Rabu, 13 Juni 2012

CINTA SEGITIGA


Belum pernah aku merasakan berat hati seberat hari ini ketika memulai sebuah perjalanan.  Sebenarnya bukan sebuah perjalanan panjang, bukan pula perjalanan yang istimewa. Sebuah perjalanan biasa yang harus kulakukan sebagai konsekuensi dari pekerjaan. Aku meneteskan air mata di awal perjalanan, ketika lambaian tiga tangan mungil mengantarkan keberangkatanku, tangan ketiga anakku.  Sebenarnya hatiku selalu terbagi tiap kali meninggalkan anak-anak, dan membiru ketika ada faktor pemberatnya. Suatu waktu Akhsan cacar air, di waktu yang lain Abbad demam, tapi waktu-waktu itu terkalahkan dengan beratnya hari ini.  Anak-anak dalam kondisi sehat dan baik (semoga selalu begitu), yang berbeda adalah kali ini kami (aku dan suami) pergi dalam waktu yang bersamaan.  Satu hal yang sebelumnya bisa kami hindari, kami atur, kami siasati, agar jika harus melakukan pekerjaan yang meninggalkan anak-anak dalam hitungan lebih dari satu hari kami lakukan dengan bergantian.  Tapi kali ini, jadwal kami tidak bisa kompromi, dan anak-anak terpaksa ‘dimintai’ pengorbanan. 

Biasanya, jika anak-anak dalam kondisi sehat dan salah satu dari kami harus ke luar kota, aku atau suami meminta bantuan om dan tante untuk berbagi urusan mengantar dan menjemput dari sekolah. Di luar keperluan itu, kami usahakan ditangani sendiri bagi yang sedang kebagian jaga gawang.  Di lain waktu, jika ada faktor pemberat seperti salah satu anak dalam kondisi tidak fit, kami akan mengerahkan bala bantuan yang lebih besar. Biasanya ibuku akan datang menemani kami, sampai anak yang sakit pulih atau yang ke luar kota sudah datang kembali.

Sekarang ini, ketika kami harus pergi bersamaan....kami memilih tidak mendatangkan bala bantuan tapi ‘mengungsikan’ anak-anak. Mengantar mereka ke benteng pertahanan, keluarga besar yang entah bagaimana kami mengatasi kisruh ini tanpa bantuan mereka – Alhamdulillah, terimakasih KAU berikan kami keluarga yang sangat peduli.

Skenario pengungsian ini didukung kondisi sekolah anak-anak yang ‘terkendali’. Sakha sudah menyelesaikan pekan ujian kenaikan kelasnya, Akhsan meski sedang dalam persiapan wisuda (TK) dan ada jadwal gladi kotor pekan ini- setelah kukonsultasikan kepada gurunya diyakini bisa ‘mengejar’ ketinggalan sepulang dari pengungsian nanti. Abbad, tidak ada persoalan...pekan ini tidak ada jadwal minitrip yang akan dilakoninya, jadi dia tidak akan ketinggalan ‘bahan pembicaraan’ dengan teman-temannya.

Ketika air mata ini menetes, yang bergelung di pikiranku adalah pertanyaan “Apa yang kau cari dari perjalanan ini Anjas?” perjalanan yang membuatmu sedih, perjalanan yang membuat anak-anakmu harus menanggung konsekuensinya.  Bernilai ekonomi tinggi? Tidak, lebih besar ongkos yang kukeluarkan untuk skenario pengungsian ini daripada pendapatan ketika pergi.  Aktualisasi diri?  Mohon maaf Pak Abraham Maslow, tampaknya saya tidak sedang dalam tahap ini jika merujuk pada Hierarchy of Needs versi panjenengan.

Jadi, apa yang kucari dengan segala kerusuhan hati dan pengorbanan anak-anak ini. Kucoba meluruskan hati, menata niat, agar jerih payah dan rasa sedih yang menyelimuti lebih berarti. Bukan sekedar untuk menggugurkan kewajibanku ketika melaksanakan tugas.  
Ya, baiklah.....bukankah melaksanakan kewajiban juga sebuah hal kebaikan?
Marilah, aku mencoba naik setingkat lebih baik dari itu.  Keberangkatan ini kuniatkan untuk menambah ilmu dan menambah wawasan dengan bonus istimewa melatih anak-anak mandiri ketika tidak didampingi orangtuanya.  Mhm.....ini sedikit melemaskan syaraf ketegangan yang terhubung langsung dengan dawai air mata yang siap luruh tiap kali ingatanku melayang kepada anak-anak. 

Baiklah, akhirnya cinta segitiga ini dimulai. Bapak di Bandung, Ibu di Jakarta, anak-anak di Magelang. Cinta segitiga temporari saja, dan tidak kuharapkan datang lagi. Semoga menjadi ilmu kehidupan baru bagi kami semua.

Sekali lagi....terimakasih Budhe, Pakdhe, Yangkung, Yanguti, Mas,  dan Mbak untuk segala penerimaan dan pengertian atas segala kerepotan yang kami timbulkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem