Jumat, 17 Juni 2011

CEMBURU YANG TERTUNDA (Untuk para ibu yang pernah merasakannya)

Cemburu menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung.
Kosakata ini lebih sering dipakai dalam hubungan cinta asmara, tapi percayalah lanjutan dari rasan-rasan tulisan ini tak berkaitan dengan cinta antara pria dan wanita dewasa.
Cemburu yang kubahas sekarang, adalah rasa cemburu antara saudara kandung, cemburu mendapatkan bagian perhatian dari orang tua.
Dilahirkan sebagai anak bungsu, aku tak punya banyak kenangan tentang cemburu dengan saudara kandung. Aku merasakan perhatian (cukup berlebih mungkin) dari Bapak, Ibu dan tujuh orang kakakku.
Aku selalu merasa diistimewakan (Yah, tentu saja karena aku memang istimewa….)

Ingatanku tentang cemburu yang membakar hati terjadi saat aku kelas tiga SD, ketika ada saudara jauh kami berkunjung dan salah satu saudara sepupu jauhku yang sudah duduk di kelas enam SD dengan ukuran badan yang dua kali lebih besar dari aku minta gendong ibuku.
Ibuku, yang tinggi badannya tidak mencapai 1,5 meter terhuyung-huyung menggendong Mila (nama sepupuku itu) dari dalam rumah menuju teras depan.
Protes yang kusampaikan saat itu tidak diperhatikan, aku menyampaikan protes kenapa Mila digendong ibu, sementara aku, yang berbadan kecil mungil sudah dilarang minta gendong ibu karena dianggap sudah terlalu besar. Penjelasan ibuku kalau permintaan Mila dikabulkan karena tidak setiap tahun keluarga kami bisa saling mengunjungi, tak bisa meredam kecemburuanku.
Cemburu yang meletup-letup itu kuwujudkan dengan melakukan aksi bungkam terhadap ibu. Tak kujawab panggilan ibu, tak kubalas senyum ibu, aku lebih banyak diam (Tapi aku tetap makan dengan lahap masakan ibu, selain karena masakan ibu selalu enak…pada dasarnya aku doyan makan dan tidak tahan lapar). Aksi bungkam berlangsung beberapa hari, rayuan ibu, bujukan kakak-kakak tidak kugubris. Waktu itu aku cemburu habis dengan peristiwa gendong-menggendong itu.

Cerita cemburu itu tamat ketika guru wali kelasku di sekolah turun tangan memintaku untuk menerima maaf ibu (Aku yakin itu karena ibuku sudah habis akal menghadapi keras kepalaku dan minta tolong Bu Tri nama guruku itu, sebagai sesama guru SD hal itu dengan mudah dilakukan ibu). Akhirnya aku menerima maaf ibu karena sebenarnya aku sudah lelah bungkam terhadap ibu, lelah mengabaikan ibu. Bagaimanapun, ibu saat itu adalah pusat hidupku.

Urusan tentang cemburu aku alami kembali akhir-akhir ini (Dalam sisi peran yang berbeda, saat ini aku sudah menjadi ibu dari tiga anak, aku yang menjadi pusat hidup mereka, aku yang menjadi sumber cemburu mereka)

Setelah dua tahun lebih satu bulan menjadi pusat perhatian di rumah, Sakha putri sulungku mendapatkan saudaranya, adiknya, teman bermainnya, calon”rival” dalam mendapatkan bagian waktuku, tatapan sayangku , uluran tanganku, dan semuanya…..dua bulan pertama menjadi kakak, dilewati Sakha dengan mulus-lus-lus …saat itu aku dibuat takjub, anak sekecil itu begitu dewasanya…menerima adik bayinya, membanggakan kepada siapa saja yang menengok adiknya…
“Ini adikku…” begitu ucapannya setiap kali ditanya siapa bayi kecil yang tergeletak tak berdaya dalam boks bayi (yang sebelumnya dihuni Sakha)
“Namanya Akhsan…” Itu penjelasan lanjutannya untuk para penengok bayi….
Begitu hari berlalu, Sakha menemaniku merawat Akhsan di hari-hari pertama …mengambilkan popok, mengambilkan tissue, menemani berjemur, mengamati saat aku memandikan adiknya, menunggui ketika aku menyusui adiknya, menyanyikan lagu untuk adiknya….mhmmm…sangat menyenangkan dan membahagiakan.

Seperti yang kutulis tadi, setelah dua bulan berlalu….terjadi perubahan pada pola hubungan Sakha dan Akhsan (mungkin lebih tepat disebut respon Sakha terhadap adiknya, karena sampai usia dua bulan Akhsan belum bisa melakukan hubungan timbal balik yang erat kecuali dengan aku ibunya-tersenyum dan menatap selama disusui dan dikeloni)
Sakha baru menyadari bahwa ada yang berubah sekarang, tak bisa lagi tiap saat ia minta ditemani saat itu juga aku beranjak menghampirinya. Tak bisa tiap saat ia ingin bermain lompat-lompatan, saat itu juga aku bisa ikut bergaya bak seekor kelinci di belakangnya…Sekarang ada makhluk kecil yang tergolek tak berdaya yang menyedot perhatian banyak orang…membuatku tergopoh menyusui saat ia menangis keras, membuat bapaknya ikut sibuk menggendong dan mengajaknya jalan-jalan di pagi hari.

Sakha cemburu….
Sikap manis pada adiknya mulai berkurang, ogah-ogahan saat kuajak menemani adikknya dan lebih memilih bermain sendiri.
Hatiku sedih, sungguh….rasanya pedih seperti digores (mungkin seperti mengada-ada dan mendramatisir suasana ya, tapi percayalah aku tak melebih-lebihkan). Hatiku seperti disimpang jalan, Sakha dan Akhsan sama-sama kusayang, tak ada yang kulebihkan dan tak ada yang kukurangi. Hanya saja, Akhsan diusianya itu sangat bergantung padaku, pada Air Susu Ibu-nya, pada dekapan ibunya. Mungkin juga aku agak berlebihan, saat hamil dan pasca melahirkan Akhsan memang perasaanku seringkali berubah-ubah, tak terlalu stabil, tak sama dengan saat aku melahirkan Sakha (Apa dan mengapanya akan aku ceritakan pada bagian yang terpisah dari tulisan ini).

Kembali pada soal cemburu tadi, puncak kecemburuan Sakha diujudkan dengan menggigit adiknya, yah…menggigit dengan sekuat-kuatnya, bukan sekedar gigitan gemas semata, aku menangkap kelebat kemarahan di mata Sakha.
Oh, tercabik hatiku saat pertama Sakha menggigit jari tangan adiknya. Sontak Akhsan menangis sejadi-jadinya, air mataku pun berburai-burai. Sambil kutiup-tiup jemari mungil Akhsan (bayi merah dua bulanku) yang jelas bergaris merah tanda gigitan, aku peluk Sakha (yang akhirnya ikut menangis melihatku mewek tak karuan).
Setelah tangis kami bertiga reda, kucoba merangkai kata paling sederhana untuk Sakha, mencoba memberi pengertian bahwa aku, ibunya, tidak meninggalkannya, tidak melupakannya. Saat kujelaskan, mata bening Sakha menatapku sepertinya mengerti, dan di akhir ceritaku mau mencium kening dan pipi adiknya, insiden itu kuakhiri dengan kelegaan hati.

Tapi, saat kedua, ketiga dan seterusnya terjadi. Sakha masih cemburu, dan masih diujudkan dengan jalan yang sama…menggigit adiknya, di tangan, di jari kaki, di pipi, di kepala dan di pundak adiknya. Duh, tangisan Akhsan yang tiba-tiba saat aku lena (maksudku aku tidak dalam posisi berada di sampingnya) selalu membuatku tergopoh, dan kudapati Sakha dengan ekspresi di wajah mungilnya yang campur aduk antara marah, takut dan gemas. Aku yakin Sakha tahu apa yang dilakukannya itu keliru (paling tidak dia tahu kalau ibunya bersedih ketika dia melakukan itu), tapi dorongan api cemburu membuatnya tak tahan untuk menggigit lagi, lagi dan lagi.

Perihal Sakha menggigit adiknya diketahui ibuku dan mertuaku, tiap kali mereka berkunjung (atau kami yang mengunjungi mereka), nasehat untuk menjadi kakak yang baik dituturkan kepada Sakha. Dengan tampang lugu-nya aku yakin tidak semua kalimat eyang uti dan simbah putri-nya bisa dicerna dengan baik oleh Sakha.
Akhirnya setelah Akhsan menjelang usia enam bulan, kebiasaan Sakha menggigit adiknya menghilang. Tak berapa lama sebelumnya, ibu mertuaku membuatkan jenang (bubur) prentul, yang menurut ibu mertuaku bisa menghilangkan kebiasaan menggigit Sakha. Yah…akhirnya era gigit menggigit berakhir entah karena si prentul itu atau yang lain(aku lebih yakin kalau berhentinya Sakha karena ia sudah sampai pada batas mengerti bahwa menggigiti adiknya tak menyelesaikan persoalan, mempunyai saudara adalah sebuah kenyataan dan berbagi dengannya lebih membahagiakan daripada menyalurkan kecemburuan dengan gigitan yang hanya berujung pada tangisan adik dan wajah sedih ibu). Akhirnya cerita cemburu yang dimulai saat Akhsan merumur dua bulan, berakhir hampir empat bulan kemudian.

Selama kurun waktu empat bulan itu, aku bertanya kepada teman dan kerabat yang mempunyai anak lebih dari satu, kapan sang kakak mulai cemburu dan bagaimana mengatasinya. Jawaban yang kuperoleh beragam, namun sebagian besar mengatakan sang kakak mulai cemburu segera setelah kehadiran adiknya. Saat itu, yang ada dalam pikiranku adalah Sakha mengalami cemburu yang tertunda.

Cerita berbeda terjadi ketika Akhsan mendapatkan adiknya, Si endut Abbad. Aku sudah bersiap untuk mendapatkan kejutan yang lebih heboh dari cerita cemburu Sakha, tapi ternyata bulan kedua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan dilalui Akhsan dengan baik. Mas Akhsan-ku yang ganteng (bebek silem=anak dhewek dialem) merespon adiknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Rasa sayangnya diujudkan dengan perlakuan standar seperti mengambilkan popok, menemani saat menyusu, bertepuk-tepuk tangan mengajak bercanda sampai perlakuan yang menurutku istimewa, yaitu menyanyi dan bercerita untuk adiknya. Ya, Akhsan yang belum genap tiga tahun saat adiknya lahir, dengan telaten bernyanyi dan berbisik-bisik menceritakan pengalamannya di sekolah (sebutan Akhsan untuk aktivitas play group-nya)

Tapi, ternyata masa bulan madu berakhir menjelang Abbad berumur delapan bulan. Saat respon dan ekspresinya semakin jelas, kemampuan dan kemauannya pesat bertambah. Abbad mulai merenggut dengan keras siapa yang berada di dekatnya, alhasil rambut, pipi, telinga,mata kakak Sakha dan Mas Akhsan menjadi sasaran empuk untuk cengkeraman Abbad. Semakin mengenal aku sebagai ibunya juga membuat Abbad semakin menuntut perhatianku, dia bisa berkeras meminta bersamaku (tentu saja dengan cara dan bahasanya). Keadaan ini membuat jatah waktuku yang tidak banyak, harus kubagi secara proporsional untuk anak-anakku.
Kalau semua ibu ditanya pembagian dan kadar sayang, kadar cinta untuk anak-anaknya, pasti jawabannya “tak ada yang berbeda…semuanya istimewa“. Tapi mungkin Akhsan merasa tak mendapat perhatian yang semestinya. Akhsan sudah biasa berbagi dengan Sakha semenjak dia hadir di dunia, mungkin itu yang membuat reaksi cemburunya hadir lebih lambat, cemburu yang (lama) tertunda .

Akhsan cemburu…
Sikap mesra tetap ditunjukkan Akhsan pada adiknya, tetapi di saat-saat tertentu ketika (mungkin) ia merasa sebal dan kurang perhatian, Abbad menjadi sasaran. Dicubit, dicakar, dipukul, dijewer,ditendang…..Aduh, sedihku berulang, tapi kali ini tidak ada burai air mata (aku berusaha lebih dewasa dong, masak mewek untuk kedua kalinya dalam menghadapi persoalan yang sama). Ekspresi kegemasan yang nampak diwajah Akhsan, tidak ada kelebat kemarahan seperti yang kulihat di mata Sakha dulu. Aku berusaha tak bereaksi berlebihan, jika insiden itu terjadi , aku berusaha mengalihkan dengan aktivitas lain, meski kadang kalo pas badan capek…teguran tegas (bahasa halus dari marah) terlontar juga untuk Akhsan.

Cemburu Akhsan yang tertunda, sepertinya tak akan berlangsung lama, dan tak seheboh cemburu Sakha dulu…Semoga….

(Desember 2009)

Yayan Mau Yiyi………………..

Yayan mau yiyi (Baca= Akhsan mau sendiri)……
itu kalimat jagoan kecilku tiap kali ingin melakukan sesuatu sendiri,
hampir semua aktifitas ingin dia coba lakukan sendiri.
Untuk hal-hal yang sederhana, seperti mengambil baju di lemari (yang kemudian aku harus menata ulang interior lemari), keramas, sampai yang “menurut aku” agak berbahaya untuk anak seusianya seperti menuangkan air panas sendiri saat membuat susu.
Kalo menuruti kata hati, sebenarnya aku ingin semua aktivitas yang melibatkan anak-anak (terutama Akhsan), berjalan dengan cepat, tepat dan rapi…..biar ibunya yang melakukan, dan anakku terima jadi…….
Tapi….kami (aku dan suami), mencoba…..berusaha…..mempraktekkan teori “biarkan anak mencoba”
Alhasil….biarlah lemari agak berantakan kalau Akhsan memilih baju sendiri, akan aku beri tips dan trik mengambil baju di lemari.
Biarlah makanan sedikit berceceran di lantai waktu Akhsan makan sendiri, toh dia mau bertanggungjawab menyapu…meski setelahnya tetap harus kuulangi.
Biarlah, bubuk susu terhambur saat Akhsan menuang susu sendiri, yang penting aku mendampingi dan menawarkan bantuan saat menuang air panas.
Biarlah agak lama Akhsan memakai sepatunya sendiri, toh aku bisa menunggunya sambil melakukan pekerjaan kecil yang tidak akan sempat kulakukan jika aku membatu Akhsan bersepatu.
Biarlah Akhsan melakukannya sendiri, meski tak sempurna, yang penting Akhsan mencoba…berusaha….bertanggung jawab ….untuk dirinya.
“Bu….minum tumpah…..Yayan yiyi pel nya…..”….Subhanalloh, aku tak perlu tergopoh-gopoh lagi…Akhsan tau harus bagaimana kalau ada air tercecer di lantai…..
September 2008

Eeeeeeerrrrghhhhhhh....................

Dua minggu yang lalu menjadi pekan yang lumayan berat buatku.
Di awal minggu, acara kantor menuntutku bekerja ekstra keras
dan sampai di rumah setelah jam setengah sebelas malam
Hal ini berlangsung tiga hari, pagi buta menyiapkan sarapan untuk keluarga,
bergegas berangkat menuju acara.
Malamnya, sampai rumah anak-anak sudah terlelap, namun aku tak bisa langsung menyusul mereka….pekerjaan-pekerjaan rumah yang belum tersentuh harus ditindaklanjuti.
Esok paginya, seberat apapun mata, sepenat apapun badan…aku memaksakan diri untuk bangun.
Kamis dan Jumat, gantian suamiku yang kerja sampai malam…..
Jadilah dua hari itu aku menjadi ’single fighter’, sejak pagi hingga malam.
Padahal hari minggu, rumahku bakal ketempatan arisan kantor suamiku
sementara kami belum persiapan sama sekali, dari soal pembicaraan tempat sampai menu apa yang akan kami siapkan. Rencana, di hari Sabtu kami baru akan persiapan.
Jumat malam, mendadak suamiku menyampaikan kalau hari Sabtu harus ‘ngantor’ sampai sore…..
Waaah, buyar lah rencana "persiapan"….
Jumat malam, biasanya jam 8 malam anak-anak sudah siap-siap tidur,
tapi entah mengapa malam itu…Sakha yang biasanya mau sabar meunggu aku menidurkan adiknya….terus menggoda dengan berbagai macam cara.
Memanggil-manggil nama, mengambil bantal, merebut selimut, duduk di kasur ade’nya…
Akhsan yang biasanya jika sudah ngantuk berat bisa cuek, dan terlelap dipelukanku….tampak sangat tergoda untuk menanggapi candaan kakaknya.
Kucoba mengingatkan mereka bergantian, dengan lembut, tidak berefek.
Agak keras..tak juga ada pengaruhnya…..aduuuuuuh, padahal badanku capek sangat…
pekerjaan rumah belum terselesaikan, persiapan untuk hari minggu belum ter"cicil"
Di luar kendali…..aku berteriak "Eeeeeerrrrrghhhhhh" sambil mengacak-acak jilbabku sampai mencong kesana-kemari (don’t try this at home)….sepersekian detik kemudian, rasa sesal menyergapku….
(contoh buruk untuk anak-anak..pikirku)…sepersekian detik pula Sakha dan Akhsan berpadangan….
Kemudian, dengan kompaknya mereka tertawa cekikikan….dan Akhsan mengatakan "Lagi, Bu….Lagi"……Melihat tawa kedua anakku, hilang sudah penat hari itu…..kutubruk mereka berdua….kupeluk kencang, dan kuhujani dengan ciuman…..kami bertiga terbahak-bahak bersama dan aku dihujani rasa bahagia……
September 2008

Nasehat dari Sakha

Liburan tahun ajaran baru kemarin, Sakha dan Akhsan berlibur ke rumah eyangnya di Magelang, kebetulan ada acara kumpul-kumpul di rumah…yang berarti sepupu2 anakku akan tumplek bleg ber-tiga belas di rumah eyangnya.
Makan bareng, main bareng dan tidur bareng. Suatu saat, anak-anak sedang berkumpul di teras, sebagian main badminton di halaman.
Obrolan anak2 itu sampai pada posisi saat mereka tidur.
Intan, Adik sepupuku berkomentar, “Wah…semalam aku gak bisa tidur, Farah nih ngorok”…katanya sambil menunjuk salah satu ponakanku yang baru kelas lima SD……tak dinyana…tiba2 Farah nangis tergugu-gugu……
Suasana berubah “mencekam”…Kakaku-ibunya Farah, bertanya “Loh…kok nangis kenapa”…
Dengan masih tergugu-gugu Farah yang akan berangkat Jambore dua hari lagi mengatakan “Aku takuuut…nanti diledeki teman-teman kalo ngorok…”…”whaaaaaa………tangisnya makin keras”
Ibunya berusaha membujuk-bujuk…..memberikan berbagai penjelasan, dari yang ilmiah tentang ngorok dan yang paling mengggelikan, dan terakhir dengan hardikan karena tangis anaknya tak kunjung reda…”Sudah ah mbak, diem…malu..udah besar kok nangis…”
Tiba2 di tengah suasana panas Sakha nyeletuk..” Mbak Farah biarin aja, nanti kalo ada orang ngledeki, biarin aja, nggak usah didengerin aja….”kata Sakha (Sok tuwa banget deh, dengan gaya duduk Jegang di atas kursi kayu tinggi). Kami yang sudah jadi orang tuwa beneran mesam-mesem mendengar tips dari Sakha…..Tak dinyana, tangis Farah mereda ….
Karena persoalan sudah selesat, Intan sang tante yang pertama melontarkan tema “ngorok-mengorok” ini melenggang masuk rumah.
Tiba-tiba, Sakha meloncat dari kursi, mengejar tantenya, menarik tangannya sambil berkata dengan mimik serius…..”Tante Intan, ayo minta maaf dulu….sama mBak Farah”……Dan Intan pun minta maaf, semetara aku hanya bisa berbisik…Subhanalloh…..putriku sudah besar rupanya………….
September 2008

Susah Bangun Pagi

Seorang teman bertanya, anak2mu susah bangun pagi gak?
Akhsan anak keduaku, tidak pernah bermasalah dengan bangun pagi…paling siang jam setengah enam…dia udah manggil “abu….abu…” (meski sudah bisa bilang “i”…entah mengapa jagoan kecilku yang sudah berumur dua tahun akhir Juli ini lebih suka bilang abu…meski berkali-kali aku koreksi)
Kakaknya, gadis kecilku, Sakha, pernah bermasalah dengan yang namanya bangun pagi….pernah dia gak mau melek…meski sampai jam tujuh sudah dibangunkan berkali-kali….ini akibat Sakha susah untuk tidur awal di malam hari, paling awal jam sepuluh malam dan bisa ngaret sampe jam sebelas.
Padahal Sakha harus berangkat ke “Full day-Play group” karena aku tidak menggunakan jasa pengasuh anak di rumah…padahal lagi…sebelum jam delapan aku harus berangkat “mengabdi pada bangsa”…
Meski bapaknya bisa berangkat agak siangan…tapi “molor” bangunnya Sakha..membuat kalang kabut jadwal kami semua.
Berembug dengan suami, kami sepakat melakukan “terapi” untuk Sakha, mencoba mempraktekkan salah satu teori yang pernah kami baca.
Momen yang pas kami dapatkan saat Sakha “nembung” minta sepeda roda dua, katanya sepeda roda tiga miliknya, lebih pantas untuk Akhsan.
Oke, kami memperbolehkan dengan satu syarat panjang. Sakha harus mau tidur malam jam delapan dan bangun sebelum jam enam, setiap kali Sakha bisa melewati satu paket tidur itu (tidur jam 8 bangun sebelum jam 6), kami akan menghadiahkan satu gambar sepeda di kalender besar…..jika gambar sepeda sudah didapatkan berturut-turut 20 kali…..maka impiannya mendapatkan sepeda akan terwujud…Tapi, jika satu hari saja paket itu terlewati…Sakha harus memulai mengumpulkan gambar sepeda dari pertama lagi.
Setelah menjelaskan beberapa kali kepada Sakha, berusaha memastikan bahwa dia memahami perjanjian “besar” ini…..kami memulai terapi ini (Terapi untuk Sakha, juga terapi untuk kami, orang tuanya).
Hari pertama dilewati dengan sempurna, setengah delapan Sakha sudah minum susu, lalu pipis dan bersih2 di kamar mandi dan “mapan” di kasur pink nya, paginya…dengan senyum ceria jam 05.30….dia sudah bangun dan berteriak…”Ibu…ayo gambar sepedanya”
Huh…lega rasanya, diikuti harap2 cemas menunggu 19 gambar sepeda selanjutnya…khawatir Sakha…mandeg si jalan…dan yang lebih aku khawatirkan adalah, jika aku atau bapaknya menjadi tidak konsisten, melonggarkan perjanjian, atau bahkan mengabaikannya.
Namun usaha itu berhasil juga, Sakha bisa mengumpulkan 20 gambar sepedanya dengan gemilang….
Di hari keduapuluh satu, sepulang sekolah, kami mengajaknya ke toko sepeda, mempersilahkan putri kecil kami memilih sepeda yang diinginkannya…..
Esok paginya…dan pagi-pagi berikutnya…..Sakha suda bangun sebelum jam enam pagi…Alhamdulillah…

IBU CAPEK NGGAK?

Sepulang kantor, seperti biasa aku menjemput Sakha dan Akhsan dari sekolah.
Seperti biasa pula, kami bertukar cerita tentang pengalaman hari itu, Akhsan bercerita di sekolah membuat bola dari kertas koran kemudian diberi telinga, hidung dan kumis hingga menjadi kepala kucing. Sakha bercerita tentang Nabi Ismail, rupanya hari itu ada drama kecil dari Ustadzahnya yang menceritakan kisah Nabi Ismail.
Saat kami semua kehabisan cerita, tiba-tiba Sakha nyeletuk.
“Ibu capek nggak?” tanya Sakha
“Capek gimana, Kak?” aku meminta penjelasan
“Ya, ibu capek nggak. Ibu kan kerja, terus punya anak tiga....capek nggak?” ulang Sakha
“ Mhmmmm, capek nggak ya” gumamku
“Lho ibu tu, ditanya kok…capek nggak?” kejar Sakha
Aku menebak-nebak dalam hati, ke arah mana ya pembicaraan sulungku ini, berfikir positif aku menebak dalam pikiranku sendiri, mungkin Sakha baru mendapat cerita di sekolah tentang jerih payah seorang ibu (Hehehe…GR dikit boleh dong)
“ Capek Kak, bangun pagi-pagi ibu masak, teerus kerja sampe sore, trus njemput anak-anak, terus nemani sampe pada tidur, terus kalo malam neteki ade dan nemani kalau bangun”, panjang lebar aku berucap, mendapat kesempatan menceritakan kepada Sakha
“Ah, masa gitu aja capek” ujar Sakha kalem
Wah….aku melongo mendengar jawaban Sakha (aku membayangkan pernyataan yang lebih simpatik seperti “Wah…kasihan ya, ibu capek banget” atau “Ibu mau Kakak pijitin nanti malam)
Srrrrt…..kembali ke alam nyata, aku pasang kuda-kuda (Hehehe…siap diskusi ama sulung yang pandai silat lidah)
“Kalau menurut Kakak, ibu capek ngga?” Tanyaku hati-hati
“Kalau cuma punya anak tiga ya enggak capek lah, lebih capek yanguti” ujar Sakha Lagi (Yanguti adalah panggilan untuk ibuku)
“Kok bisa capek Yanguti? “ Tanyaku lagi
“Yanguti kan juga kerja, terus anaknya delapan. Pasti lebih capek dari ibu yang anaknya cuma tiga !” panjang lebar Sakha menjelaskan
Wah, skor satu - kosong untuk Sakha.
Tak mau kalah aku mencoba mencari celah dari pembicaraan ini,
“ Yanguti anaknya delapan nurut semua lho Kak, Yanguti masak apa aja selalu dimakan anak-anaknya, gak ada yang pilih-pilih makanan” Jawabku lagi (berharap ini menjadi awal diskusi membahas perilaku Sakha yang kadang masih pilih-pilih lauk kalau mau makan)
“Ya pasti semua mau makan, lha Yanguti kalau masak enak sih!” Lantang jawaban Sakha
Teng ! skor sekarang dua-kosong untuk Sakha, aku jadi kurang berminat melanjutkan pembicaraan, khawatir pembahasan akan sampai pada ketrampilan memasakku yang berada di wilayah standar (tak sampe di bawah standar, yang penting nilai gizinya terpenuhi..hehehe…pembelaan lagi)
Untungnya tinggal satu belokan lagi “Alhamdulillah sampai rumah” ucapku lega

Desember 2009

Mandi BAB

Dulu, saat Sakha baru berumur 4 bulan, seorang teman yang mempunyai anak seusia Sakha bercerita kalau suatu pagi saat dia bangun tidur mendapati Lintas (nama anaknya) sudah mandi berbalur BAB-nya.
Saat itu yang ada di pikiranku…”kok bisa?”...
Tidur sambil ngeloni bayi, gerakan kecil Sakha seperti menjejakkan kaki atau berubah posisi saja, sudah membangunkanku dari tidur….
tak terbayangkan bila Sakha sampai BAB di kasur dan aku sampai tidak tahu.

Sampai aku punya dua anak, kejadian mandi BAB tidak dialami Akhsan.
Sampai pada anak ketiga, Si Abbad , hal itu tidak terjadi….setidaknya sampai minggu yang lalu.

Abbad punya jadwal, setiap jam 03.30 – 04.00 pagi, bangun dan BAB.
Biasanya, begitu Abbad bangun dan ekspresi wajahnya berubah..(trust me, aku mengenal ekspresi ketiga anakku dan biasanya bisa menduga apa yang mereka rasakan, yang menyadarkanku sebab kenapa ibuku bisa langsung menebak dengan tepat kapan aku sedang sedih dan kapan aku sedang menyembunyikan sesuatu….sampai sekarang)

Biasanya, aku membawa Abbad ke WC dan me-natur-nya. (natur = bahasa jawa, yang artinya kurang lebih memposisikan anak untuk buang air kecil atau besar karena si anak belum bisa jongkok/ duduk/ berdiri sendiri).
Tapi hari itu, sesuatu yang berbeda terjadi. Mungkin karena terlalu capek, dan kurang enak badan, aku nyenyak betul tidur malam itu. Sepertiny dalam mimpi aku mendengar suara Abbad mengoceh dengan bahasanya…..
Tergeragap aku bangun, tidak kutemukan abbad di tempat tidur…..ternyata bayiku (hampir tujuh bulan), sudah berada di tempat tidur bawah (kasur yang kutempati bersusun, atas kupakai bersama abbad dan di bawah untuk tempat tidur Sakha)…..
Kulihat Abbad sudah dalam posisi ongkong-ongkong (antara tengkurap dan merangkak)…Tercium bau khas BAB Abbad, di seprai atas terlihat jejak posisi awal Abbad BAB….diikuti jalur merayap Abbad dari kasur atas ke kasur bawah. Terkaget-kaget, kuraih Abbad yang dada, perut, pantat, kaki, sebagian tangan dan pipi sebelah kanannya menempel kotoran lengket berwarna coklat kekuningan…..
”Oh, anakku…maafkan ibu, Nak !”…
Setengah berteriak kuminta tolong suami yang tidur di kamar sebelah untuk menyiapkan air hangat. Subuh itu, kuisi dengan membersihkan sprei, perlak, bantal, selimut dan tentu saja bayi gendut-ku dari mandi BAB-nya….terjawab sudah pertanyaan “kok bisa?” lima tahun yang lalu…..
(November 2009)

“ORANG BISA NEMBAK GAJAH?”

Suatu siang, Sakha dan Persia (anak tetangga sebelah rumah), main bersama.
Petak umpet berdua, berganti-gantian, bosan petak umpet mereka kejar-kejaran, capek kejar-kejaran mereka berencana manjat pohon talok di sebelah rumah bersama.
Menentukan urutan siapa yang akan lebih dulu naik, suit jari dilakukan….aku sambil lalu mendengarkan pembicaraan mereka sambil membaca Koran di teras rumah.

“Pingsut…sama-sama gajah” (suara Persia terdengar),

“Pingsut…, aku yang menang” (berganti suara Sakha)…..

”Lho…kok kamu yang menang” (Suara Persia tidak terima)…

”Iya…aku yang menang” (Sakha membela diri)

“Coba tanya Ibukmu” (Saran Persia)

“Buuuk……….., orang bisa nembak gajah gak?” (Tanya Sakha)

“Bisa” (jawabku)

“Gajahnya bisa mati gak?” (Sakha memastikan)

“Bisa, tapi pake peluru yang buesar…” (Jawabku sok tau)

“ Tuh kan, mbak Persia….aku yang menang…aku nembak gajahmu pake peluru besar..berarti aku manjat duluan…”

Dan aku tersadar kalau Sakha sudah bisa menyusun pertanyaan diplomatis yang menguntungkan dirinya.

NO TV AT HOME

Tidak ada televisi di rumah adalah kesepakatanku dengan suami sejak awal pernikahan kami (lima tahun yang lalu), kesepakatan ini masih berlaku sampai rapat keluarga memutuskan lain. Sampai saat aku menulis ini (September 2008)  aku, suami, sakha-gadis kecilku yang berumur 4 tahun dan akhsan-jagoan gantengku yang berumur 2 tahun, belum membuat kesepakatan baru untuk menghadirkan televisi di rumah.
Banyak teman, kenalan, kerabat, bahkan kakek-nenek yang bereaksi aneh dengan pilihan kami….(menurut mereka kami yang aneh)…

Ada seorang teman menanyakan…..”Kalo gak nonton TV, anak-anak hiburannya apa dong?” …Wah…banyak sekali hiburan yang bisa dipilih…baca buku (melihat gambaranya-untuk si kecil), jalan-jalan di sekitar rumah, naik pohon, bersepeda, main di sawah (yang terbentang) di depan rumah, melihat ayam, sapi, bebek dan kambing (tetangga), bercerita…wah…gak ada habisnya aktivitas yang mengasyikkan bisa dilakukan buah hati kita…yang tidak akan mungkin terjadi bila kita “terpaku” di depan TV.

“Kamu ketinggalan berita dong…”…kata temanku yang satu lagi…Wallah, bukannya banyak koran, buku, majalah internet dan lain sebagainya yang bisa “mencerdaskan” kita dibandingkan bombardir gossip dan iklan yang diberondongkan televisi.

Toh anak-anakku masih bisa menonton film pilihan (yang bebas iklan, bebas kekerasan, bebas kata-kata kasar dan bebas yang lain-lain) dengan komputer….ada banyak cara untuk membuat hidup ini berwarna tanpa televisi. Kalo ada yang berkomentar “anakku ga mungkin bisa hidup tanpa TV”…mungkin para orang tua harus jujur menjawab ” Yang tidak bisa hidup tanpa TV itu, anak-anak atau ibu bapaknya?

Jangan Takut Jadi Ibu

Sore lalu, pulang kerja kujemput anak-anak di sekolah masing-masing.
Setengah perjalanan pulang, mampir di tempat belanja. Melengkapi persediaan yang berkurang di rumah.

Si sulung dan si tengah, berhambur mencari pilihan masing-masing.
Si bungsu, menempel di badanku.....meminta ini dan itu.
Mengantri di kasir, hape berbunyi, di seberang seorang kawan menanyakan sebaris persoalan.

Usai meladeni obrolan teman, si bungsu dan si tengah bergantian mencari perhatian, meminta tukar barang yang dipilih. Sebagian kuperbolehkan, sebagian ku larang karena tak sesuai dengan perjanjian.

Dua pasang mata perempuan muda, satu si kasir, satu lagi temannya yang membantu memasukkan barang belanjaan ke kantong, menatap kami dengan senyum.
Kubalas senyum mereka sambil berkata "Jangan takut punya anak banyak ya...."

Satu orang tersenyum semakin lebar, sambil berkata "Satu aja pusing mbak...harus sabar ya jadi bunda?"
"He....he...apa iya ? ", senyumku semakin lebar. Kujinjing belanjaan, kugendong si bungsu. Kugiring sulung dan tengah ke parkiran, sambil ucapkan terimakasih dan melambaikan tangan pada dua embak yang masih menatap kami.

Kali ini apa arti tatapannya ya?

Jangan Asem