Rabu, 10 Agustus 2016

Doa Ibu untukmu, Nak (Edited)

Sudah lebih dari dua pekan berlalu sejak kami sekeluarga + Ibuku (Yanguti) mengantarkan Sakha ke sekolah barunya.

Sebenarnya pengen menuliskan tentang Sakha sejak kemarin-kemarin.  Tapiiii, daripada menulis sambil nangis, mewek ato minimal mbrebes mili....jadi kutahan-tahan sampai hari ini.  Setelah bisa mengeja nama Sakha dengan senyum, tanpa air mata.

Saat meninggalkan Sakha di asrama, Alhamdulillah Allah menguatkanku hingga berhasil menahan air mata tidak tumpah keluar, menetes pun tidak. Bermalam-malam menjelang hari mengantar Sakha, air mata itu sudah luruh, mungkin itu salah satu yang membuatku bisa menahan keluarnya air mata, dah hampir kering he he he he.

Aku tidak mau saat perpisahan, Sakha mengingat wajah ibuknya yang mewek-mewek gak karuan.  Aku ingin wajah sumringah dan senyum mengembang ku bisa menjadi bahan bakar pemompa semangat Sakha, yang paling tidak bertahan selama 35 hari sampai jadwal menengok santri baru tanggal 28 Agustus nanti.

Aku  menjaga perasaan Yanguti, kalau aku menangis di hadapan beliau....takutnya beliau akan menangis juga.  Aku harus tampil menjadi ibuk yang kokoh dan kuat, agar Yanguti tidak mengkhawatirkan kesehatan jiwaku karena berpisah sementara dengan anak sulung #halah

Nampaknya Yanguti juga berusaha menahan tangis, menjaga perasaanku.  Kalo seandainya Yanguti menangis, pasti lah aku bakalan kesetrum mewek juga.

Sakha, kulihat berpayah  menahan tumpahan air mata.  Suaranya sedikit bergetar saat menjawab pamitku.  Tapi aku tahu dia berusaha tampil tegar, membuktikan pada ibunya-yang cengeng ini - bahwa "Ini pilihanku, Bu. Akan kutanggung semua konsekuensinya".

Suamiku, aku tahu hatinya berkeping.  Beberapa hari sebelum keberangkatan Sakha, nampak lah kegelisahan seorang Bapak.  Berkali-kali kupergoki matanya berkaca-kaca saat menatap Sakha di rumah. Momen pamit itu, suamiku kerja keras menghalau galau-nya. Ditutupi dengan senyum dan tawa.

Akhsan dan Abbad melambaikan tangan pada kakaknya, sepanjang jalan pulang mereka bertanya..."Ibuk gak papa?" atau "Ibuk nggak nangis kan?", tahu saja mereka kalo Ibuknya jagoan kalo urusan mewek he he he

Hari-hari pertama Sakha di pondok itu rasanya....ya ampyun banget deh.  Meski masih ada tiga adiknya di rumah, rasanya ada yang beda pake banget.  Bukan terasa kurang....cuma tidak lengkap gitu lho. #apa bedanya coba

Aku jadi teringat kejadian lebih dari dua puluh tahun yang lalu.  Di suatu hari H-1 lebaran, kami sekeluarga sudah berkumpul di rumah.  Mbak-mbak yang bekerja dan kuliah sudah pulang kerumah, sudah ada tujuh anak Ibuk berkumpul.  Masakan lebaran sudah matang, para tetangga sudah dikirim ketupat dan opor ayam.  Kami duduk bercengkrama di ruang tengah.  Tapi Ibu tidak ada....kami cari-cari ternyata ibu duduk di rumah bagian samping.  Bertakbir lirih sambil menangis dengan mata menerawang.  Kami tahu sebabnya, karena Mamas-kakak tertua kami- belum pulang.  Belum jelas pula kabarnya bisa pulang atau tidak dari tempat kerjanya di Jambi saat itu.

Teringat peristiwa itu, terbersit dalam hatiku..."Mungkin seperti ini yang dirasakan Ibu saat itu"


Hari ke-4 dapat kiriman foto Sakha dari Ustadz nya. Rasanya mak nyessss gitu di hati.  Si sulung tampak dewasa dalam balutan jilbab biru di antara teman-temannya.
Itu Sakha yang berdiri di tengah dengan jari saling berkait

Hari-hari berikutnya tidak ada foto Sakha.  Dari banyak foto yang dikirim di grup wali, tak nampak wajah Sakha.  Saat foto kelas nya, tidak terlihat Sakha, tas merah nya pun tak nampak.  Di kelas itu ada beberapa bangku yang terlihat kosong.  Duhai anakku, kemana kamu.  Kok gak nampak di kelas pertama pagi itu.  Apakah kau sakit? terlambat? ada apa, Ndhuk...

Duh, rasanya hati diblender melihat wajah teman-teman sekelas Sakha tapi tak kutemukan senyum anakku di antara mereka.  Kuadukan semuanya pada Allah, kutumpahkan air mata -yang kali ini tak bisa kutahan- kurapalkan doa panjang. "Semoga Sakha baik-baik saja".

Foto Sakha kedua kudapat hari senin ke-3, saat upacara.  Adyuuh....Sakha-ku tampak agak kuyu.
Garis hitam nampak di bawah mata, tanda kalau dia capek dan banyak melek. Meski begitu, tampak senyum dikulum di wajahnya.  Alhamdulillah. anakku baik-baik saja.  Upacara berdiri di barisan paling depan, lelah di wajah mungkin karena masih dalam penyesuaian waktu tidur saja.

Etapi ya, rasanya hati kok masih mencelos saja.  Kusandingkan foto wajah Sakha sebelum berangkat dengan foto terakhir, dan air mataku luruh saat itu juga.

Kuadukan lagi kegalauan hatiku, dalam sujud panjang dhuha.  Air mata tumpah seperti bendungan yang jebol. Kumohon kekuatan hati, kumohon perlindungan Allah SWT.  Dalam doa, kurangkai nama Sakha, Akhsan, Abbad, dan Shafa.  Kumintakan ridha dari-Nya. Khusus untuk Sakha kutambahkan doa spesial, kutitip rindu pada sang Khalik pemilik hati setiap insan.

Hape jadul yang deringnya terdengar sangat merdu hari itu.
Hari berjalan biasa, kulanjutkan tugas pekerjaan.  Menjelang jam 11 siang, hape jadulku bergetar. Ada nomor tak dikenal tampil di layar.
Kuangkat telpon dan kusapa dengan salam, hening sejenak lalu kudengar suara jawaban salam yang sangat kukenal, sangat kurindukan. "Ibuk, ini Kakak" sapanya.

Suara Sakha terdengar bergetar, mungkin menahan tangis rindu juga.  Doa rinduku dijawab Allah dengan rejeki telpon siang itu.
Sakha bercerita bagaimana dia mendapatkan dispensasi untuk telpon ke rumah, Sakha bisa menjawab kuis saat kelas bahasa Inggris.  Alhamdulillah



Sekuat tenaga kuatur suaraku terdengar ceria, aku ingin Sakha mendengar suara Ibuknya tanpa air mata.  Kutanyakan kabarnya, Sakha menanyakan apa yang sedang kukerjakan.  Menitip pesan minta dibawakan dua buku dari rumah saat tanggal menengok nanti.  Buku antologi dari sekolahnya, dan KKPK terbitan Dar Mizan yang memuat cerpen Sakha.

Sakha juga menanyakan kabar Shafa, adik kecilnya.  "Shafa ingat Kakak, nggak?" tanyanya
"Ingatlah, setiap hari minta lihat foto dan rekaman video Kakak" jawabku.

"Besok bawa Shafa nengok Kakak ya, Buk" pintanya.
"Iya, sekeluarga besok nengoknya" jawabku mulai mengharu.

Hening sesaat lalu Sakha berpamitan di telpon dan kutunggu sampai nada tut....tut...terdengar dari hape jadulku. Kupandang hape jadulku yang sejenak kemudian tampak kabur tertutup air mata yang merebak tanpa permisi.  #Aih, terharu.

Aku bahagia, mensyukuri rejeki dapat mendengar suara  Sakha.  Kutelpon nomor suami dan berkabar padanya.  Hening di seberang telpon, aku tahu suamiku pasti sedang 'mewek' di sana. Heu...heu...

Menghitung hari sebelum bertemu anakku lagi, tak seberat hari-hari yang telah lalu.  Aku yakin Allah menjaganya, aku yakin Allah menguatkannya, aku yakin Allah menyayanginya.

Anakku
Ibu bangga padamu...
Pada pilihanmu
Pada keteguhan hatimu
Doa Ibu selalu panjatkan untukmu



Tambahan:
Karena respon dan komen, banyak yang ikut mewek (utamanya ibu-ibu), aku tambahkan penutup yang semoga bisa menjadi pelipur lara kita semua #halah

Hari Kamis setelah Senin dapat telpon, dapat kiriman japri dari Ustadnya Sakha
Kak Sakha lagi setoran nadhom shorof ke Ustad Arif Agung, semangat ya Ndhuk!


Alhamdulillah, tampak sehat ceria, kantung mata dan garis hitam di bawah mata tak nampak lagi. Semoga ridha Allah terlimpahkan padamu, Ndhuk.  Aamiin












Rabu, 27 Juli 2016

"Apa ico...Apa ico"

Kalo dulu Akhsan beken dengan Yayan mau yiyi, yang ada ceritanya di sini.
Sekarang ganti Shafa si bungsu yang lagi suka banget bilang "Apa ico...Apa ico" (baca: Shafa bisa).

Semua-mua mau dilakukan sendiri, semua-mua yang dilakukan bapak, ibuk, kakak dan mas-mas nya mau dicontohnya.
 
Kakak dan mas-mas nya sedang bertugas merapikan koin yang berantakan. Mustinya sih dimasukkan ke dalam toples yang berbeda. Toples seribuan, toples limaratusan, toples duaratusan dan toples seratusan.
Tapi Apaico...Apaico ini kalau sudah mulai beraksi ya bikin misi gagal. Tapi alhamdulillah yang gedhe-gedhe pengertian liat niat baik adik kecilnya yang mau membantu. ...Apaico...Apaico.



Kali lain Mas Abbad sedang asyik membaca di salah satu sudut baca favoritnya. Kursi kayu di depan. Etapi datanglah Apaico...Apaico.  Mengakuisisi tempat Mas Abbad, bergaya membaca komik lalu action ketawa-ketawa sendiri seolah ngerti apa yang dibacanya.
Yasudahlah gakpapa, selamat datang kutu buku baru.
Shafa ini, kalo pas pergi ke toko buku, sudah ikut-ikutan PD kayak sodara yang lain, berkeliling rak, mencari buku yang akan dibeli.  Kalo sudah dapat, langsung deh mengacungkan buku mengajak ke kasir. "Niiih, butu Apa" (baca: ini buku Shafa).



Kalo yang ini sebenarnya menyalurkan hobby maen air, trus sekalian aja sama ibuk diminta ngguyur motor ibuk.  Bukan memperkerjakan anak di bawah umur lho ya, tapi daripada airnya mubazir terbuang percuma.  Lagian kalo Ibuk yang pegang selang, lalu si bungsu lihat. Pasti lah keluar jurus Apaico...Apaico.
"Yasudahlah, ini dicuci sekalian motornya. Setelah itu mandi ya, trus maem, lahap yang makan setelah capek maen air".




Selain air, hal yang menariiik banget buat Shafa itu adalah setrika.  Kayaknya jadi barang ajaib yang disuka Shafa. Meski di rumah dia hampir gak pernah liat ibuknya nyetrika (yang cuma dilakukan kalo dia lagi bobok).  Tapi di tempat budhe nya, Shafa pernah liat keajaiban setrika.  Jadi di rumah dia mulailah menggelar alas, menyiapkan semprotan pelicin, mengambil baju-bajunya dan mulai menyetrika.  Apaico....Apaico....





 Nah, kalo soal sholat ini ya...begitu dengar adzan si Apaico ini jadi tukang opyak-opyak.  Shafa akan mengajak Kakak dan mas-masnya untuk segera beranjak dari apapun yang sedang mereka kerjakan saat adzan berkumandang.  Jika bapaknya di rumah diajak ke masjd.  Gak lupa wudhu, membawa mukenah dan menyiapkan uang infak dan setengah berlari mengambil sandal sambil ber-Apaico.








Gak ketinggalan juga soal kegiatan ekstra.  Latihan sepakbola, shafa rajin nonton dan ngriwehi baik di lapangan ato di rumah.  Latihan karate juga dia sukai...sibuk banget pake baju karate kakaknya lengkap dengan sabuk sambil pake sarung tangan kiper.

Jelas saja dengan backsound Apaico...Apaico....saat memakai mengenakan sabuk dan memakai sarung tangan.







Soal keberaniannya naik ayunan, boleh diadu lah dengan mas-mas nya dulu.  Gak takut tuh saat di ayun lumayan kenceng sama bapaknya.  Malah ketawa-ketawa dan pose miring-miring.

Malah jadi Ibuknya yang khawatir sendiri. Pas naik ayunan juga maunya gak dibantuin, segala sendiri.  Apaico lah pokoke,





Satu lagi, si Ibuk kan lagi belajar dikiiit untuk beryoga.Barang 15 menit lah disempatkan beryoga, lah sekarang baru menggelar matras sudah langsung dibajak itu matras sama master yoga Apaico...Apaico....

Baiklah Ndhuk, yang penting kamu sehat.











Catatan tambahan:
Ada teman yang kasih masukan, "Mbok dikasih simpulan, saran, tips ato apa di akhir tulisan gitu"
Hadyuh, begemana ya...berasa bikin laporan atau tesis gitu kalo musti kasih simpulan saran dan masukan/rekomendasi.

Bacaan ini kan bacaan ringan ya, sekedar cerita saja. Untuk catatan perjalanan anak-anak.  Kalo dibaca menghibur ya syukur, ada teman yang merasa menghadapi hal yang sama oke...kesimpulannya ya kembali ke masing-masing pembaca.

Untuk tips menghadapi anak yang ingin melakukan semua sendiri, bolehlah kubagi.  Ini adalah tips ala-ala aku sendiri...gak pake referensi ahli parenting siapa dimana.

  1. Biarkan anak melakukan sendiri apa yang mereka ingin lakukan, kepercayaan yang kita berikan akan memupuk rasa percaya diri anak;
  2. Tetap awasi dan dampingi yang dilakukan anak, terutama hal-hal yang mungkin menyerempet bahaya.  Misal naik tangga, menuang air panas.  Sigap tapi tidak panik diperlukan di saat-saat tertentu;
  3. Sambil melakukan sesuatu jelaskan konsekuensi pada anak, tanpa menakut-nakuti.  Misal " Nuang airnya pelan-pelan ya....kalau tumpah nanti tolong sekalian di pel"  hindari kata "Awas lho tumpah airnya, ntar kepleset kejedot kepalanya benjol";
  4. Tidak usah terburu-buru menolong saat anak 'terlihat' kessulitan, biarkan dia menemukan sendiri jalan keluarnya. Tapi ya jangan kebangetan ya....sampe anak nangis jejeritan baru ditolongin ...eh
  5. Berikan pujian tulus ketika anak berhasil menyelesaikan sesuatu, meski itu mungkin hal yang sangat sederhana buat kita/ Seperti "Wah, pinter...pake sandal sendiri gak kebalik" atau "Siiiip, keren, anak ibu sudah bisa sisiran sendiri"
  6. ...Isi sendiri yah







Selasa, 26 Juli 2016

Bully, Jaman Dahulu Kala



Ini masih ada gandeng renteng dengan cerita usai reuni kemarin. 

Beberapa teman tak bisa hadir saat reuni,  sebagian karena jadwal mudik yang tidak pas karena memang kalo lebaran pasti agenda berkunjung ke rumah saudara itu full banget kan ya.

Etapi dari kabar bisik-bisik, ada yang tak hadir karena ‘tak terjangkau’.  Tak terjangkau ini bukan karena dia tidak bisa dihubungi loya.  Orangnya ada, tapi tak terjangkau karena tak bisa diajak komunikasi.  

Teman yang sempat bertemu dan menyapa, diabaikan dantidak ditanggapi  Kabar bisik-bisik lagi katanya dia menderita ‘mentally ill’ .

Emmm, aku belum pernah sekelas sih sama dia, baik SMP maupun SMA.  Tapi memang pas SMA itu, anaknya tertutup, pendiam, dan sering jadi bahan guyonan teman-temannya.

Coba mengingat jaman remaja dulu, utamanya SMA ya, saling ejek, guyon, garap-garapan, ganggu, ledek, itu makanan sehari-hari.  Dan Kayaknya semua menjadi korban dan sekaligus pelaku.  Jadi ‘saling’ membully gitu.

Kalo pas kelas olahraga, ada lho anak laki yang dikeroyok teman-temannya, dilepas bajunya (tinggal celana pendek) lalu digotong rame-rame, dimasukkan ruang ganti perempuan lalu ditahan pintunya dari luar. (Halaaah....kelakuan macam apa ini ya)

 Ada yang namanya selalu disebut, disodor-sodorkan ke guru tiap kali ditanya siapa.  Misal....siapa yang berminat ikut lomba? Serempak dijawab "Anuuuuu" (sebut satu nama).  Siapa yang buang sampah sembarangan nih di kelas? Serempak lagi dijawab "Anuuuuu" (Eh dia lagi disebut). Dan masih banyak banget jenis dan cara untuk ngerjain orang saat era saling membully itu berlangsung.

Korban dan pelakunya bergant-ganti, yaitu tadi 'saling membully"
Memang sih, ada juga target korban yang jadi favorit untuk dijadikan bahan ledekan, yang bisa jadi memenuhi kriteria berikut:
1. Pasrah, tidak melawan, tidak marah, biasanya kemudian berusaha menghindari kerumunan anak-anak sadis
2. Cuek, mo diapa-apain juga biar aja. Tetep ketawa-ketawa dan tidak marah juga
3. Bahagia, diledek atau dikerjain kayak apa dia seneng-seneng aja karena kemudian punya alasan untuk melakukan pembalasan yang lebih ajib.
4. Tipe lain yang pada intinya bisa untuk bahan guyonan dan becandaan


Kemarin sempat diskusi juga sama teman via WA soal bully membully jaman sekolah dulu.  Kalo di ingat-ingat apa yang dilakukan saat itu tuh sadis bin jahat.  
Tidak ada alasan yang masuk akal bagi siapapun untuk meledek, menghina, mengerjain orang lain sampai segitunya entah itu dalam koridor bercanda atau series....itu sadiiis.

Etapi para korban itu juga reaksinya bermacam-macam tuuuh (mungkin tergantung empat tipe di atas atau tipe-tipe yang lain).  Ada anak yang mengalami hal yang sama tapi tetap aja berkibar bahagia (nampaknya) sampai saat ini. Mungkin dia memang anak yang kuat dan dibekali senjata pamungkas rahasia oleh orang tuanya.

Jadi kesimpulan sementaraku mengatakan:
1. Bully saat usia anak/remaja bisa 'mematikan' karakter di kemudian hari
2. Anak dengan konsep diri positif yang kuat akan menjaga dia dari 'kerusakan' akibat bully dari lingkungan

Jadi PR ku sebagai orangtua itu:
1. Membangun konsep diri positif dan kuat untuk anak
2. Ajarkan anak untuk tidak menjadi pelaku 'bullying' dan berani membela teman yang jadi objek 'bully'

Dengan doa khusyuk #Semoga dimampukan


Kamis, 21 Juli 2016

REUNI dan MOS



Ada dua hal yang anget dibicarakan setelah lebaran ini, rame tentang reuni  dan sekolah baru.  

Bersliweran di beranda tuh foto-foto reuni SD, SMP, SMA, Kuliah dll. Setelah itu disusul foto-foto ngantar anak sekolah di hari pertamanya, bersautan dengan berita soal tidak ada MOS di sekolah baru.

Pas  reuni kemarin aku ketemu teman SMA,  yang cerita tentang dia saat MOS SMA waktu itu jadi salah satu cerita seru yang kudongengkan pada anak-anakku.

Dulu ya, pas masuk SMA 1 Magelang ada semacam Ospek dari pramuka yang disebut  MAPTA ( klo gak salah ingat, singkatan dari Masa Penerimaan Tamu Ambalan).

Nah, saat MAPTA itu sama para bantara kita-kita nih anak baru disuruh membuat papan nama dengan nama yang sudah di modifikasi.  Modifikasinya tuh gabungan dari suku kata terakhir dan suku kata terdepan nama kita.   

Misalnya nih, namaku ANjas wulansaRI, saat MAPTA namaku jadi RIAN. Masih keren kan ya…dan para senior bias memanggilku dengan lantang saat nyuruh-nyuruh “Adik RIIAAAN…nomor 4, Adik RIIAAAN”

Etapi ada temanku yang galau dengan nama aliasnya. Namanya Olivia Elizabeth pandeirOT (nama terakhir itu nama keluarga kayaknya)….Nah lo, galau kan ya Dianya, nama aliasnya jadi OTOL. 

Sempat saat itu Oliv berniat gak mencantumkan nama keluarga, tapi hasilnya sama aja….jadi ETHOL.

Ternyata yang dibikin galau bukan Oliv seorang, para bantara senior itu juga gak pada berani panggil-panggil nama Oliv keras-keras (takut kepleset)….

Paling pol mereka panggil “Adik nomor 34…..adik nomor 34 !” 

Bisa jadi saat itu Oliv agak-agak terselamatkan dari gangguan para senior karena mereka sungkan juga panggil nama he he he

Itu cerita soal MOS yang masih keinget sampe sekarang, kalo cerita kamu apa? iyaaa...kamuuu

Ini si Otol dan suami lagi actol....eh...action

Kamis, 30 Juni 2016

Hari ke-25

Hari ke-25 Ramadhan
Alhamdulillah Sakha, Akhsan, dan Abbad (eh, si Bapak juga), masih full puasa tanpa ada yang bolong.  Bersyukur kepada Allah atas karunia umur, dan kesehatan yang dilimpahkan.

Ibu ya bolos puasa normal dalam periodenya, di hari lain alhamdulillah bisa puasa meski menyusui de Shafa.  Sekarang de Shafa sudah semakin besar, makannya doyan dan semakin beragam (apa saja mau), sudah mau minum susu UHT kotak pula.

Shafa juga yang paling semangat berangkat taraweh ke Mushola, tiap kali dengar Adzan dia akan panggil-panggil mas-mas dan kakaknya diajak ke masjid.

Shafa juga yang paling heboh minta uang untuk infak tiap mau berangkat ke musholla,
"Ibu, uan impap" katanya
Kalau aku mengeluarkan dompet untuk mengambil uang, Shafa akan minta tiga lembar lagi untuk dibagi dengan mas-mas dan kakaknya.  Macam Ibu-ibu bagi uang saku ke anaknya.
" Bad, ini impap...Acan, ini impap,...Tatak, ini impap"

Kemudian di musholla, si bontot ini akan ambil wudhu lalu menuju pojokan musholla tempat penyimpanan kotak infak (sudah tau dia dimana takmir 'menyembunyikannya'), lalu terhuyung-huyung membawa kotak infak ke dekat tempat duduknya.

Jamaah lain karena sudah hafal dengan kebiasaan Shafa, biasanya langsung sigap membantu membawakan. kotak infak, meski aku sih sebenarnya lebih suka kalo Shafa berusaha keras sendiri.

Sampai hari ke-25 ini juga alhamdulillah masih bisa bertahan untuk membuat menu yang biasa saja, alhamdulillah beberapa tahun terakhir ini kebiasaan yang 'ditekankan' suamiku ini bisa kulakukan.  Dulu-dulu sih aku masih suka bikin macam-macam saat menyiapkan buka puasa, tapi alhamdulillah sekarang dengan menu yang seperti hari biasa tidak mengurangi nikmatnya anak-anak berbuka.  Toh memang lauk yang paling enak adalah rasa lapar.

Momen sahur juga bisa terlewati tanpa gangguan berarti, anak-anak lebih mudah dibangunkan (Apalagi Akhsan yang kadang bangun duluan karena nonton piala Eropa he he). Aku selalu mepet subuh saat sahur, biasanya anak-anak kami bangunkan jam 4, jadi cukup 30 menit untuk sahur.  Menu sahur yang sederhana juga membuat aku tidak bangun terlalu awal. Setengah jam sebelum jam empat sudah sangat cukup untuk menyiapkan santapan sahur. 

Pernah satu kali aku baru bangun pukul 3.45, untunglah sorenya aku sudah membumbui tempe dan memotongi sayuran untuk sup.  Jadi waktu yang tersedia sangat cukup untuk mendidihkan kaldu yang sudah tersedia, plung-plung-plung masak sup,  menggoreng tempe, dan mengulek sambal.

Lain waktu juga pernah aku bangun sudah imsak, masih ada waktu 15 menit sebelum subuh. Langsung kubangunkan orang serumah  dan kuminta anak-anak dan suami berangkat ke warung. Aku makan sisa buka tadi. Alhamdulillah masih sempat sahur.

Semoga sisa Ramadhan ini bisa kami lalui dengan lebih baik dan bisa bertemu kembali Ramadhan tahun depan...Aamiin

Selasa, 28 Juni 2016

Cookies-Cookies

Anak-anakku (minus Shafa) termasuk anak yang 'mau' masak.  Masakan sederhana sih semacam goreng telur, bikin sop, goreng nasi atau bikin spagheti.  Tapi untuk Sakha, memasak juga menjadi salah satu hobby-nya.

Kesukaan Sakha pada masak-memasak sepertinya sudah dimulai sejak dalam kandungan dulu.  Aku, yang mendefinisikan kata memasak sebagai proses mengubah bahan mentah menjadi makanan yang siap disantap tiba-tiba menjadikan masak sebagai hobby dan kesukaan.  Sampe dibela-belain minta suami mencarikan tempat les masak. Kalau sekedar masakan rumah sehari-hari aku bisa lah, tapi saat hamil Sakha dulu aku ngebet banget belajar bikin kue dan roti.

Betul, membuat taart, soes, kue-kue...mhm....dan kesukaan itu langsung hilang setelah Sakha lahir.
Entah memang bawaan bayi atau bagaimana, sekarang Sakha suka dan lebih jago dariku bikin kue.

Karena aku memang gak punya alat untuk masak kue ya, sejak kelas tiga SD kuingat dia sudah mulai brosing resep yang tanpa oven dan  tanpa mikser.  Setelah melihat kegigihannya membuat kue yang 'hanya' dikukus atau digoreng, akhirnya saat kelas empat SD Sakha kubelikan oven untuk bereksperimen memanggang kue-kuenya.

Oven yang kubelikan juga tidak 'nganggur' selama setahun, ada saja resep coba-coba yang dibuat Sakha yang bisa dinikmati keluarga. Akhirnya kelas lima SD kuhadiahkan mikser untuk menambah resep yang bisa dicobanya.  Dan untuk ketepatan ukuran resep kue-kuenya, kulengkapi dengan timbangan kue.  Sebelum punya timbangan kue Sakha menakar dengan konversi ala-ala sesuai informasi dari ibunya hehe.

Nah, dengan perangkat yang lumayan lengkap Sakha semakin asik pereksperimen.  Salah satu blog favoritnya soal resep masakan adalah Just Try & Taste yang bisa dilihat di sini.  Mbak Endang Indriani yang mungkin lebih tepat dipanggil Tante Endang, owner JTT, menjadi satu idola baru Sakha.

Banyak resep dari JTT sudah dipraktekkan Sakha dan selalu membuat kami sekeluarga bergoyang lidah menikmati masakannya.  Beberapa masakan yang dibuat juga ada foto step by step nya.  Tapi belum dibuat tulisan ciamik seperti blog tante Endang.

Liburan menjelang lebaran ini Sakha dan adik-adiknya sudah membuat nastar yang lumer di mulut, kastangel yang rasanya mhmmm banget dan berkesperimen membuat nastangel (adonan kastangel diisi selai nanas) dan cookies ala JTT.

Bikin nya baru satu resep masing-masing.  Tiap selesai bikin satu resep langsung habis dua hari setelah pembuatan, jadi kayaknya tidak ada kue lebaran.  Dokumentasi tidak sempat dilakukan, cuma cookies yang terakhir ini sempat foto hasil jadinya saja.  Yang mengambil gambar juga sakha dengan kamera kecilnya, tentu saja belum sebagus foto di JTT yang spek kameranya bikin ngiler, tapi hasilnya jauh lebih bagus dari ibunya yang cuma bisa default auto saja kalo disuruh ngambil foto hehehe.


Karena resep sebelumnya berhasil dieksekusi, resep akan diupgrade. Kalo sebelumnya pake mentega merk biasa dan keju cheddar.  Kemarin sudah beli mentega Wysman dan keju edam.  Siap dieksekusi.

Tante Endang, pesan dari Sakha postingan ini di tag ke panjenengan. Sakha ber-angan suatu saat ketika dia 'bertualang' akan sampai ke rumah Tante Endang untuk belajar langsung ke master JTT (katanya sudah pernah ada teman Tante Endang yang belajar langsung memasak ya....)

 Salam....




Selasa, 14 Juni 2016

Empil Nostalgia

Tahu kan makanan yang namanya empal daging? iya, itu daging yang dipotong agak pipih lalu direbus dan dibumbui dan biasanya digoreng sebelum disajikan.

Salah satu masakan Ibu yang masuk kategori favoritku saat kecil ya empal daging ini.  Kenapa favorit? karena masaknya jarang dan jika Ibu masak empal, porsi yang kami dapatkan masing-masing itu sedikit.  Potongan empalnya kecil-kecil dan bukan agak pipih melainkan sangat pipih (kategori sangat pipih itu aku simpulkan setelah dewasa dan melihat porsi asli empal yang dijual di luaran).

Etapi ya, pada saat itu yang namanya empal bikinan ibu itu paling top lah ya, dengan nasi anget kemebul, sambel tolenjeng (ulekan cabe rawit, bawang putih dan garam yang disiram sedikit jlantah bekas nggoreng empal), dan si empal mungil yang disuwir-suwir sporadis di atas sepiring nasi.
Jika beruntung masih dapat bagian remahan bumbu bawang putih dan tumbar yang gurihnya alamak jan.
Sepotong empal itu cukup sangat menjadi kawan sepiring atau satu setengah piring nasi masuk ke perut kami.

Ah, memang...sebenarnya yang membuat enak adalah rasa lapar dan cinta yang tersematkan dalam gorengan empal di setiap suwirnya.

Bagaimana ibu merebus  seperempat kilo daging sapi untuk diambil kaldunya untuk masak sop senerek yang segar, kemudian menyisihkan dagingnya untuk membuat menu empal di hari berikutnya.

Bagaimana kemudian dengan telaten ibu mengiris tipis daging sapi itu dan memastikan jumlah potongan cukup untuk seluruh anggota keluarga.

Bagaimana ibu mengulek bumbu-bumbu di cobek berukuran besar, kemudian menggepuk satu demi satu potongan daging agar bumbunya meresap sampai ke dalam.

Suatu waktu aku kangen Ibu, kangen dengan empal goreng istimewanya.  Ingin mereplikasi masakan Ibu, mengenalkan kepada anak-anakku lengkap dengan cerita melankoli masakan Eyang Utinya.
Jadi...kucoba lah membuat yang ibu buat, tapi kusampaikan kepada anak-anak kalau nama masakan kali ini adalah empil bukan empal. Untuk membedakan dengan empal pada umumnya.

Lengkap dengan sambel tolenjeng dan bening bayem bumbu brambang salam, kusajikan empil nostalgia.  Selamat menikmati.






Senin, 13 Juni 2016

Melompat Lebih Tinggi




Tentu saja ini bukan ulasan tentang lagunya Sheila on 7, karena aku bukan Sheila Gank. Ini cerita tentang kebahagiaan keluarga kami.  

Salah satu kebanggaan orangtua adalah ketika anaknya melakukan pencapaian yang lebih baik dari dirinya. Ketika anak melakukan lompatan yang lebih tinggi, rasa syukurnya berlipat-lipat dibanding saat diri  sendiri  menggapai sesuatu.
Ini gaya Sakha dkk saat Wisuda, ukuran Sakha seukuran Ibuknya Pas SMA



Kalo kulihat lagi dan lagi, ternyata anak-anak sudah melakukan lompatan yang lebih tinggi dari Ibuk dan Bapaknya.  Saat ini yang akan kuceritakan adalah Sakha. 
Untuk ukuran fisik jelas dia melebihi aku jauh banget, posturnya sekarang ini adalah gambaranku saat duduk di bangku SMA. Iya, bayangkan jika Sakha pake seragam putih abu-abu, seukuran itulah aku saat SMA.  Sementara Sakha baru saja lulus SD he he he, ini tidak sekedar melompat, tapi salto.

Untuk kelancaran baca Al-Qur'an.  Sekarang  aku kalah dari Sakha. Makhraj dan tajwid Sakha lebih baik dariku.  Setelah membaca satu ayat misalnya, dia bisa menguraikan dengan lancar tajwid dalam ayat tersebut Izh-har Halqi, Idgham, Iqlab, Ikhfa’ Haqiqi,Ikhfa’ Syafawi, Idgham Mitslain, Izh-har Syafawi, Alif Lam Qamariyah, Alif Lam Syamsiyah, Mad Thabi’i, Mad Badal, Mad ‘Iwadh, Mad Tamkin, Mad Shilah Qashirah, Mad Wajib Muttashil, Mad Ja’iz Munfashil dan lain-lain.
Beda banget sama Ibuknya Sakha yang kalo pas pelajaran agama di sekolah ada tugas maju ke depan menandai tajwid satu ayat yang dituliskan bu guru.....pasti andalannya cuma cepet-cepet menandai Mad Thabi'i saja he he he. Sekarang saat saling simak baca Qur'an, koreksinya sudah saling, alias dua arah...dan lebih banyak arah koreksi dari Sakha ke bacaanku.

Gaya Mak-nya gak jauh beda ternyata
Hafalan qur'an....Hmmmm, untuk yang ini sampai-sampai Sakha berkomentar "Mbok nambah hafalan, Bu".  Karena hafalanku mentok di juz bontot saja plus beberapa ayat "favorit" di surat panjang.  Sementara sekarang hafalan Sakha sudah masuk juz 2 dan Insya Allah dia targetkan untuk nambah minimal 6 Juz di SMP nanti. Adyuh Nduk, Ibu kok cuma bisa senyum-senyum malu ya.  Ngafalin di umur gini kok ya susyah ya (Siap disentil karena kebanyakan alasan...)

Untuk nilai akademis aku dan suami gak pernah pasang target harus segini atau segitu untuk anak-anak.  Saat ujian akhir SD kemarin, Sakha pasang target sendiri untuk dapat nilai 29.  Meskipun berapapun nilainya, tidak akan ngaruh untuk pendaftaran SMP karena Sakha sudah jelas mau sekolah di mana. Tapi Sakha punya alasan sendiri. Katanya biar lebih baik dari nilai Ibuk waktu lulus SD nanti.  Saat aku bilang, "Ibuk gak nuntut nilai Kakak tinggi lho..." dijawab Sakha dengan "Diaminkan saja to, Buk".

Pengumuman nilai kemarin Sakha dapat 28,7. Sedikit lebih rendah dari target pribadinya, tapi sudah mengalahkan nilai rata-rata Ibuknya di jenjang yang sama.   Alhamdulillah....syukur kami atas lompatan Sakha yang lebih tinggi.  Sebagai penambah semangat, sore hari setelah pengumuman, anak-anak diajak beli buku ke Gramedia. Semua boleh memilih satu buku dan Sakha diberi keistimewaan menambah satu buku sebagai bonus. 

Yah, lompatan demi lompatan dilakukan anak-anak.  Sebagai orang tua kami hanya bisa membekalkan kuda-kuda yang kuat, teriakan penyemangat, dan doa panjang untuk mereka.  Semoga lompatan mereka menjadi jalan kebaikan, selalu mendapat ridha Allah SWT, memberikan manfaat untuk orang lain dan tidak menjadikan kesombongan dalam diri mereka.  Aamiin


Jangan Asem