Kamis, 30 Juni 2016

Hari ke-25

Hari ke-25 Ramadhan
Alhamdulillah Sakha, Akhsan, dan Abbad (eh, si Bapak juga), masih full puasa tanpa ada yang bolong.  Bersyukur kepada Allah atas karunia umur, dan kesehatan yang dilimpahkan.

Ibu ya bolos puasa normal dalam periodenya, di hari lain alhamdulillah bisa puasa meski menyusui de Shafa.  Sekarang de Shafa sudah semakin besar, makannya doyan dan semakin beragam (apa saja mau), sudah mau minum susu UHT kotak pula.

Shafa juga yang paling semangat berangkat taraweh ke Mushola, tiap kali dengar Adzan dia akan panggil-panggil mas-mas dan kakaknya diajak ke masjid.

Shafa juga yang paling heboh minta uang untuk infak tiap mau berangkat ke musholla,
"Ibu, uan impap" katanya
Kalau aku mengeluarkan dompet untuk mengambil uang, Shafa akan minta tiga lembar lagi untuk dibagi dengan mas-mas dan kakaknya.  Macam Ibu-ibu bagi uang saku ke anaknya.
" Bad, ini impap...Acan, ini impap,...Tatak, ini impap"

Kemudian di musholla, si bontot ini akan ambil wudhu lalu menuju pojokan musholla tempat penyimpanan kotak infak (sudah tau dia dimana takmir 'menyembunyikannya'), lalu terhuyung-huyung membawa kotak infak ke dekat tempat duduknya.

Jamaah lain karena sudah hafal dengan kebiasaan Shafa, biasanya langsung sigap membantu membawakan. kotak infak, meski aku sih sebenarnya lebih suka kalo Shafa berusaha keras sendiri.

Sampai hari ke-25 ini juga alhamdulillah masih bisa bertahan untuk membuat menu yang biasa saja, alhamdulillah beberapa tahun terakhir ini kebiasaan yang 'ditekankan' suamiku ini bisa kulakukan.  Dulu-dulu sih aku masih suka bikin macam-macam saat menyiapkan buka puasa, tapi alhamdulillah sekarang dengan menu yang seperti hari biasa tidak mengurangi nikmatnya anak-anak berbuka.  Toh memang lauk yang paling enak adalah rasa lapar.

Momen sahur juga bisa terlewati tanpa gangguan berarti, anak-anak lebih mudah dibangunkan (Apalagi Akhsan yang kadang bangun duluan karena nonton piala Eropa he he). Aku selalu mepet subuh saat sahur, biasanya anak-anak kami bangunkan jam 4, jadi cukup 30 menit untuk sahur.  Menu sahur yang sederhana juga membuat aku tidak bangun terlalu awal. Setengah jam sebelum jam empat sudah sangat cukup untuk menyiapkan santapan sahur. 

Pernah satu kali aku baru bangun pukul 3.45, untunglah sorenya aku sudah membumbui tempe dan memotongi sayuran untuk sup.  Jadi waktu yang tersedia sangat cukup untuk mendidihkan kaldu yang sudah tersedia, plung-plung-plung masak sup,  menggoreng tempe, dan mengulek sambal.

Lain waktu juga pernah aku bangun sudah imsak, masih ada waktu 15 menit sebelum subuh. Langsung kubangunkan orang serumah  dan kuminta anak-anak dan suami berangkat ke warung. Aku makan sisa buka tadi. Alhamdulillah masih sempat sahur.

Semoga sisa Ramadhan ini bisa kami lalui dengan lebih baik dan bisa bertemu kembali Ramadhan tahun depan...Aamiin

Selasa, 28 Juni 2016

Cookies-Cookies

Anak-anakku (minus Shafa) termasuk anak yang 'mau' masak.  Masakan sederhana sih semacam goreng telur, bikin sop, goreng nasi atau bikin spagheti.  Tapi untuk Sakha, memasak juga menjadi salah satu hobby-nya.

Kesukaan Sakha pada masak-memasak sepertinya sudah dimulai sejak dalam kandungan dulu.  Aku, yang mendefinisikan kata memasak sebagai proses mengubah bahan mentah menjadi makanan yang siap disantap tiba-tiba menjadikan masak sebagai hobby dan kesukaan.  Sampe dibela-belain minta suami mencarikan tempat les masak. Kalau sekedar masakan rumah sehari-hari aku bisa lah, tapi saat hamil Sakha dulu aku ngebet banget belajar bikin kue dan roti.

Betul, membuat taart, soes, kue-kue...mhm....dan kesukaan itu langsung hilang setelah Sakha lahir.
Entah memang bawaan bayi atau bagaimana, sekarang Sakha suka dan lebih jago dariku bikin kue.

Karena aku memang gak punya alat untuk masak kue ya, sejak kelas tiga SD kuingat dia sudah mulai brosing resep yang tanpa oven dan  tanpa mikser.  Setelah melihat kegigihannya membuat kue yang 'hanya' dikukus atau digoreng, akhirnya saat kelas empat SD Sakha kubelikan oven untuk bereksperimen memanggang kue-kuenya.

Oven yang kubelikan juga tidak 'nganggur' selama setahun, ada saja resep coba-coba yang dibuat Sakha yang bisa dinikmati keluarga. Akhirnya kelas lima SD kuhadiahkan mikser untuk menambah resep yang bisa dicobanya.  Dan untuk ketepatan ukuran resep kue-kuenya, kulengkapi dengan timbangan kue.  Sebelum punya timbangan kue Sakha menakar dengan konversi ala-ala sesuai informasi dari ibunya hehe.

Nah, dengan perangkat yang lumayan lengkap Sakha semakin asik pereksperimen.  Salah satu blog favoritnya soal resep masakan adalah Just Try & Taste yang bisa dilihat di sini.  Mbak Endang Indriani yang mungkin lebih tepat dipanggil Tante Endang, owner JTT, menjadi satu idola baru Sakha.

Banyak resep dari JTT sudah dipraktekkan Sakha dan selalu membuat kami sekeluarga bergoyang lidah menikmati masakannya.  Beberapa masakan yang dibuat juga ada foto step by step nya.  Tapi belum dibuat tulisan ciamik seperti blog tante Endang.

Liburan menjelang lebaran ini Sakha dan adik-adiknya sudah membuat nastar yang lumer di mulut, kastangel yang rasanya mhmmm banget dan berkesperimen membuat nastangel (adonan kastangel diisi selai nanas) dan cookies ala JTT.

Bikin nya baru satu resep masing-masing.  Tiap selesai bikin satu resep langsung habis dua hari setelah pembuatan, jadi kayaknya tidak ada kue lebaran.  Dokumentasi tidak sempat dilakukan, cuma cookies yang terakhir ini sempat foto hasil jadinya saja.  Yang mengambil gambar juga sakha dengan kamera kecilnya, tentu saja belum sebagus foto di JTT yang spek kameranya bikin ngiler, tapi hasilnya jauh lebih bagus dari ibunya yang cuma bisa default auto saja kalo disuruh ngambil foto hehehe.


Karena resep sebelumnya berhasil dieksekusi, resep akan diupgrade. Kalo sebelumnya pake mentega merk biasa dan keju cheddar.  Kemarin sudah beli mentega Wysman dan keju edam.  Siap dieksekusi.

Tante Endang, pesan dari Sakha postingan ini di tag ke panjenengan. Sakha ber-angan suatu saat ketika dia 'bertualang' akan sampai ke rumah Tante Endang untuk belajar langsung ke master JTT (katanya sudah pernah ada teman Tante Endang yang belajar langsung memasak ya....)

 Salam....




Selasa, 14 Juni 2016

Empil Nostalgia

Tahu kan makanan yang namanya empal daging? iya, itu daging yang dipotong agak pipih lalu direbus dan dibumbui dan biasanya digoreng sebelum disajikan.

Salah satu masakan Ibu yang masuk kategori favoritku saat kecil ya empal daging ini.  Kenapa favorit? karena masaknya jarang dan jika Ibu masak empal, porsi yang kami dapatkan masing-masing itu sedikit.  Potongan empalnya kecil-kecil dan bukan agak pipih melainkan sangat pipih (kategori sangat pipih itu aku simpulkan setelah dewasa dan melihat porsi asli empal yang dijual di luaran).

Etapi ya, pada saat itu yang namanya empal bikinan ibu itu paling top lah ya, dengan nasi anget kemebul, sambel tolenjeng (ulekan cabe rawit, bawang putih dan garam yang disiram sedikit jlantah bekas nggoreng empal), dan si empal mungil yang disuwir-suwir sporadis di atas sepiring nasi.
Jika beruntung masih dapat bagian remahan bumbu bawang putih dan tumbar yang gurihnya alamak jan.
Sepotong empal itu cukup sangat menjadi kawan sepiring atau satu setengah piring nasi masuk ke perut kami.

Ah, memang...sebenarnya yang membuat enak adalah rasa lapar dan cinta yang tersematkan dalam gorengan empal di setiap suwirnya.

Bagaimana ibu merebus  seperempat kilo daging sapi untuk diambil kaldunya untuk masak sop senerek yang segar, kemudian menyisihkan dagingnya untuk membuat menu empal di hari berikutnya.

Bagaimana kemudian dengan telaten ibu mengiris tipis daging sapi itu dan memastikan jumlah potongan cukup untuk seluruh anggota keluarga.

Bagaimana ibu mengulek bumbu-bumbu di cobek berukuran besar, kemudian menggepuk satu demi satu potongan daging agar bumbunya meresap sampai ke dalam.

Suatu waktu aku kangen Ibu, kangen dengan empal goreng istimewanya.  Ingin mereplikasi masakan Ibu, mengenalkan kepada anak-anakku lengkap dengan cerita melankoli masakan Eyang Utinya.
Jadi...kucoba lah membuat yang ibu buat, tapi kusampaikan kepada anak-anak kalau nama masakan kali ini adalah empil bukan empal. Untuk membedakan dengan empal pada umumnya.

Lengkap dengan sambel tolenjeng dan bening bayem bumbu brambang salam, kusajikan empil nostalgia.  Selamat menikmati.






Senin, 13 Juni 2016

Melompat Lebih Tinggi




Tentu saja ini bukan ulasan tentang lagunya Sheila on 7, karena aku bukan Sheila Gank. Ini cerita tentang kebahagiaan keluarga kami.  

Salah satu kebanggaan orangtua adalah ketika anaknya melakukan pencapaian yang lebih baik dari dirinya. Ketika anak melakukan lompatan yang lebih tinggi, rasa syukurnya berlipat-lipat dibanding saat diri  sendiri  menggapai sesuatu.
Ini gaya Sakha dkk saat Wisuda, ukuran Sakha seukuran Ibuknya Pas SMA



Kalo kulihat lagi dan lagi, ternyata anak-anak sudah melakukan lompatan yang lebih tinggi dari Ibuk dan Bapaknya.  Saat ini yang akan kuceritakan adalah Sakha. 
Untuk ukuran fisik jelas dia melebihi aku jauh banget, posturnya sekarang ini adalah gambaranku saat duduk di bangku SMA. Iya, bayangkan jika Sakha pake seragam putih abu-abu, seukuran itulah aku saat SMA.  Sementara Sakha baru saja lulus SD he he he, ini tidak sekedar melompat, tapi salto.

Untuk kelancaran baca Al-Qur'an.  Sekarang  aku kalah dari Sakha. Makhraj dan tajwid Sakha lebih baik dariku.  Setelah membaca satu ayat misalnya, dia bisa menguraikan dengan lancar tajwid dalam ayat tersebut Izh-har Halqi, Idgham, Iqlab, Ikhfa’ Haqiqi,Ikhfa’ Syafawi, Idgham Mitslain, Izh-har Syafawi, Alif Lam Qamariyah, Alif Lam Syamsiyah, Mad Thabi’i, Mad Badal, Mad ‘Iwadh, Mad Tamkin, Mad Shilah Qashirah, Mad Wajib Muttashil, Mad Ja’iz Munfashil dan lain-lain.
Beda banget sama Ibuknya Sakha yang kalo pas pelajaran agama di sekolah ada tugas maju ke depan menandai tajwid satu ayat yang dituliskan bu guru.....pasti andalannya cuma cepet-cepet menandai Mad Thabi'i saja he he he. Sekarang saat saling simak baca Qur'an, koreksinya sudah saling, alias dua arah...dan lebih banyak arah koreksi dari Sakha ke bacaanku.

Gaya Mak-nya gak jauh beda ternyata
Hafalan qur'an....Hmmmm, untuk yang ini sampai-sampai Sakha berkomentar "Mbok nambah hafalan, Bu".  Karena hafalanku mentok di juz bontot saja plus beberapa ayat "favorit" di surat panjang.  Sementara sekarang hafalan Sakha sudah masuk juz 2 dan Insya Allah dia targetkan untuk nambah minimal 6 Juz di SMP nanti. Adyuh Nduk, Ibu kok cuma bisa senyum-senyum malu ya.  Ngafalin di umur gini kok ya susyah ya (Siap disentil karena kebanyakan alasan...)

Untuk nilai akademis aku dan suami gak pernah pasang target harus segini atau segitu untuk anak-anak.  Saat ujian akhir SD kemarin, Sakha pasang target sendiri untuk dapat nilai 29.  Meskipun berapapun nilainya, tidak akan ngaruh untuk pendaftaran SMP karena Sakha sudah jelas mau sekolah di mana. Tapi Sakha punya alasan sendiri. Katanya biar lebih baik dari nilai Ibuk waktu lulus SD nanti.  Saat aku bilang, "Ibuk gak nuntut nilai Kakak tinggi lho..." dijawab Sakha dengan "Diaminkan saja to, Buk".

Pengumuman nilai kemarin Sakha dapat 28,7. Sedikit lebih rendah dari target pribadinya, tapi sudah mengalahkan nilai rata-rata Ibuknya di jenjang yang sama.   Alhamdulillah....syukur kami atas lompatan Sakha yang lebih tinggi.  Sebagai penambah semangat, sore hari setelah pengumuman, anak-anak diajak beli buku ke Gramedia. Semua boleh memilih satu buku dan Sakha diberi keistimewaan menambah satu buku sebagai bonus. 

Yah, lompatan demi lompatan dilakukan anak-anak.  Sebagai orang tua kami hanya bisa membekalkan kuda-kuda yang kuat, teriakan penyemangat, dan doa panjang untuk mereka.  Semoga lompatan mereka menjadi jalan kebaikan, selalu mendapat ridha Allah SWT, memberikan manfaat untuk orang lain dan tidak menjadikan kesombongan dalam diri mereka.  Aamiin


Jangan Asem