Kamis, 24 Januari 2013

Rai Gedhek


Beberapa hari lalu, ketika aku mengunggah foto tumis rebung yang kumasak, seorang teman mengomentari dengan gurauan “Ati-ati, jangan kebanyakan ntar jadi rai gedheg

Rai gedhek adalah kata dalam bahasa jawa yang jika di bahasa-Indonesiakan berarti muka tembok (jaman dulu jarang rumah berdinding tembok, yang dipakai sebagai pembatas adalah bambu dianyam yang disebut gedhek). Artinya ya itu, muka tembok, tebal muka, muka badak, alias gak tau malu.

Sekarang aku bisa menanggapi candaan seperti ini dengan senyum lebar, namun jika mengingat puluhan tahun ke belakang (ups....ternyata sudah 34 tahun umurku ini), ketika aku masih berujud seorang bocah merah putih, candaan rai gedhek karena makan rebung sungguh menakutkanku.

Aku ingat, suatu waktu ketika aku kelas 1 atau 2 SD, ibuku memasak rebung bambu petung yang tumbuh berumpun di belakang rumah kami.  Namanya rebung petung, jadinya rebungnya buesaaar dan gemuk.  Rebung ini tentu saja tak habis dalam periode sekali makan, meskipun sudah dikeroyok 10 anggota keluarga kami (9 tepatnya karena kakak sulungku sudah kuliah di luar kota waktu itu).

Selama satu pekan lauk kami adalah rebung.  Rebung tumis, rebung bumbu kuning, risoles rebung, rebung bumbu bakmi, rebung ini dan rebung itu.  Tambahan pelengkap untuk hidangan rebung adalah sambal (saat rebung dimasak gurih) atau kerupuk (saat rebung dimasak pedas). Aku oke-oke saja waktu itu, karena biasa memakan apapun yang dimasak ibu.

Suatu siang, seorang kakak mungkin sudah sampai pada titik jenuh dengan rebung ini. Ia tak segera beranjak ketika diajak makan siang, tapi tak mengatakan alasannya.  Setelah dirayu ibu, kakakku itu makan sambil berlinang air mata. Menu siang itu adalah nasi putih, rebung bumbu kuning dan sambel trasi.

Aku melihat wajah pedih ibu, aku melongo melihat kakakku makan dengan air mata berburai-burai.  Belakangan aku sadar (menebak dan menyimpulkan sendiri tepatnya) waktu itu ibu sedih tak bisa memberikan lebih dari itu karena beliau harus cermat berhitung dan berhemat mengatur gaji ibu dan bapak untuk segala pengeluaran  mencukupi kebutuhan keluarga.  Kakakku menangis karena mati-matian melawan rasa bosannya pada rebung, namun tak tega pula menyakiti hati ibu jika tak mau makan.

Kasak-kusuk aku mencari tau kenapa kakakku tidak suka makan rebung.  Tak ingat informasi darimana waktu itu katanya kalau makan rebung nanti bisa punya rai gedhek.
Aduh....ngeri aku mendengarnya, membayangkan kami sekeluarga dengan wajah berpola anyaman seperti gedhek rumah tetangga.

Setelah itu aku mulai mengamati wajah bapak, ibu dan kakak-kakakku...melihat tanda perubahan wajah mereka. Tiap kali makan rebung aku segera bercermin, mengelus-elus pipi dan dahiku, mencari tanda-tanda pola anyaman bambu. Aku tak sampai hati bertanya pada ibu,entah pertimbangan apa yang kupakai waktu itu yang pasti aku tidak menceritakan kekhawatiranku pada ibu.

Ketakutan  itu menghantuiku berakhir ketika di suatu waktu, seputaran kelas 3 sepertinya aku membaca buku Bahasa Indonesia kakakku (kelas 5 atau 6 ya...aku tak terlalu ingat) tentang istilah muka tembok.  Ketika  aku bertanya pada ibu apakah muka tembok dan rai gedhek punya arti yang sama, jawaban iya dari Ibu sungguh melegakanku.

Uhm, hatiku bertanya-tanya...pernahkah orang yang berkata ‘tidak ingat yang mulia’ atau ‘gantung saya di....’ atau banyak 'ketidaktahumaluan' yang lainnya,  makan rebung varietas unggul yang benar-benar bisa menimbulkan efek rai gedhek?

Jumat, 18 Januari 2013

50 TAHUN LAGI

Sekarang atau lima puluh tahun lagi
Ku masih akan tetap mencintaimu
Tak ada bedanya rasa cintaku
Masih sama seperti pertama bertemu


Itu potongan lagu yang dinyanyikan Yuni Shara (feat Rafi Ahmad)
Tentu saja aku tidak nge-fans dengan salah satu atau pun keduanya

Hanya ingin menuliskannya saja, membayangkan jika lagu itu dinyanyikan Ibu dan Bapakku. Beliau berdua merayakan 50 tahun pernikahan di bulan Agustus tahun 2012 lalu.


Bukan perayaan besar, kami sekeluarga berkumpul bersama. Kakak ke-3 menjadi pembawa acara (MC sepanjang masa). Dibuka dengan bacaan ayat suci Alqur'an oleh cucu ke-7 dengan saritilawah cucu ke-13. Dilanjutkan dengan pembacaan puisi oleh cucu ke-6. Sebenarnya aku yang membuat puisi itu, tapi aku tidak menyimpannya jadi tak bisa kutulis disini.

Yang pasti saat puisi itu dibacakan, kami menyusut air mata diam-diam.  Keponakanku itu membaca dengan sungguh-sungguh penuh perasaan.  Puisiku yang biasa-biasa saja jadi begitu menyentuh perasaan ketika dibacakan gadis kecil putri kakakku.

Buat aku sendiri yang baru mencicipi dunia pernikahan 9 tahun, bersama lima puluh tahun itu juara dan istimewa. Aku yakin Bapak dan Ibu pernah mengalami masa pasang dan surut, toh itu hal yang lumrah dalam rumah tangga. Melihat beliau berdua sekarang ini...rasanya, campur aduk

Aku bersyukur dilahirkan dalam sebuah keluarga besar yang hangat

Bapak yang tegas dan disiplin, mendidik dengan mencontohkan.  Bapak itu well prepared, jika akan bepergian pasti sudah menyemir sepatu malam sebelumnya, dan siap tiga puluh menit (bahkan lebih lama dari itu ) sebelum jam kesepakatan. Membuat keder kami yang masih pontang-panting belum ini-belum itu.  Kalimat-kalimat keras bapak adalah nasehat hidup yang membekas dan membentuk keberadaanku saat ini. Aku ingat ketika pertama kali bekerja, mendapat teguran keras dari supervisor (aku sih tenang-tenang saja waktu itu karena merasa benar). Seorang kawan bertanya kenapa aku begitu tenang, aku jawab "Bapakku lebih keras dari dia kalo bicara"

Terimakasih Bapak, telah menguatkan mentalku menghadapi situasi semacam itu.

Satu hal yang kuingat adalah ketika aku pertama kali bekerja, di luar provinsi, di medan yang sulit berbukit, ketika pulang seorang kakak 'mengasihaniku' dan bertanya aku yakin akan meneruskan pekerjaanku. Yang Bapak katakan adalah "Kabeh ki tergantung sing nglakoni, sing nyawang abot nanging sing nglakoni entheng yo rapapa"

(Berat atau tidaknya suatu pekerjaan tergantung yang menjalani, bukan orang lain yang memandang)

Dan aku selalu belajar terus  menanamkan dalam hatiku bahwa semua yang kuhadapi pasti akan sanggup kupikul, bukankah Allah memberikan beban pada hambanya sesuai dengan kemampuan masing-masing.

Ibuku, adalah perempuan yang sangat istimewa. Ibu pintar, mengajariku banyak hal. Dari pengetahuan sampai ketrampilan perempuan. Ibu sangat sabaaaaaar....sangat menghargai pilihan hidup anak-anaknya.  Ibu begitu mengenal aku dan semua kakakku, ibu memahami kami...
Pokoknya Ibu luar biasa....

Aku dan saudara-saudaraku, menjadi saksi perjuangan cinta beliau berdua.  Kami bersaudara yang semua pernah mengalami fase keras kepala, sok tau, dan semaunya sendiri...aku yakin menyimpan kekaguman yang sama untuk Bapak dan Ibu.

Bapak-Ibu....50 tahun !

Sepertinya lirik :

Tak ada bedanya rasa cintaku
Masih sama seperti pertama bertemu


Tidak terlalu tepat untuk Bapak dan Ibu
Karena aku yakin rasa cinta itu telah berkembang menjadi luar biasa saat ini.


 






Senin, 14 Januari 2013

KALUNG UNTUK IBU



Ini cerita sudah lamaaaa banget pengen kutulis dan kubagi, tapi ada saja yang membuat tidak kesampaian.
Cerita tiga bulan lalu saat  Sakha PKL ke Bringharjo dan Lottemart, ini adalah PKL untuk anak-anak agar bisa membandingkan antara pasar tradisional dan modern. 

Seperti biasa, Sakha selalu antusias mengikuti kegiatan di luar. 
“Ibu mau kubelikan apa?” tanyanya beberapa hari sebelum berangkat.
 Anak-anak memang diperkenankan membawa bekal dengan jumlah nominal maksimal 50 ribu rupiah.
“ Mhm….apa ya, bawang merah aja ya” jawabku tiba-tiba teringat persediaan bawang merah yang menipis.

***
Selasa, Hari PKL Sakha
Sepulang sekolah Sakha berbagi hasil belanja.  
Akhsan, Abbad dan Sakha masing-masing mendapat satu set penggaris (yang terdiri dari satu penggaris lurus 15cm, dua penggaris segitiga dan satu busur derajat). 
Warna biru untuk Akhsan, warna coklat untuk Abbad dan warna pink untuk Sakha. 
 Selain itu Sakha juga membeli satu lusin pensil yang dibagi untuk adik-adiknya masing-masing tiga buah dan sisanya disimpan untuk Sakha sendiri.  

“Beli apa lagi?” tanyaku berharap mendapat sekantong bawang merah

“Aku belie s krim dan coklat sudah kumakan disana, dan aku beli ini untuk Ibu” Sakha mengangsurkan benda kecil dalam genggamannya.

Ketika genggaman kecil itu terbuka, ada sebuah kalung dengan liontin  huruf A

“ A, untuk Anjas” Katanya menirukan sepotong dialog dalam ‘Hafalan Shalat Delisa’

Tiba-tiba saja, ada gelombang kecil di mataku yang susah ditahan dan rasanya hampir tumpah keluar.

“Terimakasih, Kak” Kuterima kalung itu sambil kupeluk dan kucium kedua pipi Sakha menyembunyikan keharuanku.

Ah, oleh-oleh dari sulungku ini membuatku tersenyum di sepanjang sisa hari itu.  

Kalung dari Sakha tidak kukenakan di leher, kusulap menjadi gelang dengan melingkarkannya tiga kali di pergelangan tangan kiriku.

“Kenapa tidak dipakai di leher, Bu?” Tanya Sakha

“Ibu lebih suka di pakai  jadi gelang, Ibu pengen bisa lihat terus pemberian Kakak…kalau dipakai di leher, ibu cuma bisa lihat di rumah sambil ngaca…tapi kalau dipakai di tangan kan bisa dipandang sewaktu-waktu” Jawabanku menyenangkan Sakha dan dia memberikan hadiah tambahan berupa peluk dan cium untukku.

***
Seorang teman bertanya ketika melihat gelang baruku “Wah, gelang baru, emas putih ya Mbak?”
Senyumku mengembang dan menjawab...”Ini lebih berharga dari sekedar emas permata...ini gelang cinta”
Sakha, anakku, perhatianmu….sungguh meluberkan kebahagiaanku

Jangan Asem