Kamis, 20 Februari 2014

Pila ampullacea


Namanya rumah dekat sawah alias mepet sawah, membuat anak-anakku terbiasa bermain dan mengenal segala jenis hewan di sawah.  Belalang, capung, kadal, ulat, kodok, jangkrik, bibis, cethul, kepik, keong dan ular. Selain ular, hewan yang lain tidak membuat mereka (dan aku) ketakutan. 

Satu jenis hewan yang menjadi favorit anak-anak adalah keong sawah alias Pila ampullacea, bukan untuk mainan tapi sebagai santapan. Sila baca tentang kehalalan mengkonsumsi hewan lunak ini di sini atau di sini.

Mulanya ibuku, ketika beliau berkunjung ke rumah kami, ibu  mengambil keong di sepanjang sawah dekat rumah lalu memasaknya melalui proses yang lumayan panjang sampai jadi hidangan yang mhmmmm.....Anak-anak yang semula ragu, kemudian mencoba dan ternyata enak, kemudian menjadi doyan dan terkadang di saat libur sekolah mereka akan menenteng kantong plastik kecil, menyusuri selokan dan sawah dekat rumah untuk mengumpulkan keong dan meminta aku memasaknya.  

Aku, akhirnya menjadi ahli mengolah keong dengan memodifikasi resep dari ibu mengikuti selera anak-anakku.

Serunya berburu dan meramu keong ini, diceritakan Sakha dan Akhsan ke teman-teman di sekolahnya. Sebagian besar teman mereka tidak pernah menyentuh sawah, kalaupun ada yang rumahnya dekat sawah, mereka tidak kenal dengan kuliner berprotein tinggi ini.

Ini penampakan keong sawah, gambar dari sini

Rumahku, menjadi tempat bermain seru untuk teman anak-anak. Bukan karena rumahnya besar dengan mainan yang lengkap...bukan, dari sekian banyak rumah teman Sakha dan Akhsan yang pernah kukunjungi, rumah kami adalah rumah yang paling mungil. 

Sawah, loteng, ayunan dan tangga kayu rupanya menjadi daya tarik buat anak-anak untuk berkumpul, selain (katanya) ibunya Mbak Sakha yang lucu dan wisata kuliner langka untuk mereka, Pila ampullacea ala chef Anjas.

Meskipun tidak setiap kali ada yang main ke rumah anak-anak menyantap keong, tergantung apakah mereka mau berkelana mencari bahan dasarnya, musim yang mempengaruhi ketersediaan bahan baku dan tentu saja tingkat kerepotan chef-nya di rumah.

Bisa jadi anak-anak itu makan keong sawah buatanku sambil  membayangkan menyantap escargot mahal dari Perancis sana ha ha ha.....

Sakha mengendus peluang usaha dalam urusan keong-mengeong ini, memanfaatkan promosi gratis dari mulut ke mulut oleh teman-temannya sendiri tentang lezatnya menyantap keong membuat Sakha berinisaiatif membeli sate keong yang di jual di pasar dekat rumah seharga Rp 1.000,- per tusuk, dan dijual kepada teman-temannya Rp 1.500,- per tusuk.  Ongkos transport kata Sakha. 

Sate keong ini umumnya terkenal di daerah Jawa Barat dan Bali. Namun ...
Sate....sate....gambar dari sini
 

Sakha biasanya membeli keong di hari Senin atau Rabu saat ada jadwal ekstra sampai pukul 17.00 WIB.  Tak mau ambil resiko, Sakha hanya membeli sebanyak jumlah pesanan, jika melebihkan jumlah ia hanya melebihkan satu atau dua tusuk saja untuk dimakan sendiri dan berbagi dengan Akhsan. Sakha jadi tahu ternyata berbisnis di jalur distribusi lebih menguntungkan daripada jalur produksi, enak banget tinggal nenteng keong matang udah dapat Rp 500,- per tusuk tanpa harus capek berjalan menyusuri pematang, mencuci keong, merebus, mencukil, mengiris, merebus lagi, membuat bumbu, menumis.....ah ribet, apalagi ditambah urusan cuci piringnya.

Tapi Sakha pernah bilang, teman-teman yang sudah pernah merasakan sensasi berburu dan masak keong di rumah lebih menyukai makan keong di rumah Sakha daripada membeli jadi. Ya iyalah lebih seru (dan gratis pula ha ha ha). Kalau seperti ini, aku jadi terpikir berbisnis paket wisata main ke sawah dan bersantap keong....mhmmmmm, prospektif kayaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem