Cemburu menurut kamus besar bahasa indonesia diartikan sebagai tidak atau kurang senang melihat orang lain beruntung.
Kosakata ini lebih sering dipakai dalam hubungan cinta asmara, tapi percayalah lanjutan dari rasan-rasan tulisan ini tak berkaitan dengan cinta antara pria dan wanita dewasa.
Cemburu yang kubahas sekarang, adalah rasa cemburu antara saudara kandung, cemburu mendapatkan bagian perhatian dari orang tua.
Dilahirkan sebagai anak bungsu, aku tak punya banyak kenangan tentang cemburu dengan saudara kandung. Aku merasakan perhatian (cukup berlebih mungkin) dari Bapak, Ibu dan tujuh orang kakakku.
Aku selalu merasa diistimewakan (Yah, tentu saja karena aku memang istimewa….)
Ingatanku tentang cemburu yang membakar hati terjadi saat aku kelas tiga SD, ketika ada saudara jauh kami berkunjung dan salah satu saudara sepupu jauhku yang sudah duduk di kelas enam SD dengan ukuran badan yang dua kali lebih besar dari aku minta gendong ibuku.
Ibuku, yang tinggi badannya tidak mencapai 1,5 meter terhuyung-huyung menggendong Mila (nama sepupuku itu) dari dalam rumah menuju teras depan.
Protes yang kusampaikan saat itu tidak diperhatikan, aku menyampaikan protes kenapa Mila digendong ibu, sementara aku, yang berbadan kecil mungil sudah dilarang minta gendong ibu karena dianggap sudah terlalu besar. Penjelasan ibuku kalau permintaan Mila dikabulkan karena tidak setiap tahun keluarga kami bisa saling mengunjungi, tak bisa meredam kecemburuanku.
Cemburu yang meletup-letup itu kuwujudkan dengan melakukan aksi bungkam terhadap ibu. Tak kujawab panggilan ibu, tak kubalas senyum ibu, aku lebih banyak diam (Tapi aku tetap makan dengan lahap masakan ibu, selain karena masakan ibu selalu enak…pada dasarnya aku doyan makan dan tidak tahan lapar). Aksi bungkam berlangsung beberapa hari, rayuan ibu, bujukan kakak-kakak tidak kugubris. Waktu itu aku cemburu habis dengan peristiwa gendong-menggendong itu.
Cerita cemburu itu tamat ketika guru wali kelasku di sekolah turun tangan memintaku untuk menerima maaf ibu (Aku yakin itu karena ibuku sudah habis akal menghadapi keras kepalaku dan minta tolong Bu Tri nama guruku itu, sebagai sesama guru SD hal itu dengan mudah dilakukan ibu). Akhirnya aku menerima maaf ibu karena sebenarnya aku sudah lelah bungkam terhadap ibu, lelah mengabaikan ibu. Bagaimanapun, ibu saat itu adalah pusat hidupku.
Urusan tentang cemburu aku alami kembali akhir-akhir ini (Dalam sisi peran yang berbeda, saat ini aku sudah menjadi ibu dari tiga anak, aku yang menjadi pusat hidup mereka, aku yang menjadi sumber cemburu mereka)
Setelah dua tahun lebih satu bulan menjadi pusat perhatian di rumah, Sakha putri sulungku mendapatkan saudaranya, adiknya, teman bermainnya, calon”rival” dalam mendapatkan bagian waktuku, tatapan sayangku , uluran tanganku, dan semuanya…..dua bulan pertama menjadi kakak, dilewati Sakha dengan mulus-lus-lus …saat itu aku dibuat takjub, anak sekecil itu begitu dewasanya…menerima adik bayinya, membanggakan kepada siapa saja yang menengok adiknya…
“Ini adikku…” begitu ucapannya setiap kali ditanya siapa bayi kecil yang tergeletak tak berdaya dalam boks bayi (yang sebelumnya dihuni Sakha)
“Namanya Akhsan…” Itu penjelasan lanjutannya untuk para penengok bayi….
Begitu hari berlalu, Sakha menemaniku merawat Akhsan di hari-hari pertama …mengambilkan popok, mengambilkan tissue, menemani berjemur, mengamati saat aku memandikan adiknya, menunggui ketika aku menyusui adiknya, menyanyikan lagu untuk adiknya….mhmmm…sangat menyenangkan dan membahagiakan.
Seperti yang kutulis tadi, setelah dua bulan berlalu….terjadi perubahan pada pola hubungan Sakha dan Akhsan (mungkin lebih tepat disebut respon Sakha terhadap adiknya, karena sampai usia dua bulan Akhsan belum bisa melakukan hubungan timbal balik yang erat kecuali dengan aku ibunya-tersenyum dan menatap selama disusui dan dikeloni)
Sakha baru menyadari bahwa ada yang berubah sekarang, tak bisa lagi tiap saat ia minta ditemani saat itu juga aku beranjak menghampirinya. Tak bisa tiap saat ia ingin bermain lompat-lompatan, saat itu juga aku bisa ikut bergaya bak seekor kelinci di belakangnya…Sekarang ada makhluk kecil yang tergolek tak berdaya yang menyedot perhatian banyak orang…membuatku tergopoh menyusui saat ia menangis keras, membuat bapaknya ikut sibuk menggendong dan mengajaknya jalan-jalan di pagi hari.
Sakha cemburu….
Sikap manis pada adiknya mulai berkurang, ogah-ogahan saat kuajak menemani adikknya dan lebih memilih bermain sendiri.
Hatiku sedih, sungguh….rasanya pedih seperti digores (mungkin seperti mengada-ada dan mendramatisir suasana ya, tapi percayalah aku tak melebih-lebihkan). Hatiku seperti disimpang jalan, Sakha dan Akhsan sama-sama kusayang, tak ada yang kulebihkan dan tak ada yang kukurangi. Hanya saja, Akhsan diusianya itu sangat bergantung padaku, pada Air Susu Ibu-nya, pada dekapan ibunya. Mungkin juga aku agak berlebihan, saat hamil dan pasca melahirkan Akhsan memang perasaanku seringkali berubah-ubah, tak terlalu stabil, tak sama dengan saat aku melahirkan Sakha (Apa dan mengapanya akan aku ceritakan pada bagian yang terpisah dari tulisan ini).
Kembali pada soal cemburu tadi, puncak kecemburuan Sakha diujudkan dengan menggigit adiknya, yah…menggigit dengan sekuat-kuatnya, bukan sekedar gigitan gemas semata, aku menangkap kelebat kemarahan di mata Sakha.
Oh, tercabik hatiku saat pertama Sakha menggigit jari tangan adiknya. Sontak Akhsan menangis sejadi-jadinya, air mataku pun berburai-burai. Sambil kutiup-tiup jemari mungil Akhsan (bayi merah dua bulanku) yang jelas bergaris merah tanda gigitan, aku peluk Sakha (yang akhirnya ikut menangis melihatku mewek tak karuan).
Setelah tangis kami bertiga reda, kucoba merangkai kata paling sederhana untuk Sakha, mencoba memberi pengertian bahwa aku, ibunya, tidak meninggalkannya, tidak melupakannya. Saat kujelaskan, mata bening Sakha menatapku sepertinya mengerti, dan di akhir ceritaku mau mencium kening dan pipi adiknya, insiden itu kuakhiri dengan kelegaan hati.
Tapi, saat kedua, ketiga dan seterusnya terjadi. Sakha masih cemburu, dan masih diujudkan dengan jalan yang sama…menggigit adiknya, di tangan, di jari kaki, di pipi, di kepala dan di pundak adiknya. Duh, tangisan Akhsan yang tiba-tiba saat aku lena (maksudku aku tidak dalam posisi berada di sampingnya) selalu membuatku tergopoh, dan kudapati Sakha dengan ekspresi di wajah mungilnya yang campur aduk antara marah, takut dan gemas. Aku yakin Sakha tahu apa yang dilakukannya itu keliru (paling tidak dia tahu kalau ibunya bersedih ketika dia melakukan itu), tapi dorongan api cemburu membuatnya tak tahan untuk menggigit lagi, lagi dan lagi.
Perihal Sakha menggigit adiknya diketahui ibuku dan mertuaku, tiap kali mereka berkunjung (atau kami yang mengunjungi mereka), nasehat untuk menjadi kakak yang baik dituturkan kepada Sakha. Dengan tampang lugu-nya aku yakin tidak semua kalimat eyang uti dan simbah putri-nya bisa dicerna dengan baik oleh Sakha.
Akhirnya setelah Akhsan menjelang usia enam bulan, kebiasaan Sakha menggigit adiknya menghilang. Tak berapa lama sebelumnya, ibu mertuaku membuatkan jenang (bubur) prentul, yang menurut ibu mertuaku bisa menghilangkan kebiasaan menggigit Sakha. Yah…akhirnya era gigit menggigit berakhir entah karena si prentul itu atau yang lain(aku lebih yakin kalau berhentinya Sakha karena ia sudah sampai pada batas mengerti bahwa menggigiti adiknya tak menyelesaikan persoalan, mempunyai saudara adalah sebuah kenyataan dan berbagi dengannya lebih membahagiakan daripada menyalurkan kecemburuan dengan gigitan yang hanya berujung pada tangisan adik dan wajah sedih ibu). Akhirnya cerita cemburu yang dimulai saat Akhsan merumur dua bulan, berakhir hampir empat bulan kemudian.
Selama kurun waktu empat bulan itu, aku bertanya kepada teman dan kerabat yang mempunyai anak lebih dari satu, kapan sang kakak mulai cemburu dan bagaimana mengatasinya. Jawaban yang kuperoleh beragam, namun sebagian besar mengatakan sang kakak mulai cemburu segera setelah kehadiran adiknya. Saat itu, yang ada dalam pikiranku adalah Sakha mengalami cemburu yang tertunda.
Cerita berbeda terjadi ketika Akhsan mendapatkan adiknya, Si endut Abbad. Aku sudah bersiap untuk mendapatkan kejutan yang lebih heboh dari cerita cemburu Sakha, tapi ternyata bulan kedua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan dilalui Akhsan dengan baik. Mas Akhsan-ku yang ganteng (bebek silem=anak dhewek dialem) merespon adiknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Rasa sayangnya diujudkan dengan perlakuan standar seperti mengambilkan popok, menemani saat menyusu, bertepuk-tepuk tangan mengajak bercanda sampai perlakuan yang menurutku istimewa, yaitu menyanyi dan bercerita untuk adiknya. Ya, Akhsan yang belum genap tiga tahun saat adiknya lahir, dengan telaten bernyanyi dan berbisik-bisik menceritakan pengalamannya di sekolah (sebutan Akhsan untuk aktivitas play group-nya)
Tapi, ternyata masa bulan madu berakhir menjelang Abbad berumur delapan bulan. Saat respon dan ekspresinya semakin jelas, kemampuan dan kemauannya pesat bertambah. Abbad mulai merenggut dengan keras siapa yang berada di dekatnya, alhasil rambut, pipi, telinga,mata kakak Sakha dan Mas Akhsan menjadi sasaran empuk untuk cengkeraman Abbad. Semakin mengenal aku sebagai ibunya juga membuat Abbad semakin menuntut perhatianku, dia bisa berkeras meminta bersamaku (tentu saja dengan cara dan bahasanya). Keadaan ini membuat jatah waktuku yang tidak banyak, harus kubagi secara proporsional untuk anak-anakku.
Kalau semua ibu ditanya pembagian dan kadar sayang, kadar cinta untuk anak-anaknya, pasti jawabannya “tak ada yang berbeda…semuanya istimewa“. Tapi mungkin Akhsan merasa tak mendapat perhatian yang semestinya. Akhsan sudah biasa berbagi dengan Sakha semenjak dia hadir di dunia, mungkin itu yang membuat reaksi cemburunya hadir lebih lambat, cemburu yang (lama) tertunda .
Akhsan cemburu…
Sikap mesra tetap ditunjukkan Akhsan pada adiknya, tetapi di saat-saat tertentu ketika (mungkin) ia merasa sebal dan kurang perhatian, Abbad menjadi sasaran. Dicubit, dicakar, dipukul, dijewer,ditendang…..Aduh, sedihku berulang, tapi kali ini tidak ada burai air mata (aku berusaha lebih dewasa dong, masak mewek untuk kedua kalinya dalam menghadapi persoalan yang sama). Ekspresi kegemasan yang nampak diwajah Akhsan, tidak ada kelebat kemarahan seperti yang kulihat di mata Sakha dulu. Aku berusaha tak bereaksi berlebihan, jika insiden itu terjadi , aku berusaha mengalihkan dengan aktivitas lain, meski kadang kalo pas badan capek…teguran tegas (bahasa halus dari marah) terlontar juga untuk Akhsan.
Cemburu Akhsan yang tertunda, sepertinya tak akan berlangsung lama, dan tak seheboh cemburu Sakha dulu…Semoga….
(Desember 2009)
Kosakata ini lebih sering dipakai dalam hubungan cinta asmara, tapi percayalah lanjutan dari rasan-rasan tulisan ini tak berkaitan dengan cinta antara pria dan wanita dewasa.
Cemburu yang kubahas sekarang, adalah rasa cemburu antara saudara kandung, cemburu mendapatkan bagian perhatian dari orang tua.
Dilahirkan sebagai anak bungsu, aku tak punya banyak kenangan tentang cemburu dengan saudara kandung. Aku merasakan perhatian (cukup berlebih mungkin) dari Bapak, Ibu dan tujuh orang kakakku.
Aku selalu merasa diistimewakan (Yah, tentu saja karena aku memang istimewa….)
Ingatanku tentang cemburu yang membakar hati terjadi saat aku kelas tiga SD, ketika ada saudara jauh kami berkunjung dan salah satu saudara sepupu jauhku yang sudah duduk di kelas enam SD dengan ukuran badan yang dua kali lebih besar dari aku minta gendong ibuku.
Ibuku, yang tinggi badannya tidak mencapai 1,5 meter terhuyung-huyung menggendong Mila (nama sepupuku itu) dari dalam rumah menuju teras depan.
Protes yang kusampaikan saat itu tidak diperhatikan, aku menyampaikan protes kenapa Mila digendong ibu, sementara aku, yang berbadan kecil mungil sudah dilarang minta gendong ibu karena dianggap sudah terlalu besar. Penjelasan ibuku kalau permintaan Mila dikabulkan karena tidak setiap tahun keluarga kami bisa saling mengunjungi, tak bisa meredam kecemburuanku.
Cemburu yang meletup-letup itu kuwujudkan dengan melakukan aksi bungkam terhadap ibu. Tak kujawab panggilan ibu, tak kubalas senyum ibu, aku lebih banyak diam (Tapi aku tetap makan dengan lahap masakan ibu, selain karena masakan ibu selalu enak…pada dasarnya aku doyan makan dan tidak tahan lapar). Aksi bungkam berlangsung beberapa hari, rayuan ibu, bujukan kakak-kakak tidak kugubris. Waktu itu aku cemburu habis dengan peristiwa gendong-menggendong itu.
Cerita cemburu itu tamat ketika guru wali kelasku di sekolah turun tangan memintaku untuk menerima maaf ibu (Aku yakin itu karena ibuku sudah habis akal menghadapi keras kepalaku dan minta tolong Bu Tri nama guruku itu, sebagai sesama guru SD hal itu dengan mudah dilakukan ibu). Akhirnya aku menerima maaf ibu karena sebenarnya aku sudah lelah bungkam terhadap ibu, lelah mengabaikan ibu. Bagaimanapun, ibu saat itu adalah pusat hidupku.
Urusan tentang cemburu aku alami kembali akhir-akhir ini (Dalam sisi peran yang berbeda, saat ini aku sudah menjadi ibu dari tiga anak, aku yang menjadi pusat hidup mereka, aku yang menjadi sumber cemburu mereka)
Setelah dua tahun lebih satu bulan menjadi pusat perhatian di rumah, Sakha putri sulungku mendapatkan saudaranya, adiknya, teman bermainnya, calon”rival” dalam mendapatkan bagian waktuku, tatapan sayangku , uluran tanganku, dan semuanya…..dua bulan pertama menjadi kakak, dilewati Sakha dengan mulus-lus-lus …saat itu aku dibuat takjub, anak sekecil itu begitu dewasanya…menerima adik bayinya, membanggakan kepada siapa saja yang menengok adiknya…
“Ini adikku…” begitu ucapannya setiap kali ditanya siapa bayi kecil yang tergeletak tak berdaya dalam boks bayi (yang sebelumnya dihuni Sakha)
“Namanya Akhsan…” Itu penjelasan lanjutannya untuk para penengok bayi….
Begitu hari berlalu, Sakha menemaniku merawat Akhsan di hari-hari pertama …mengambilkan popok, mengambilkan tissue, menemani berjemur, mengamati saat aku memandikan adiknya, menunggui ketika aku menyusui adiknya, menyanyikan lagu untuk adiknya….mhmmm…sangat menyenangkan dan membahagiakan.
Seperti yang kutulis tadi, setelah dua bulan berlalu….terjadi perubahan pada pola hubungan Sakha dan Akhsan (mungkin lebih tepat disebut respon Sakha terhadap adiknya, karena sampai usia dua bulan Akhsan belum bisa melakukan hubungan timbal balik yang erat kecuali dengan aku ibunya-tersenyum dan menatap selama disusui dan dikeloni)
Sakha baru menyadari bahwa ada yang berubah sekarang, tak bisa lagi tiap saat ia minta ditemani saat itu juga aku beranjak menghampirinya. Tak bisa tiap saat ia ingin bermain lompat-lompatan, saat itu juga aku bisa ikut bergaya bak seekor kelinci di belakangnya…Sekarang ada makhluk kecil yang tergolek tak berdaya yang menyedot perhatian banyak orang…membuatku tergopoh menyusui saat ia menangis keras, membuat bapaknya ikut sibuk menggendong dan mengajaknya jalan-jalan di pagi hari.
Sakha cemburu….
Sikap manis pada adiknya mulai berkurang, ogah-ogahan saat kuajak menemani adikknya dan lebih memilih bermain sendiri.
Hatiku sedih, sungguh….rasanya pedih seperti digores (mungkin seperti mengada-ada dan mendramatisir suasana ya, tapi percayalah aku tak melebih-lebihkan). Hatiku seperti disimpang jalan, Sakha dan Akhsan sama-sama kusayang, tak ada yang kulebihkan dan tak ada yang kukurangi. Hanya saja, Akhsan diusianya itu sangat bergantung padaku, pada Air Susu Ibu-nya, pada dekapan ibunya. Mungkin juga aku agak berlebihan, saat hamil dan pasca melahirkan Akhsan memang perasaanku seringkali berubah-ubah, tak terlalu stabil, tak sama dengan saat aku melahirkan Sakha (Apa dan mengapanya akan aku ceritakan pada bagian yang terpisah dari tulisan ini).
Kembali pada soal cemburu tadi, puncak kecemburuan Sakha diujudkan dengan menggigit adiknya, yah…menggigit dengan sekuat-kuatnya, bukan sekedar gigitan gemas semata, aku menangkap kelebat kemarahan di mata Sakha.
Oh, tercabik hatiku saat pertama Sakha menggigit jari tangan adiknya. Sontak Akhsan menangis sejadi-jadinya, air mataku pun berburai-burai. Sambil kutiup-tiup jemari mungil Akhsan (bayi merah dua bulanku) yang jelas bergaris merah tanda gigitan, aku peluk Sakha (yang akhirnya ikut menangis melihatku mewek tak karuan).
Setelah tangis kami bertiga reda, kucoba merangkai kata paling sederhana untuk Sakha, mencoba memberi pengertian bahwa aku, ibunya, tidak meninggalkannya, tidak melupakannya. Saat kujelaskan, mata bening Sakha menatapku sepertinya mengerti, dan di akhir ceritaku mau mencium kening dan pipi adiknya, insiden itu kuakhiri dengan kelegaan hati.
Tapi, saat kedua, ketiga dan seterusnya terjadi. Sakha masih cemburu, dan masih diujudkan dengan jalan yang sama…menggigit adiknya, di tangan, di jari kaki, di pipi, di kepala dan di pundak adiknya. Duh, tangisan Akhsan yang tiba-tiba saat aku lena (maksudku aku tidak dalam posisi berada di sampingnya) selalu membuatku tergopoh, dan kudapati Sakha dengan ekspresi di wajah mungilnya yang campur aduk antara marah, takut dan gemas. Aku yakin Sakha tahu apa yang dilakukannya itu keliru (paling tidak dia tahu kalau ibunya bersedih ketika dia melakukan itu), tapi dorongan api cemburu membuatnya tak tahan untuk menggigit lagi, lagi dan lagi.
Perihal Sakha menggigit adiknya diketahui ibuku dan mertuaku, tiap kali mereka berkunjung (atau kami yang mengunjungi mereka), nasehat untuk menjadi kakak yang baik dituturkan kepada Sakha. Dengan tampang lugu-nya aku yakin tidak semua kalimat eyang uti dan simbah putri-nya bisa dicerna dengan baik oleh Sakha.
Akhirnya setelah Akhsan menjelang usia enam bulan, kebiasaan Sakha menggigit adiknya menghilang. Tak berapa lama sebelumnya, ibu mertuaku membuatkan jenang (bubur) prentul, yang menurut ibu mertuaku bisa menghilangkan kebiasaan menggigit Sakha. Yah…akhirnya era gigit menggigit berakhir entah karena si prentul itu atau yang lain(aku lebih yakin kalau berhentinya Sakha karena ia sudah sampai pada batas mengerti bahwa menggigiti adiknya tak menyelesaikan persoalan, mempunyai saudara adalah sebuah kenyataan dan berbagi dengannya lebih membahagiakan daripada menyalurkan kecemburuan dengan gigitan yang hanya berujung pada tangisan adik dan wajah sedih ibu). Akhirnya cerita cemburu yang dimulai saat Akhsan merumur dua bulan, berakhir hampir empat bulan kemudian.
Selama kurun waktu empat bulan itu, aku bertanya kepada teman dan kerabat yang mempunyai anak lebih dari satu, kapan sang kakak mulai cemburu dan bagaimana mengatasinya. Jawaban yang kuperoleh beragam, namun sebagian besar mengatakan sang kakak mulai cemburu segera setelah kehadiran adiknya. Saat itu, yang ada dalam pikiranku adalah Sakha mengalami cemburu yang tertunda.
Cerita berbeda terjadi ketika Akhsan mendapatkan adiknya, Si endut Abbad. Aku sudah bersiap untuk mendapatkan kejutan yang lebih heboh dari cerita cemburu Sakha, tapi ternyata bulan kedua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan dilalui Akhsan dengan baik. Mas Akhsan-ku yang ganteng (bebek silem=anak dhewek dialem) merespon adiknya dengan lembut dan penuh kasih sayang. Rasa sayangnya diujudkan dengan perlakuan standar seperti mengambilkan popok, menemani saat menyusu, bertepuk-tepuk tangan mengajak bercanda sampai perlakuan yang menurutku istimewa, yaitu menyanyi dan bercerita untuk adiknya. Ya, Akhsan yang belum genap tiga tahun saat adiknya lahir, dengan telaten bernyanyi dan berbisik-bisik menceritakan pengalamannya di sekolah (sebutan Akhsan untuk aktivitas play group-nya)
Tapi, ternyata masa bulan madu berakhir menjelang Abbad berumur delapan bulan. Saat respon dan ekspresinya semakin jelas, kemampuan dan kemauannya pesat bertambah. Abbad mulai merenggut dengan keras siapa yang berada di dekatnya, alhasil rambut, pipi, telinga,mata kakak Sakha dan Mas Akhsan menjadi sasaran empuk untuk cengkeraman Abbad. Semakin mengenal aku sebagai ibunya juga membuat Abbad semakin menuntut perhatianku, dia bisa berkeras meminta bersamaku (tentu saja dengan cara dan bahasanya). Keadaan ini membuat jatah waktuku yang tidak banyak, harus kubagi secara proporsional untuk anak-anakku.
Kalau semua ibu ditanya pembagian dan kadar sayang, kadar cinta untuk anak-anaknya, pasti jawabannya “tak ada yang berbeda…semuanya istimewa“. Tapi mungkin Akhsan merasa tak mendapat perhatian yang semestinya. Akhsan sudah biasa berbagi dengan Sakha semenjak dia hadir di dunia, mungkin itu yang membuat reaksi cemburunya hadir lebih lambat, cemburu yang (lama) tertunda .
Akhsan cemburu…
Sikap mesra tetap ditunjukkan Akhsan pada adiknya, tetapi di saat-saat tertentu ketika (mungkin) ia merasa sebal dan kurang perhatian, Abbad menjadi sasaran. Dicubit, dicakar, dipukul, dijewer,ditendang…..Aduh, sedihku berulang, tapi kali ini tidak ada burai air mata (aku berusaha lebih dewasa dong, masak mewek untuk kedua kalinya dalam menghadapi persoalan yang sama). Ekspresi kegemasan yang nampak diwajah Akhsan, tidak ada kelebat kemarahan seperti yang kulihat di mata Sakha dulu. Aku berusaha tak bereaksi berlebihan, jika insiden itu terjadi , aku berusaha mengalihkan dengan aktivitas lain, meski kadang kalo pas badan capek…teguran tegas (bahasa halus dari marah) terlontar juga untuk Akhsan.
Cemburu Akhsan yang tertunda, sepertinya tak akan berlangsung lama, dan tak seheboh cemburu Sakha dulu…Semoga….
(Desember 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar