Senin, 08 Oktober 2012

RUMAH YANG DIKUNJUNGI



'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah'

SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya.  Segera setelahnya, dering dengan spesial tone terdengar, Bima menelepon Risma.

“Bunda, cepat pulang.....Nana kangen !” 
terdengar suara Natya suara sulungnya begitu Risma mengucap salam.

“Bawa oleh-oleh yang banyak Bun !”
 kali ini terdengar suara Panji, adik Natya
“Iya sayang, ini sudah naik taksi. Tunggu 15 menit ya. Assalamu’alaikum”

Risma memutuskan hubungan, senyumnya mengembang penuh kebahagiaan.

“Puri Asri,Pak “ pintanya pada supir taksi

Lima belas menit kali ini menjadi waktu yang sangat lambat untuknya, kerinduan pada anak-anak setelah berpisah satu minggu dengan sepasang buah hatinya. Rindu mendengar celoteh dan tingkah mereka, rindu bermain bersama, membaca, menggambar, pentak umpet dan makan bersama. Bersliweran di benaknya senyum lebar Natya, wajah sendu Panji dan tentu saja tatapan teduh Bima, suaminya.

Begitu taksi berhenti, Natya dan Panji menghambur keluar dari pagar, tak sabar menunggu Risma membayar ongkos taksi. Seperti berlomba mereka menarik perhatian bundanya dengan bercerita bersahutan, menggandeng tangan, menarik baju.
Bima, dengan senyum tenang membantu mengeluarkan tas dan kantong oleh-oleh dari bagasi.

“Apa kabar, Yah” 
Ucap Risma sambil mencium tangan suaminya
“Baik” 
senyum Bima sembari mencium keningnya
Risma memandang suaminya, merasakan ada sesuatu yang berbeda pada senyum suaminya
“Anak-anak baik saja?” 
tanyanya sambil membantu sang suami mengangkat bawaan ke dalam rumah

“Baik, lihatlah mereka” Ucap bima sambil menunjuk dengan dagu pada Natya dan Panji yang sibuk mengeluarkan oleh-oleh dari tas dan kantong bundanya.
“Syukurlah” Kalimat Risma mengambang, dia merasa asing dengan nada suaranya sendiri,
 se-asing perasaannya pada senyum Bima.

***
“Enak, waktu Bunda pergi kita makan di rumah makan terus” 
Celoteh Natya menyebutkan beberapa nama rumah makan yang menyajikan menu sea food dan bakso kesukaannya.

“Masak sih, pulang sekolah ngapain?” 
tanya Risma menggoda Panji yang biasanya langsung mencari Bundanya tiap pulang sekolah.

“Ikut Ayah ke kantor, enak...game-nya macam-macam” 
Jelas Panji yang hobby nge-game.

“Iya, aku disana liat foto-foto hewan peliharaannya Tante Maya, terus diajarin nggambar sama bikin cerita. Tante Maya punya hewan banyak lho Bun, ada kucing, kelinci, burung” Celoteh Natya

“Oh, ya...Asyik sekali” 
Kata Risma sambil mengerling pada Bima yang nampak berusaha berkonsentrasi pada buku yang dibacanya.

“Bunda kangen sama Natya dan Panji, kangen nggak sama Bunda?” 
tanya Risma sambil memegang tangan kedua buah hatinya
“Kangeeen....” keduanya menjawab kompak sambil menghambur memeluk bunda-nya

***
“Siapa dia?” tanya Risma malam harinya setelah menidurkan Natya dan Panji

“Dia siapa?” tanya Bima

“Tante Maya” Ucap Risma menggantung

“Anak baru” Jawab Bima hendak merebahkan badan, menjelaskan pada istrinya yang mengenal hampir seluruh temannya, sama seperti dirinya yang mengenal (minimal dari cerita Risma) tentang orang-orang yang bergaul dengan istrinya.

“Cantik?” tanya Risma lagi

“ Kok nanyanya gitu?” Bima urung merebahkan tubuhnya

“Jawab saja.” Kata Risma tersenyum menggoda

“Lumayan” Jawab Bima pendek

“Cantik bunda atau dia?” kejar Risma


“Bunda, cerita yang lain saja” Bima tak mau berpanjang-panjang membahasnya

“Bunda tidak akan tidur kalau Ayah belum cerita”, kali ini Risma dengan wajah serius. 

Dia sangat mengenal suaminya, perubahan ekspresi, cara menatap dan bertutur Bima sejak kedatangannya tadi membuatnya berkesimpulan “Ada sesuatu yang terjadi”

“Bunda ingin ayah menceritakan apa?” Bima mengalah, karena dia juga sangat mengenal keras hati istrinya.

“Tante Maya” Ucap Risma datar.

Mhm....Bima menarik nafas panjang, kemudian mulai bercerita.

“Dia anak baru di kantor, masuk awal bulan ini, beda divisi. Waktu anak-anak ikut ayah ke kantor, Natya main bareng dia, Ayah tak terlalu memperhatikan apa saja yang dibicarakan. Bunda sudah mendengar ceritanya sendiri tadi, sepertinya dia mengajarkan Natya banyak hal, tapi ya sudah....hanya itu.” Bima nampak lega setelah mengatakan itu.

“Ayah tidak cerita kalau ada anak baru“ Risma bertanya pelan
“Bunda sibuk mempersiapkan keberangkatan bunda kemarin, dan itu bukan hal yang penting untuk diceritakan “ Jelas Bima

“Sekarang jadi penting, Ayah suka ya sama dia” Risma tersenyum tipis

“Suka bagaimana? Bunda ada-ada saja !” Bima mulai menaikkan nada bicaranya

“Baiklah, bunda ganti pilihan katanya...bukan suka, tapi bersimpati...waktu Ayah bercerita tadi, ada kerlip di mata Ayah, kerlip yang tak pernah bunda lihat ketika ayah menceritakan tentang teman-teman ayah yang lain” 
Risma berkata panjang dan terus-terang, sesuatu yang selalu mereka berdua lakukan selam menjalin rumah tangga. Berterus terang.

Bima memejamkan matanya sebelum menjawab, sepertinya sedang mempertimbangkan pilihan kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaannya. Mngkin juga untuk menghindari Risma melihat kerlipan lain di matanya.

“Ayah merindukan bunda, satu pekan waktu yang sangat lama buat Ayah seorang diri menemani anak-anak.  Ayah merasa agak lega ketika ada orang lain yang memperhatikan anak-anak. Kebetulan saja orang itu Maya, anak baru yang belum sempat Ayah ceritakan pada Bunda” 
Bima menjawab sambil merebahkan badannya, mengambil posisi tidur menutup pembicaraan

“Baiklah, selamat tidur sayang” 
Risma mengalah, menghentikan pembicaraan, mengecup pipi suaminya dan tidur dalam pelukan suaminya, meski lama tak bisa juga matanya terpejam...dan dia tahu Bima pun hanya memejamkan mata namun tak kunjung tidur sampai menjelang tengah malam.  Risma semakin khawatir ada sesuatu yang telah terjadi.

***
Beberapa hari setelah kepulangannya, Risma masih belum tenang. Entah kenapa, dia merasa  Bima berlaku tidak biasa padanya. Cara bima menatapnya, berbicara padanya, dan menyentuhnya. Sebenarnya perubahan sikap Bima tidak menjadi lebih buruk, tetapi bahkan menjadi lebih baik.  Bima yang tidak biasa menunjukkan sikap romantis pada Risma di depan umum, akhir-akhir ini suka menggenggam tangan Risma ketika mereka berjalan-jalan dengan anak-anak.  Mengelus lembut kepala istrinya ketika makan bersama di rumah makan, hal-hal kecil yang biasanya hanya dilakukan Bima jika mereka hanya berdua saja. 
Ini tak membuat Risma bahagia, justru membuatnya curiga.  Menurut artikel yang pernah dibacanya, para lelaki akan bersikap lebih mesra kepada istrinya ketika dia berselingkuh, untuk menutupi rasa bersalah yang menderanya dan menghilangkan kecurigaan sang istri.

Risma merasa perlu membicarakan hal ini pada suaminya, ia tak ingin berlama-lama dalam kondisi hati yang penuh curiga, menduga yang tidak-tidak, khawatir berkepanjangan, apalagi dengan aktivitas suaminya yang  lebih dari sepuluh jam di tempat bekerja bertemu dengan sebuah nama yang sangat mengganggunya meskipun ia belum pernah bertemu langsung dengan pemilik nama itu “Tante Maya”.

“Mas, aku ingin bicarakan sesuatu”
 Risma memulai pembicaraan malam itu, ketika Natya dan Panji sudah lelap di kamar mereka masing-masing.  

Panggilan ‘Mas’ dan sebutan “Aku’ sudah cukup memberikan tanda buat Bima bahwa yang akan mereka bicarakan adalah sesuatu yang serius.

“Sikap Mas berubah akhir-akhir ini” 
Risma membuka pembicaraan to the point, sesuatu yang selalu dilakukannya, salah satu yang membuat Bima menyukainya, sikap lugas tanpa tedheng aling-aling.

“Berubah bagaimana?” Bima menggantung kalimatnya

“Mas terlalu romantis”  tukas Risma

“Bukankah kau dulu sering protes karena aku tak pernah mau bergandeng tangan, sekarang malah tak suka kuajak romantis” tanya Bima hati-hati.

“Perubahan ini terlalu mendadak dan kebetulan.” Jawab Risma

“Mendadak bagaimana? Kita sudah 10 tahun menikah, keromantisan-mu menular padaku, dan terlalu kebetulan karena apa?” Bima bertanya membela diri

“Terlalu mendadak setelah Mas mengenal Maya, dan kebetulan aku bisa menebak lebih dulu kalau mas jatuh simpati padanya” Risma tak berani memilih kata jatuh cinta, membayangkan suaminya jatuh cinta pada perempuan lain sudah membuat hatinya perih.

“Menurut teori yang aku baca, sikap seperti mas itu tanda-tanda dari lelaki yang menyimpan wanita lain” Risma memelankan suaranya “Maaf, kalau kalimatku menyinggung Mas” sambungnya. Tak tertahan air matanya sudah mulai menggantung di pelupuk mata.

“Kamu baca dari mana tuh? Konsultasi psikologi ya?” Canda Bima mencoba mencairkan suasana.

“Aku serius Mas” rajuk Risma

“Apa yang ingin kau dengar dariku? Pengakuan seperti apa?baik, dengar ya pengakuanku !

Ya, aku berusaha menjadi teman  baik untuk Maya sebagai pendatang baru
Ya, dia anak baru yang bertype pekerja keras, membuatku teringat padamu .
Ya, aku sangat kesepian ketika kau pergi meski hanya sepekan.
Ya, aku kewalahan mendampingi anak-anak seorang diri.
Ya, aku sangat senang dan merasa punya teman ketika ada yang memperhatikan anak-anak.
Ya,aku merasa tersanjung karena Maya memperhatikan anak-anak dan aku lebih dari perhatiannya kepada teman yang lain.
 Ya, aku bersimpati padanya.
Ya, aku teringat sikapmu yang lembut pada anak-anak ketika Maya sedang bermain dengan Natya.
Ya, aku sempat membandingkannya denganmu
Ya, aku pernah makan siang bersamanya, tapi tak cuma berdua, ada teman lain yang ikut serta
Ya, aku pernah mengantarkannya pulang sekali, hanya sekali dan aku tak turun dari mobil
Ya, aku merasa sangat bersalah setelahnya
Ya,aku sangat menyesal  “

Panjang Bima mengatakan itu dengan hati-hati, suara bergetar dan mata berkaca memandang lekat Risma.

Risma mendengarnya dengan hati-hati, air matanya luruh setiap akhir kalimat Bima. Hatinya perih, namun juga lega. Lega karena Bima sudah menceritakannya dan ia sanggup mendengarnya.

“Ayah ingin tahu perasaan bunda?” tanyanya berbisik

Bima mengangguk, menyerahkan semua pada Istrinya

“Bunda seperti pemilik rumah yang dikunjungi pencuri di siang hari, tapi pencuri  itu tak mengambil apa-apa, hanya melihat-lihat saja.” Jawabnya khawatir

“Ayah mencintai bunda” Jawab Bima sambil merengkuh Risma

Dalam rengkuh suaminya, Risma membisikkan puisi di teilnga Bisma

Sungguh,
ku mencintaimu
Seandainya bisa
kuingin genggam hatimu
erat, kuat
tapi
hati seperti pasir
jika digenggam terlalu kuat
akan lepas mengalir
dari sela jemari
Sungguh,
aku takut kehilanganmu
seandainya bisa
kan ku simpan rapat cintamu
tapi
cinta seperti air
jika didekap panas
akan menguap
meninggalkan pendekapnya
Sungguh
aku dalam kebimbangan
aku dalam kekhawatiran
aku dalam ketakutan









6 komentar:

  1. Suka sekali mbak, ikut ternyuh...:)

    BalasHapus
  2. Wiih Keren Dik Anjas..gak kalah karo penulis novel top..hihihi..semoga bukan curcol dan ayooo bikin cerita lagi..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ehm, itu terinspirasi status seorang teman Mbak...Lagi belajar terus ini, sekarang dalam proses membuat lagi...rencana mau cerpen tapi ternyata berkepanjangan jadi cerbung...jadi gak rampung2, besok klo udah jadi ku upload deh

      Hapus

Jangan Asem