Beberapa hari
lalu, ketika aku mengunggah foto tumis rebung yang kumasak, seorang teman
mengomentari dengan gurauan “Ati-ati, jangan kebanyakan ntar jadi rai gedheg”
Rai gedhek adalah kata dalam bahasa jawa yang jika di bahasa-Indonesiakan
berarti muka tembok (jaman dulu jarang rumah berdinding tembok, yang dipakai
sebagai pembatas adalah bambu dianyam yang disebut gedhek). Artinya ya itu, muka tembok, tebal muka, muka badak, alias
gak tau malu.
Sekarang aku bisa
menanggapi candaan seperti ini dengan senyum lebar, namun jika mengingat
puluhan tahun ke belakang (ups....ternyata sudah 34 tahun umurku ini), ketika
aku masih berujud seorang bocah merah putih, candaan rai gedhek karena makan rebung sungguh menakutkanku.
Aku ingat, suatu
waktu ketika aku kelas 1 atau 2 SD, ibuku memasak rebung bambu petung yang
tumbuh berumpun di belakang rumah kami.
Namanya rebung petung, jadinya rebungnya buesaaar dan gemuk. Rebung ini tentu saja tak habis dalam periode
sekali makan, meskipun sudah dikeroyok 10 anggota keluarga kami (9 tepatnya
karena kakak sulungku sudah kuliah di luar kota waktu itu).
Selama satu pekan
lauk kami adalah rebung. Rebung tumis,
rebung bumbu kuning, risoles rebung, rebung bumbu bakmi, rebung ini dan rebung
itu. Tambahan pelengkap untuk hidangan
rebung adalah sambal (saat rebung dimasak gurih) atau kerupuk (saat rebung
dimasak pedas). Aku oke-oke saja waktu itu, karena biasa memakan apapun yang dimasak
ibu.
Suatu siang,
seorang kakak mungkin sudah sampai pada titik jenuh dengan rebung ini. Ia tak
segera beranjak ketika diajak makan siang, tapi tak mengatakan alasannya. Setelah dirayu ibu, kakakku itu makan sambil
berlinang air mata. Menu siang itu adalah nasi putih, rebung bumbu kuning dan
sambel trasi.
Aku melihat wajah
pedih ibu, aku melongo melihat kakakku makan dengan air mata berburai-burai. Belakangan aku sadar (menebak dan menyimpulkan
sendiri tepatnya) waktu itu ibu sedih tak bisa memberikan lebih dari itu karena
beliau harus cermat berhitung dan berhemat mengatur gaji ibu dan bapak untuk
segala pengeluaran mencukupi kebutuhan
keluarga. Kakakku menangis karena
mati-matian melawan rasa bosannya pada rebung, namun tak tega pula menyakiti
hati ibu jika tak mau makan.
Kasak-kusuk aku
mencari tau kenapa kakakku tidak suka makan rebung. Tak ingat informasi darimana waktu itu
katanya kalau makan rebung nanti bisa punya rai
gedhek.
Aduh....ngeri aku
mendengarnya, membayangkan kami sekeluarga dengan wajah berpola anyaman seperti
gedhek rumah tetangga.
Setelah itu aku
mulai mengamati wajah bapak, ibu dan kakak-kakakku...melihat tanda perubahan
wajah mereka. Tiap kali makan rebung aku segera bercermin, mengelus-elus pipi
dan dahiku, mencari tanda-tanda pola anyaman bambu. Aku tak sampai hati
bertanya pada ibu,entah pertimbangan apa yang kupakai waktu itu yang pasti aku
tidak menceritakan kekhawatiranku pada ibu.
Ketakutan itu menghantuiku berakhir ketika di suatu
waktu, seputaran kelas 3 sepertinya aku membaca buku Bahasa Indonesia kakakku
(kelas 5 atau 6 ya...aku tak terlalu ingat) tentang istilah muka tembok. Ketika aku bertanya pada ibu apakah muka tembok dan rai gedhek punya arti yang sama, jawaban
iya dari Ibu sungguh melegakanku.
Uhm, hatiku
bertanya-tanya...pernahkah orang yang berkata ‘tidak ingat yang mulia’ atau ‘gantung
saya di....’ atau banyak 'ketidaktahumaluan' yang lainnya, makan rebung varietas unggul yang
benar-benar bisa menimbulkan efek rai
gedhek?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar