Kamis, 08 Oktober 2015

Parenting Bola




Sejak dulu aku tidak suka sepak bola, tidak suka main sepak bola maupun menonton pertandingan sepakbola. Sewaktu kecil aku dan keluarga lebih antusias menunggu siaran langsung pertandingan tinju Ellyas Pical,  atau seru-seruan berteriak mengerubuti televisi menonton perebutan piala Thomas dan Uber.  Satu-satunya kenangan yang kuingat  tentang serunya sepak bola adalah ketika Indonesia menang 1-0 melawan Malaysia di final Sea Games tahun 1987 (Ketahuan umur deh ya, masa kecil jaman kapan).  Meletup hatiku saat Ribut Waidi melesakkan bola ke gawang Malaysia di babak perpanjangan waktu.  Saat itu kami sekeluarga nonton dan bersorak-sorai untuk kemenangan Indonesia. 

Tapi yasudah itu saja untuk sepak bola, kupikir saat itu aku nonton bola bukan karena bola-nya, tapi semangat merah putih seorang anak kecil yang bangga dengan negaranya yang jaya.  Semangat nasionalisme yang ditanamkan Bapak terwujud dalam teriakan, dukungan dan sorak-sorai membela tim Indonesia (Halah...bahasamu, Njas!). Selebihnya kesukaanku pada sepak bola hanya sebatas saat lomba Agustusan melihat para bapak memakai daster main sepakbola joged, seru!

Etapi nyatanya aku dapat suami penyuka bola -bukan pemain bola ya-  tapi penonton setia,  penganalisa pertandingan dan komentator nomor wahid.  Awal nikah sih aku merasa aneh saja dengan kegilaannya dengan bola.  Dia hafal nama klub, nama pemain, nama pelatih, bermacam ragam nama liga, kompetisi, lambangnya, sejarahnya,....apalah-apalah, yang menurutku wasting time banget untuk dihafalkan.

Kesepakatan kami sejak nikah untuk tidak punya televisi di rumah (sila baca di sini) mengerem sedikit candunya pada bola.  Kalau dia cerita akan ada pertandingan mana lawan mana yang tayang larut malam, biasanya kukomentari dengan

 “Besok beli koran aja, gak ada bedanya, gak akan merubah skor kan ”...
(Siap ditimpuk para penggemar bola)

Tapi kadang kasihan juga, liat orang sakaw ga dapat tontonan candunya. Jadi kalo suamiku cerita ada pertandingan bola penting apa gitu, aku bilang

“Nobar aja lah sana, sama siapa dimana gitu...yang penting gak sama aku” 

Biasanya suamiku lalu pergi ke warung indomie atau mana lah yang ada televisi menyiarkan bola (Bukan kelas nobar di kafe atau hotel he he he)

Waktu berlalu, entah bagaimana anak-anak laki-lakiku kok jadi suka banget bola.  Mungkin suamiku memberikan endog-teri-nasi pada anak-anak tentang gurihnya sepak bola.  Kesukaan Akhsan pada bola sih kumanfaatkan untuk sarana belajar dia membaca, meski tidak terlalu berhasil (ada ceritanya di sini), namun kesukaan Akhsan pada bola juga yang akhirnya menghadirkan televisi di rumah kami tahun 2012 (cerita lengkapnyadi sini).

Bulan Mei tahun 2014 lalu, akhirnya Akhsan ikut Sekolah Sepak Bola. Alhamdulillah di dekat rumah ada SSB yang bagus (sekalian promosi). Namanya SSB Baturetno, salah satu pemain timnas U-19, Dinan Yahdian Javier, berasal dari SSB ini (promosi lagi). 

Aku sih tahu diri dan gak terlalu berharap Akhsan bisa seperti Dinan atau Evan Dimas atau CR7 (jauh banget yak...).  
Akhsan sehat, bersenang-senang, tambah banyak teman, disiplin, bertanggungjawab (hal yang aku yakin akan didapatnya di SSB), sudah sangat cukup buatku daripada dia cuma berkutat di rumah pegang gadget.  

Setengah tahun pertama aku perhatikan Akhsan masih setengah hati ikut SSB, memang itu permintaan dan keinginannya sendiri.  Tapi sepertinya Akhsan masih kurang percaya diri.  Aku yang sangat jarang mengantar-menjemput-atau menemani berlatih mencoba menelisik sebabnya pada suamiku yang setia menungguinya berlatih.

Rupanya memang Akhsan belum percaya diri karena kemampuan teknisnya jauh tertinggal dibanding teman-temannya.  Di sekolah dia bisa saja bergaya jadi pemain handal main bola atau futsal dengan teman sekelasnya, tapi begitu masuk SSB....Welcome to the real world, Boy!. Banyak anak bertalenta yang bersemangat untuk terus mengasah bakatnya.  

Sepertinya endog-teri-nasi suamiku sudah berhasil pula disuapkan pada diriku.  Aku mulai membaca serba-serbi tentang bola.  Mengintip-intip blog khusus bola, membaca tentang pemain, pelatih, liga dan serunya kisah dibalik sepakbola.  Ternyata seru juga, ada melodrama, politik, persaingan, perjuangan dan banyak hal untuk bahan belajar.  Membaca tentang bola juga membuatku bisa diskusi dikit-dikit dengan Akhsan meski kadang tetap dianggap anak bawang kalo soal persepakbolaan.  

Aku mulai ‘sok’ kasih masukan ke Akhsan yang diposisikan sebagai gelandang.  Suatu sore setelah aku sempatkan melihatnya latihan kubilang

“Keren Mas tadi, lebih keren lagi kalau bisa lebih mengiris seperti Iniesta” (Efek baca blog sebelumnya dengan judul artikel Irisan Iniesta)

Akhsan lalu memandangku dengan aneh lalu bilang
“Wee, Iniesta itu sayap yoooo” sambil menyambar handuk untuk mandi

Aku yang tahunya hanya artikel itu, melongo aja dijawab Akhsan....mhmmm...apa iya aku salah baca.

Belakangan ketika kutanya suami dan googling lagi, Iniesta memang bisa berperan jadi sayap maupun gelandang...yawislah 1-1 skor untuk Ibuk dan Akhsan.

Belakangan ini Akhsan terus terjaga semangat latihannya.  Aku sih seneng-seneng saja.  Diluar warna kulitnya yang semakin legam dan berkilat (tapi tetep ganteng sih), aku bersyukur Akhsan sehat, makan banyak, dan tidur nyenyak.  
Intensitasku membaca tentang bola sedikit meningkat untuk mengimbangi Akhsan, dengan tahu sedikit-sedikit, Akhsan yang sifat aslinya lebih tertutup dibanding saudara-saudaranya tampaknya lebih nyaman bercerita tentang bola padaku.

Suatu waktu Akhsan cerita kalau dia dipanggil dengan julukan Rikuilmi oleh pelatihnya. (Coach Ivan yang chabby...he he he). 
Kucari tahu siapa dia dan kutemukan nama Juan Roman Riquelme yang “Hebat tapi Lambat” (hi hi hi)....visi bermain bola yang hebat, operan yang akurat, bukan yang memporakporandakan perlawanan lawan tapi pandai mencari posisi untuk menerima bola dan mengirimkan umpan terukur ha ha ha.....(Sudah macam komentator ulung kau, Njas).

Terimakasih deh Coach Ivan (The chabbiest coach ever), sudah memompakan semangat kepada anak-anak dengan julukan masing-masing.  Akhsan sendiri lalu googling tentang Riquelme dan nampaknya senang dengan julukannya itu.  (Semoga tidak jadi pembenaran buat Akhsan yang kurang ‘ngotot’ mengejar bola).  

Satu bisikan lagi dari Akhsan sepulang latihan adalah
“Ibuk, kata coach Ivan aku punya satu kelebihan yang teman-teman lain gak punya”
“Apa itu?” tanyaku
“Mata samping” Bisik Akhsan dengan mata berbinar “aku juga punya satu kekurangan” sambungnya
“Apa itu?” tanyaku lagi sambil menyorongkan telinga menunggu bisikannya
“Kurang ngotot” cengirnya

Baiklah Akhsan Riquelme, teruslah bersemangat olahraga.  Siapapun, dimanapun, kita bisa belajar dari siapa saja dan di mana saja.  

Saat ini aku belajar semangat dari Akhsan dan teman-temannya bermain bola, belajar ketelatenan dari coach untuk mengenali satu-satu karakter anak latihnya...yang kemudian bisa diupayakan untuk dioptimalkan sesuai kemampuannya (Halah....kesimpulan yang sangat normatif he he he)

Salam Gol...gol...golll....


 

Jangan Asem