Pagi ini
mengantar Abbad ke sekolah, dapat cerita seru dari Ustadzah TK.
“Bu, kemarin itu
lucu waktu makan siang. “ Ustadzah mulai bercerita dengan penuh ekspresi,
maklum ya pengajar TK selalu ekspresif dan menyenangkan ketika berbincang.
Setelah
anak-anak selesai makan siang salah satu ustadzah mengatakan, “Wah...kuahnya
habis” ini sebagai bentuk penghargaan kepada anak-anak yang antusias makan
sayur
Tak diduga Abbad
menjawab dengan ekspresi sedih namun tetap dengan mata binar lucunya sambil
mengangkat bahu, menekuk siku dan menengadahkan kedua telapak tangannya
(kebayang nggak pose tubuhnya) sambil berkata “ Waduh, maaf... barangkali kami
mengambilnya terlalu banyak”
Ustadzah
langsung menenangkan dengan kalimat “ Ah, tidak masalah. Ustadzah bisa
mengambil di TK B atau di belakang”. Jawaban itu menghilangkan ekspresi sedih
Abbad seketika.
Anak-anak
seringkali mengucapkan kalimat yang tidak terduga. Kosakata yang diucapkan
sebenarnya biasa saja, tapi penggunaannya dalam kalimat dan situasi tak terduga
seringkali membuat para orang tua terkikik geli, terpana dan bahkan terpesona
Hal yang sama
aku ingat pernah terjadi juga kepada Akhsan (anak ke-2) saat ia berusia 4-5
tahunan dan sekolah TK A...sama dengan Abbad sekarang. Akhsan sangat suka dengan
kata ‘mula-mula’. Kosakata ini dia dapat dari ustadzahnya ketika mengajarkan
sebuah proses, aku tidak tahu persis proses pembuatan apa.
Sampai di rumah
dia ‘mengajarkan’ kosa kata itu padaku.
“Ibu, sini aku
bisa membuat pesawat dari kertas lipat”, katanya memulai .
“Aku direkam ya”
pintanya.
Kuambil kamera
digital, dan duduk menggelesot di lantai tepat di depannya untuk memulai proses
perekaman.
Sambil
melipat-lipat kertasnya Akhsan mengiringi dengan narasi yang menarik.
“Baiklah, kita
akan membuat pesawat dari kertas lipat. Mula-mula kita ambil kertas lipat, lalu
kita lipat seperti ini. Mula-mula kertasnya dibalik, lalu dibalik lagi
mula-mula. Lalu mula-mula dibuat seperti ini dan dilipat ke sini
mula-mula...nah jadi deh mula-mula pesawatnya”
Aku berusaha menahan kamera tidak bergoyang karena
tubuhku terguncang menahan tawa, Akhsan jatuh cinta pada kata mula-mula. Saat
itu aku tak menyalahkan atau membenarkan kata mula-mulanya, kubiarkan saja.
Hari-hari berikutnya aku kadang menggunakan kata ‘mula-mula’ itu sesuai kaidah
yang sebenarnya. Lambat laun Akhsan
mengerti dan sekarang ini kalau kugoda dengan kata ‘mula-mula’ dia akan
tertawa-tawa mengingat masa lalunya. Sayang sekali aku kehilangan file rekaman
‘mula-mula’ itu, jadi tak bisa ditayangkan di sini.
Ketika seorang
anak mengenal kosa kata baru yang menurutnya menarik, dia akan mencoba
menirunya. Kata baru yang menarik bagi anak bisa karena diksinya yang berbeda dengan kosakata
yang sudah dia kenal sebelumnya, atau menarik karena diucapkan oleh orang yang
disukainya atau menarik karena ekspresi orang lain yang mendengar ketika
kosakata itu dilontarkan. Seiring bertambahnya umur anak, dia akan semakin
banyak mendapatkan kata baru yang tidak semuanya baik. Ketika kata baru yang
dikenalnya itu masuk dalam kategori
biasa- biasa saja tidak akan menjadi persoalan buat kita para orang tua. Jika
kata itu masuk dalam kategori harus dijelaskan, orang tua harus berusaha
menjelaskan sebisa mungkin dengan bahasa anak misalnya yang pernah kualami
ketika menjelaskan kata ‘selingkuh’ dan ‘kondom’ kepada Sakha. Yang harus kita hindari adalah salah
memberikan ekspresi yang justru akan mengundang keinginan anak untuk mengulang
kata yang ‘tidak baik’ .
Ketika anak
mendapatkan kata yang buruk, orang tua tidak perlu langsung tampang wajah
menyeramkan. Meski sulit coba pasang ekspresi datar,belajar pasang ‘poker face’
sambil meneruskan obrolan untuk mencari tahu dari siapa atau dari mana anak
mendapatkan kata baru itu. Misalkan anak kita
mendengar kata ‘bajingan’ yang diucapkan dengan nada mengumpat, kemudian
dia menirukan atau bahkan mengulang-ulangnya.
Orang tua bisa menjelaskan asal kata bajingan. Sejarah bajingan ini kudapat dari cerita suamiku. Awalnya bajingan
adalah sebutan untuk supir/orang yang mengendarai pedati (Nah....pembicaraan
bisa berkembang dengan browsing gambar pedati bersama anak kalau memang dia
tiadak pernah melihat bentuk nyata pedati).
Pedati yang merupakan kendaraan jaman dulu berjalan sangat lambat, ketika
orang jengkel karena tak kunjung tiba di tempat tujuan sehingga ada yang
mengeluh “Bajingan, suwe banget!” – (Jawa: Supir pedati kok lama sekali ).
Dalam perkembangannya kemudian dipotong dengan hanya mengeluh “bajingan” yang
pada akhirnya dipakai untuk mengumpat sampai saat ini. Dengan penjelasan
seperti itu, anak akan paham dan tahu bagaimana menggunakan kata pada situasi
dan intonasi yang tepat. Yakin juga bahwa anak adalah agen penyebar informasi
yang hebat, dia akan menyebarkan info sejarah itu dengan sangat cepat kepada
teman-temannya.
Jadi,
berbahagialah jika mempunyai anak yang punya banyak teman, gemar membaca buku
atau banyak melakukan aktivitas yang memungkinkan dia menemukan kosakata
baru. Sebagai orang tua, kita imbangi dengan selalu berusaha menjadi
fasilitator yang baik untuk mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar