Namanya rumah dekat sawah alias mepet sawah, membuat
anak-anakku terbiasa bermain dan mengenal segala jenis hewan di sawah. Belalang, capung, kadal, ulat, kodok,
jangkrik, bibis, cethul, kepik, keong dan ular. Selain ular, hewan
yang lain tidak membuat mereka (dan aku) ketakutan.
Satu jenis hewan yang menjadi favorit anak-anak adalah keong
sawah alias Pila ampullacea, bukan
untuk mainan tapi sebagai santapan. Sila baca tentang kehalalan mengkonsumsi
hewan lunak ini di sini atau di sini.
Mulanya ibuku, ketika beliau berkunjung ke rumah kami, ibu mengambil
keong di sepanjang sawah dekat rumah lalu memasaknya melalui proses yang
lumayan panjang sampai jadi hidangan yang mhmmmm.....Anak-anak yang semula
ragu, kemudian mencoba dan ternyata enak, kemudian menjadi doyan dan terkadang
di saat libur sekolah mereka akan menenteng kantong plastik kecil, menyusuri
selokan dan sawah dekat rumah untuk mengumpulkan keong dan meminta aku memasaknya.
Aku, akhirnya menjadi ahli mengolah keong
dengan memodifikasi resep dari ibu mengikuti selera anak-anakku.
Serunya berburu dan meramu keong ini, diceritakan Sakha dan
Akhsan ke teman-teman di sekolahnya. Sebagian besar teman mereka tidak pernah
menyentuh sawah, kalaupun ada yang rumahnya dekat sawah, mereka tidak kenal
dengan kuliner berprotein tinggi ini.
Ini penampakan keong sawah, gambar dari sini |
Rumahku, menjadi tempat bermain seru untuk teman anak-anak.
Bukan karena rumahnya besar dengan mainan yang lengkap...bukan, dari sekian
banyak rumah teman Sakha dan Akhsan yang pernah kukunjungi, rumah kami adalah
rumah yang paling mungil.
Sawah, loteng, ayunan dan tangga kayu rupanya menjadi daya
tarik buat anak-anak untuk berkumpul, selain (katanya) ibunya Mbak Sakha yang
lucu dan wisata kuliner langka untuk mereka, Pila ampullacea ala chef Anjas.
Meskipun tidak setiap kali ada yang
main ke rumah anak-anak menyantap keong, tergantung apakah mereka mau berkelana
mencari bahan dasarnya, musim yang mempengaruhi ketersediaan bahan baku dan
tentu saja tingkat kerepotan chef-nya di rumah.
Bisa jadi anak-anak itu makan keong sawah buatanku sambil membayangkan menyantap escargot mahal dari Perancis sana ha ha ha.....
Sakha mengendus peluang usaha dalam urusan keong-mengeong
ini, memanfaatkan promosi gratis dari mulut ke mulut oleh teman-temannya
sendiri tentang lezatnya menyantap keong membuat Sakha berinisaiatif membeli
sate keong yang di jual di pasar dekat rumah seharga Rp 1.000,- per tusuk, dan dijual
kepada teman-temannya Rp 1.500,- per tusuk.
Ongkos transport kata Sakha.
Sate....sate....gambar dari sini |
Sakha biasanya membeli keong di hari Senin atau Rabu saat ada jadwal
ekstra sampai pukul 17.00 WIB. Tak mau
ambil resiko, Sakha hanya membeli sebanyak jumlah pesanan, jika melebihkan jumlah
ia hanya melebihkan satu atau dua tusuk saja untuk dimakan sendiri dan berbagi
dengan Akhsan. Sakha jadi tahu ternyata berbisnis di jalur distribusi lebih menguntungkan
daripada jalur produksi, enak banget tinggal nenteng keong matang udah dapat Rp
500,- per tusuk tanpa harus capek berjalan menyusuri pematang, mencuci keong,
merebus, mencukil, mengiris, merebus lagi, membuat bumbu, menumis.....ah ribet,
apalagi ditambah urusan cuci piringnya.
Tapi Sakha pernah bilang, teman-teman yang sudah pernah
merasakan sensasi berburu dan masak keong di rumah lebih menyukai makan keong
di rumah Sakha daripada membeli jadi. Ya iyalah lebih seru (dan gratis pula ha
ha ha). Kalau seperti ini, aku jadi terpikir berbisnis paket wisata main ke
sawah dan bersantap keong....mhmmmmm, prospektif kayaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar