Jumat, 08 Juni 2012

Masih Harus Terus Belajar Menjadi Ibu

Menurutku, orang yang paling mengenali dan memahamiku adalah ibuku. Sejak kecil sampai sekarang....aku merasa tak bisa menyembunyikan apapun dari Ibu.  Sekarang ini, setelah menjadi emak-emak dengan tiga anak, Ibu bisa menebak suasana hatiku meski hanya bercakap lewat telpon.  Beliau bisa membaca  nada bicaraku, apalagi jika bertatap muka langsung. Memang Ibu tidak tahu persis hal apa yang kusimpan, tapi ibu tahu jika aku merasakan kesedihan,  atau menyembunyikan sesuatu.  Teringat aku saat kelas satu SD dulu, di suatu pagi ketika hendak berangkat sekolah, baru beberapa langkah keluar halaman aku mengeluh "Ibu...Anjas mules" kataku memasang tampang kesakitan sembari memegang perut.

Ibuku kemudian memintaku istirahat di rumah sementara beliau melanjutkan aktivitas seperti biasa mengajar di sekolah.  Sore harinya ibu mendekatiku, membawakan potongan-potongan lidi kemudian mengajakku bermain sambil berhitung. Aku tidak tahu penyelidikan apa yang dilakukan ibu seharian tadi hingga ia bisa menebak dengan jitu kalau sakit perutku datang ketika membayangkan ada pelajaran berhitung hari itu.

Hebatnya, semakin aku besar, semakin aku sadar bahwa ibu begitu mengenal watak kami berdelapan satu persatu lengkap dengan kemampuan, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dengan pengenalan yang valid terhadap kami anak-anaknya, perlakuan, "tuntutan" dan intervensi ibu kepada kami pun aku rasa berbeda....sesuai dengan karakter kami masing-masing.  

Sebuah contoh sederhana adalah begini, suatu hari di rumah, kami membuat makanan kecil. Aku lupa namanya...itu lho...sagu warna-warni dicampur parutan kelapa muda dan gula pasir kemudian dibungkus daun. Nah, kami tiga anak terkecil membantu ibu membungkus adonan dengan daun pisang.  Ibu mencontohkan caranya dan kami mengikutinya. Kakak ke-enam dan aku mendapat masukan dan 'kritikan' dari Ibu untuk mendapat hasil bungkusan yang tersemat cantik dan rapi.  Sementara ibu membiarkan saja ketika kakak ke-tujuh  menghasilkan bungkusan yang menurutku 'pating pleketot' alias mencang-mencong.  Ketika aku protes kenapa kami berdua dikritik  sementara kakak ke-tujuh tidak, Ibu menjawab sambil tersenyum "Wis sesuai kemampuan masing-masing".
Yah, ibu mengenal betul kemampuan motorik halus kakak ketujuh, mau dipaksa seperti apa, ya....itulah hasil terbaiknya, dan di lain sisi  ibu yakin  kami berdua (aku dan kakak ke-enam) bisa mendapatkan hasil yang memang lebih rapi dan cantik. Istimewanya lagi semua anak mendapat penerimaan yang menurutku setulus-tulusnya penerimaan, apapun yang kami lakukan. Dan samakin dewasa (tambah umur maksudnya), aku semakin 'gumun' dengan kemampuan ibu menjadi seorang "IBU"

Pengertian dan penerimaan ibu selalu terbuka untuk semua pilihan hidup kami, anak-anaknya. Dari hal sederhana seperti selera berpakaian sampai hal besar dalam pemilihan pasangan hidup. Ibu mempercayakan pada kami anak-anaknya....tanpa pernah 'nampak' memaksakan pendapat beliau.

Coba kubandingkan dengan diriku sendiri, aku cukup yakin mengenal Sakha dengan sangat baik....biasanya aku bisa menduga dengan tepat apa yang Sakha rasakan, dan mencoba memberikan sebaik apa yang ibu berikan padaku dulu. Semula aku yakin juga mengenal Akhsan  dengan baik, sampai aku tersadar dengan suatu kejadian kecil yang membuatku berdiskusi cukup panjang dengan suamiku.

Berawal dari kedua bola ini :

Semula Akhsan membeli bola ini, beberapa hari kemudian Abbad meminta bola juga untuk menggantikan bola plastiknya yang sudah peyok.  Dianjurkan memilih motif lain, Abbad bersikukuh memilih bola yang sama persis dengan milik mas-nya.

Jadilah mereka bermain bola di lapangan, di depan rumah, di dalam kamar....Suatu sore Akhsan mendekatiku menunjukkan salah satu bola yang sedikit lepas benang jahitnya.
"Bola siapa, Mas?" tanyaku
"Punya Abbad" Jawab Akhsan "Aku tempel stiker ya Bu" lanjutnya sambil menempelkan stiker bergambar harimau tepat di bagian bola yang lepas jahitan
"Sip !" Kataku sambil mengacungkan jempol "Mas perhatian sama adiknya" tambahku
Akhsan tampak tersipu malu

Malamnya kuceritakan pada suami soal bola jebol, kupikir dia tahu karena suamiku yang terakhir mengajak anak-anak main bola ke lapangan. Dan benar dia memang tahu, tahu sebuah kebenaran yang lumayan mengagetkanku.

"Loh...yang jebol itu bola Akhsan..." kata suamiku
Aku tercenung, bingung,...bingung karena :
  1. Ternyata aku tidak bisa membaca ekspresi Akhsan, apakah dia menyembunyikan sesuatu atau tidak. Sesuatu hal yang sangat mudah kukenali pada Sakha....tak berlaku untuk Akhsan
  2. Akhsan mulai pandai berintrik, menyembunyikan sesuatu, untuk kepentingan dirinya....dan mengorbankan orang lain.
Berembug dengan suami, kami panggil Akhsan...ngobrol bertiga sementara Sakha dan Abbad main di dalam kamar.  Suamiku menanyakan 'kebenaran' bola jebol itu. Dan Akhsan.....anakku yang manis itu....mengakui 'kebohongannya'.
Setelahnya aku dan Akhsan bersalaman dan berciuman, Akhsan minta maaf padaku telah berkata bukan yang sebenarnya dan berjanji tidak akan mengulanginya.....dan aku kembali tercenung.

Masukan dari suamiku, aku diminta lebih 'rasional' pada Akhsan.  Mungkin benar, melankoli yang kurasakan ketika mengandung Akhsan membuatku kadang merasa bersalah dan merasa harus terus menebus-dan menebus rasa bersalahku.

Oh Ibu.....aku masih harus banyak belajar menjadi IBU...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem