Sejak dulu aku tidak
suka sepak bola, tidak suka main sepak bola maupun menonton pertandingan sepakbola. Sewaktu kecil aku dan keluarga lebih antusias menunggu siaran langsung pertandingan
tinju Ellyas Pical, atau seru-seruan
berteriak mengerubuti televisi menonton perebutan piala Thomas dan Uber. Satu-satunya kenangan yang kuingat tentang serunya sepak bola adalah ketika
Indonesia menang 1-0 melawan Malaysia di final Sea Games tahun 1987 (Ketahuan umur
deh ya, masa kecil jaman kapan). Meletup
hatiku saat Ribut Waidi melesakkan bola ke gawang Malaysia di babak
perpanjangan waktu. Saat itu kami
sekeluarga nonton dan bersorak-sorai untuk kemenangan Indonesia.
Tapi
yasudah itu saja untuk sepak bola, kupikir saat itu aku nonton bola bukan
karena bola-nya, tapi semangat merah putih seorang anak kecil yang bangga
dengan negaranya yang jaya. Semangat
nasionalisme yang ditanamkan Bapak terwujud dalam teriakan, dukungan dan sorak-sorai
membela tim Indonesia (Halah...bahasamu, Njas!). Selebihnya kesukaanku pada
sepak bola hanya sebatas saat lomba Agustusan melihat para bapak memakai daster
main sepakbola joged, seru!
Etapi nyatanya aku
dapat suami penyuka bola -bukan pemain bola ya- tapi penonton setia, penganalisa pertandingan dan komentator nomor
wahid. Awal nikah sih aku merasa aneh
saja dengan kegilaannya dengan bola. Dia
hafal nama klub, nama pemain, nama pelatih, bermacam ragam nama liga, kompetisi,
lambangnya, sejarahnya,....apalah-apalah, yang menurutku wasting time banget untuk dihafalkan.
Kesepakatan kami sejak
nikah untuk tidak punya televisi di rumah (sila baca di sini) mengerem sedikit
candunya pada bola. Kalau dia cerita
akan ada pertandingan mana lawan mana yang tayang larut malam, biasanya
kukomentari dengan
“Besok beli koran aja, gak ada bedanya, gak
akan merubah skor kan ”...
(Siap ditimpuk para penggemar bola)
Tapi kadang kasihan
juga, liat orang sakaw ga dapat tontonan candunya. Jadi kalo suamiku cerita ada
pertandingan bola penting apa gitu, aku bilang
“Nobar aja lah sana,
sama siapa dimana gitu...yang penting gak sama aku”
Biasanya suamiku lalu
pergi ke warung indomie atau mana lah yang ada televisi menyiarkan bola (Bukan
kelas nobar di kafe atau hotel he he he)
Waktu berlalu, entah
bagaimana anak-anak laki-lakiku kok jadi suka banget bola. Mungkin suamiku memberikan endog-teri-nasi pada anak-anak tentang
gurihnya sepak bola. Kesukaan Akhsan
pada bola sih kumanfaatkan untuk sarana belajar dia membaca, meski tidak
terlalu berhasil (ada ceritanya di sini), namun kesukaan Akhsan pada bola juga
yang akhirnya menghadirkan televisi di rumah kami tahun 2012 (cerita lengkapnyadi sini).
Bulan Mei tahun 2014
lalu, akhirnya Akhsan ikut Sekolah Sepak Bola. Alhamdulillah di dekat rumah ada
SSB yang bagus (sekalian promosi). Namanya SSB Baturetno, salah satu pemain
timnas U-19, Dinan Yahdian Javier, berasal dari SSB ini (promosi lagi).
Aku sih tahu diri dan gak
terlalu berharap Akhsan bisa seperti Dinan atau Evan Dimas atau CR7 (jauh
banget yak...).
Akhsan sehat, bersenang-senang,
tambah banyak teman, disiplin, bertanggungjawab (hal yang aku yakin akan
didapatnya di SSB), sudah sangat cukup buatku daripada dia cuma berkutat di
rumah pegang gadget.
Setengah tahun pertama aku
perhatikan Akhsan masih setengah hati ikut SSB, memang itu permintaan dan
keinginannya sendiri. Tapi sepertinya
Akhsan masih kurang percaya diri. Aku
yang sangat jarang mengantar-menjemput-atau menemani berlatih mencoba menelisik
sebabnya pada suamiku yang setia menungguinya berlatih.
Rupanya memang Akhsan
belum percaya diri karena kemampuan teknisnya jauh tertinggal dibanding
teman-temannya. Di sekolah dia bisa saja
bergaya jadi pemain handal main bola atau futsal dengan teman sekelasnya, tapi
begitu masuk SSB....Welcome to the real
world, Boy!. Banyak anak bertalenta yang bersemangat untuk terus mengasah
bakatnya.
Sepertinya endog-teri-nasi suamiku sudah berhasil
pula disuapkan pada diriku. Aku mulai
membaca serba-serbi tentang bola. Mengintip-intip blog khusus bola, membaca
tentang pemain, pelatih, liga dan serunya kisah dibalik sepakbola. Ternyata seru juga, ada melodrama, politik,
persaingan, perjuangan dan banyak hal untuk bahan belajar. Membaca tentang bola juga membuatku bisa
diskusi dikit-dikit dengan Akhsan meski kadang tetap dianggap anak bawang kalo
soal persepakbolaan.
Aku mulai ‘sok’ kasih
masukan ke Akhsan yang diposisikan sebagai gelandang. Suatu sore setelah aku sempatkan melihatnya
latihan kubilang
“Keren Mas tadi, lebih
keren lagi kalau bisa lebih mengiris seperti Iniesta” (Efek baca blog
sebelumnya dengan judul artikel Irisan Iniesta)
Akhsan lalu memandangku
dengan aneh lalu bilang
“Wee, Iniesta itu sayap
yoooo” sambil menyambar handuk untuk mandi
Aku yang tahunya hanya
artikel itu, melongo aja dijawab Akhsan....mhmmm...apa iya aku salah baca.
Belakangan ketika
kutanya suami dan googling lagi, Iniesta memang bisa berperan jadi sayap maupun
gelandang...yawislah 1-1 skor untuk Ibuk dan Akhsan.
Belakangan ini Akhsan
terus terjaga semangat latihannya. Aku
sih seneng-seneng saja. Diluar warna
kulitnya yang semakin legam dan berkilat (tapi tetep ganteng sih), aku
bersyukur Akhsan sehat, makan banyak, dan tidur nyenyak.
Intensitasku membaca tentang bola sedikit
meningkat untuk mengimbangi Akhsan, dengan tahu sedikit-sedikit, Akhsan yang sifat
aslinya lebih tertutup dibanding saudara-saudaranya tampaknya lebih nyaman
bercerita tentang bola padaku.
Suatu waktu Akhsan
cerita kalau dia dipanggil dengan julukan Rikuilmi oleh pelatihnya. (Coach Ivan
yang chabby...he he he).
Kucari tahu
siapa dia dan kutemukan nama Juan Roman Riquelme yang “Hebat tapi Lambat” (hi
hi hi)....visi bermain bola yang hebat, operan yang akurat, bukan yang
memporakporandakan perlawanan lawan tapi pandai mencari posisi untuk menerima
bola dan mengirimkan umpan terukur ha ha ha.....(Sudah macam komentator ulung
kau, Njas).
Terimakasih deh Coach
Ivan (The chabbiest coach ever), sudah
memompakan semangat kepada anak-anak dengan julukan masing-masing. Akhsan sendiri lalu googling tentang Riquelme
dan nampaknya senang dengan julukannya itu.
(Semoga tidak jadi pembenaran buat Akhsan yang kurang ‘ngotot’ mengejar
bola).
Satu bisikan lagi dari
Akhsan sepulang latihan adalah
“Ibuk, kata coach Ivan
aku punya satu kelebihan yang teman-teman lain gak punya”
“Apa itu?” tanyaku
“Mata samping” Bisik
Akhsan dengan mata berbinar “aku juga punya satu kekurangan” sambungnya
“Apa itu?” tanyaku lagi
sambil menyorongkan telinga menunggu bisikannya
“Kurang ngotot”
cengirnya
Baiklah Akhsan Riquelme,
teruslah bersemangat olahraga. Siapapun,
dimanapun, kita bisa belajar dari siapa saja dan di mana saja.
Saat ini aku belajar
semangat dari Akhsan dan teman-temannya bermain bola, belajar ketelatenan dari
coach untuk mengenali satu-satu karakter anak latihnya...yang kemudian bisa
diupayakan untuk dioptimalkan sesuai kemampuannya (Halah....kesimpulan yang
sangat normatif he he he)
Salam
Gol...gol...golll....
woooww....hehehe bahkan Ribut Waidi sudah wafat
BalasHapushe he he. keren mbak, suami dan anakku penggemar bola, nek nonton dan ngobrol rame. Diriku tdk suka tapi mau ikutan koment meski sering diralat oleh mereka berdua.
BalasHapus