli keong di hari Senin atau Rabu saat ada jadwal ekstra sampai pukul 17.00 WIB.  Tak mau ambil resiko, Sakha hanya membeli sebanyak jumlah pesanan, jika melebihkan jumlah ia hanya melebihkan satu atau dua tusuk saja untuk dimakan sendiri dan berbagi dengan Akhsan. Sakha jadi tahu ternyata berbisnis di jalur distribusi lebih menguntungkan daripada jalur produksi, enak banget tinggal nenteng keong matang udah dapat Rp 500,- per tusuk tanpa harus capek berjalan menyusuri pematang, mencuci keong, merebus, mencukil, mengiris, merebus lagi, membuat bumbu, menumis.....ah ribet, apalagi ditambah urusan cuci piringnya.

Tapi Sakha pernah bilang, teman-teman yang sudah pernah merasakan sensasi berburu dan masak keong di rumah lebih menyukai makan keong di rumah Sakha daripada membeli jadi. Ya iyalah lebih seru (dan gratis pula ha ha ha). Kalau seperti ini, aku jadi terpikir berbisnis paket wisata main ke sawah dan bersantap keong....mhmmmmm, prospektif kayaknya.

Jangan Asem