Rabu, 10 Agustus 2016

Doa Ibu untukmu, Nak (Edited)

Sudah lebih dari dua pekan berlalu sejak kami sekeluarga + Ibuku (Yanguti) mengantarkan Sakha ke sekolah barunya.

Sebenarnya pengen menuliskan tentang Sakha sejak kemarin-kemarin.  Tapiiii, daripada menulis sambil nangis, mewek ato minimal mbrebes mili....jadi kutahan-tahan sampai hari ini.  Setelah bisa mengeja nama Sakha dengan senyum, tanpa air mata.

Saat meninggalkan Sakha di asrama, Alhamdulillah Allah menguatkanku hingga berhasil menahan air mata tidak tumpah keluar, menetes pun tidak. Bermalam-malam menjelang hari mengantar Sakha, air mata itu sudah luruh, mungkin itu salah satu yang membuatku bisa menahan keluarnya air mata, dah hampir kering he he he he.

Aku tidak mau saat perpisahan, Sakha mengingat wajah ibuknya yang mewek-mewek gak karuan.  Aku ingin wajah sumringah dan senyum mengembang ku bisa menjadi bahan bakar pemompa semangat Sakha, yang paling tidak bertahan selama 35 hari sampai jadwal menengok santri baru tanggal 28 Agustus nanti.

Aku  menjaga perasaan Yanguti, kalau aku menangis di hadapan beliau....takutnya beliau akan menangis juga.  Aku harus tampil menjadi ibuk yang kokoh dan kuat, agar Yanguti tidak mengkhawatirkan kesehatan jiwaku karena berpisah sementara dengan anak sulung #halah

Nampaknya Yanguti juga berusaha menahan tangis, menjaga perasaanku.  Kalo seandainya Yanguti menangis, pasti lah aku bakalan kesetrum mewek juga.

Sakha, kulihat berpayah  menahan tumpahan air mata.  Suaranya sedikit bergetar saat menjawab pamitku.  Tapi aku tahu dia berusaha tampil tegar, membuktikan pada ibunya-yang cengeng ini - bahwa "Ini pilihanku, Bu. Akan kutanggung semua konsekuensinya".

Suamiku, aku tahu hatinya berkeping.  Beberapa hari sebelum keberangkatan Sakha, nampak lah kegelisahan seorang Bapak.  Berkali-kali kupergoki matanya berkaca-kaca saat menatap Sakha di rumah. Momen pamit itu, suamiku kerja keras menghalau galau-nya. Ditutupi dengan senyum dan tawa.

Akhsan dan Abbad melambaikan tangan pada kakaknya, sepanjang jalan pulang mereka bertanya..."Ibuk gak papa?" atau "Ibuk nggak nangis kan?", tahu saja mereka kalo Ibuknya jagoan kalo urusan mewek he he he

Hari-hari pertama Sakha di pondok itu rasanya....ya ampyun banget deh.  Meski masih ada tiga adiknya di rumah, rasanya ada yang beda pake banget.  Bukan terasa kurang....cuma tidak lengkap gitu lho. #apa bedanya coba

Aku jadi teringat kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.  Di suatu hari H-1 lebaran, kami sekeluarga sudah berkumpul di rumah.  Mbak-mbak yang bekerja dan kuliah sudah pulang kerumah, sudah ada tujuh anak Ibuk berkumpul.  Masakan lebaran sudah matang, para tetangga sudah dikirim ketupat dan opor ayam.  Kami duduk bercengkrama di ruang tengah.  Tapi Ibu tidak ada....kami cari-cari ternyata ibu duduk di rumah bagian samping.  Bertakbir lirih sambil menangis dengan mata menerawang.  Kami tahu sebabnya, karena Mamas-kakak tertua kami- belum pulang.  Belum jelas pula kabarnya bisa pulang atau tidak dari tempat kerjanya di Jambi saat itu.

Teringat peristiwa itu, terbersit dalam hatiku..."Mungkin seperti ini yang dirasakan Ibu saat itu"


Hari ke-4 dapat kiriman foto Sakha dari Ustadz nya. Rasanya mak nyessss gitu di hati.  Si sulung tampak dewasa dalam balutan jilbab biru di antara teman-temannya.
Itu Sakha yang berdiri di tengah dengan jari saling berkait

Hari-hari berikutnya tidak ada foto Sakha.  Dari banyak foto yang dikirim di grup wali, tak nampak wajah Sakha.  Saat foto kelas nya, tidak terlihat Sakha, tas merah nya pun tak nampak.  Di kelas itu ada beberapa bangku yang terlihat kosong.  Duhai anakku, kemana kamu.  Kok gak nampak di kelas pertama pagi itu.  Apakah kau sakit? terlambat? ada apa, Ndhuk...

Duh, rasanya hati diblender melihat wajah teman-teman sekelas Sakha tapi tak kutemukan senyum anakku di antara mereka.  Kuadukan semuanya pada Allah, kutumpahkan air mata -yang kali ini tak bisa kutahan- kurapalkan doa panjang. "Semoga Sakha baik-baik saja".

Foto Sakha kedua kudapat hari senin ke-3, saat upacara.  Adyuuh....Sakha-ku tampak agak kuyu.
Garis hitam nampak di bawah mata, tanda kalau dia capek dan banyak melek. Meski begitu, tampak senyum dikulum di wajahnya.  Alhamdulillah. anakku baik-baik saja.  Upacara berdiri di barisan paling depan, lelah di wajah mungkin karena masih dalam penyesuaian waktu tidur saja.

Etapi ya, rasanya hati kok masih mencelos saja.  Kusandingkan foto wajah Sakha sebelum berangkat dengan foto terakhir, dan air mataku luruh saat itu juga.

Kuadukan lagi kegalauan hatiku, dalam sujud panjang dhuha.  Air mata tumpah seperti bendungan yang jebol. Kumohon kekuatan hati, kumohon perlindungan Allah SWT.  Dalam doa, kurangkai nama Sakha, Akhsan, Abbad, dan Shafa.  Kumintakan ridha dari-Nya. Khusus untuk Sakha kutambahkan doa spesial, kutitip rindu pada sang Khalik pemilik hati setiap insan.

Hape jadul yang deringnya terdengar sangat merdu hari itu.
Hari berjalan biasa, kulanjutkan tugas pekerjaan.  Menjelang jam 11 siang, hape jadulku bergetar. Ada nomor tak dikenal tampil di layar.
Kuangkat telpon dan kusapa dengan salam, hening sejenak lalu kudengar suara jawaban salam yang sangat kukenal, sangat kurindukan. "Ibuk, ini Kakak" sapanya.

Suara Sakha terdengar bergetar, mungkin menahan tangis rindu juga.  Doa rinduku dijawab Allah dengan rejeki telpon siang itu.
Sakha bercerita bagaimana dia mendapatkan dispensasi untuk telpon ke rumah, Sakha bisa menjawab kuis saat kelas bahasa Inggris.  Alhamdulillah



Sekuat tenaga kuatur suaraku terdengar ceria, aku ingin Sakha mendengar suara Ibuknya tanpa air mata.  Kutanyakan kabarnya, Sakha menanyakan apa yang sedang kukerjakan.  Menitip pesan minta dibawakan dua buku dari rumah saat tanggal menengok nanti.  Buku antologi dari sekolahnya, dan KKPK terbitan Dar Mizan yang memuat cerpen Sakha.

Sakha juga menanyakan kabar Shafa, adik kecilnya.  "Shafa ingat Kakak, nggak?" tanyanya
"Ingatlah, setiap hari minta lihat foto dan rekaman video Kakak" jawabku.

"Besok bawa Shafa nengok Kakak ya, Buk" pintanya.
"Iya, sekeluarga besok nengoknya" jawabku mulai mengharu.

Hening sesaat lalu Sakha berpamitan di telpon dan kutunggu sampai nada tut....tut...terdengar dari hape jadulku. Kupandang hape jadulku yang sejenak kemudian tampak kabur tertutup air mata yang merebak tanpa permisi.  #Aih, terharu.

Aku bahagia, mensyukuri rejeki dapat mendengar suara  Sakha.  Kutelpon nomor suami dan berkabar padanya.  Hening di seberang telpon, aku tahu suamiku pasti sedang 'mewek' di sana. Heu...heu...

Menghitung hari sebelum bertemu anakku lagi, tak seberat hari-hari yang telah lalu.  Aku yakin Allah menjaganya, aku yakin Allah menguatkannya, aku yakin Allah menyayanginya.

Anakku
Ibu bangga padamu...
Pada pilihanmu
Pada keteguhan hatimu
Doa Ibu selalu panjatkan untukmu



Tambahan:
Karena respon dan komen, banyak yang ikut mewek (utamanya ibu-ibu), aku tambahkan penutup yang semoga bisa menjadi pelipur lara kita semua #halah

Hari Kamis setelah Senin dapat telpon, dapat kiriman japri dari Ustadnya Sakha
Kak Sakha lagi setoran nadhom shorof ke Ustad Arif Agung, semangat ya Ndhuk!


Alhamdulillah, tampak sehat ceria, kantung mata dan garis hitam di bawah mata tak nampak lagi. Semoga ridha Allah terlimpahkan padamu, Ndhuk.  Aamiin












Jangan Asem