Belum pernah aku
merasakan berat hati seberat hari ini ketika memulai sebuah perjalanan. Sebenarnya bukan sebuah perjalanan panjang,
bukan pula perjalanan yang istimewa. Sebuah perjalanan biasa yang harus
kulakukan sebagai konsekuensi dari pekerjaan. Aku meneteskan air mata di awal
perjalanan, ketika lambaian tiga tangan mungil mengantarkan keberangkatanku, tangan
ketiga anakku. Sebenarnya hatiku selalu
terbagi tiap kali meninggalkan anak-anak, dan membiru ketika ada faktor
pemberatnya. Suatu waktu Akhsan cacar air, di waktu yang lain Abbad demam, tapi
waktu-waktu itu terkalahkan dengan beratnya hari ini. Anak-anak dalam kondisi sehat dan baik
(semoga selalu begitu), yang berbeda adalah kali ini kami (aku dan suami) pergi
dalam waktu yang bersamaan. Satu hal
yang sebelumnya bisa kami hindari, kami atur, kami siasati, agar jika harus
melakukan pekerjaan yang meninggalkan anak-anak dalam hitungan lebih dari satu
hari kami lakukan dengan bergantian.
Tapi kali ini, jadwal kami tidak bisa kompromi, dan anak-anak terpaksa ‘dimintai’
pengorbanan.
Biasanya, jika
anak-anak dalam kondisi sehat dan salah satu dari kami harus ke luar kota, aku
atau suami meminta bantuan om dan tante untuk berbagi urusan mengantar dan
menjemput dari sekolah. Di luar keperluan itu, kami usahakan ditangani sendiri
bagi yang sedang kebagian jaga gawang.
Di lain waktu, jika ada faktor pemberat seperti salah satu anak dalam
kondisi tidak fit, kami akan mengerahkan bala bantuan yang lebih besar.
Biasanya ibuku akan datang menemani kami, sampai anak yang sakit pulih atau
yang ke luar kota sudah datang kembali.
Sekarang ini,
ketika kami harus pergi bersamaan....kami memilih tidak mendatangkan bala
bantuan tapi ‘mengungsikan’ anak-anak. Mengantar mereka ke benteng pertahanan, keluarga
besar yang entah bagaimana kami mengatasi kisruh ini tanpa bantuan mereka –
Alhamdulillah, terimakasih KAU berikan kami keluarga yang sangat peduli.
Skenario
pengungsian ini didukung kondisi sekolah anak-anak yang ‘terkendali’. Sakha
sudah menyelesaikan pekan ujian kenaikan kelasnya, Akhsan meski sedang dalam
persiapan wisuda (TK) dan ada jadwal gladi kotor pekan ini- setelah
kukonsultasikan kepada gurunya diyakini bisa ‘mengejar’ ketinggalan sepulang
dari pengungsian nanti. Abbad, tidak ada persoalan...pekan ini tidak ada jadwal
minitrip yang akan dilakoninya, jadi dia tidak akan ketinggalan ‘bahan
pembicaraan’ dengan teman-temannya.
Ketika air mata
ini menetes, yang bergelung di pikiranku adalah pertanyaan “Apa yang kau cari
dari perjalanan ini Anjas?” perjalanan yang membuatmu sedih, perjalanan yang
membuat anak-anakmu harus menanggung konsekuensinya. Bernilai ekonomi tinggi? Tidak, lebih besar
ongkos yang kukeluarkan untuk skenario pengungsian ini daripada pendapatan ketika
pergi. Aktualisasi diri? Mohon maaf Pak Abraham Maslow, tampaknya saya
tidak sedang dalam tahap ini jika merujuk pada Hierarchy of Needs versi
panjenengan.
Jadi, apa yang
kucari dengan segala kerusuhan hati dan pengorbanan anak-anak ini. Kucoba
meluruskan hati, menata niat, agar jerih payah dan rasa sedih yang menyelimuti
lebih berarti. Bukan sekedar untuk menggugurkan kewajibanku ketika melaksanakan
tugas.
Ya, baiklah.....bukankah
melaksanakan kewajiban juga sebuah hal kebaikan?
Marilah, aku mencoba naik setingkat lebih baik
dari itu. Keberangkatan ini kuniatkan
untuk menambah ilmu dan menambah wawasan dengan bonus istimewa melatih
anak-anak mandiri ketika tidak didampingi orangtuanya. Mhm.....ini sedikit melemaskan syaraf
ketegangan yang terhubung langsung dengan dawai air mata yang siap luruh tiap
kali ingatanku melayang kepada anak-anak.
Baiklah, akhirnya
cinta segitiga ini dimulai. Bapak di Bandung, Ibu di Jakarta, anak-anak di
Magelang. Cinta segitiga temporari saja, dan tidak kuharapkan datang lagi.
Semoga menjadi ilmu kehidupan baru bagi kami semua.
Sekali
lagi....terimakasih Budhe, Pakdhe, Yangkung, Yanguti, Mas, dan Mbak untuk segala penerimaan dan
pengertian atas segala kerepotan yang kami timbulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar