Kamis, 06 September 2012

MENJAGA PERASAAN

Pernah kubaca sebuah cerita tentang seorang pemimpin negara yang sedang menjamu para tamunya.  Di akhir jamuan, para pelayan membawa mangkuk kecil berisi  air hangat untuk tiap orang yang hadir. Air mangkuk itu dimaksudkan untuk mencuci tangan namun karena ketidaktahuannya seorang tamu (sebut saja A) meminum air dari mangkuk itu.  Tamu lain mulai berbisik-bisik menertawakan ketidaktahuan si A.  Tiba-tiba, dengan berwibawa si tuan rumah mengangkat mangkuknya sendiri sambil berkata "Mari bersulang !" dan meminum air dalam mangkuk cuci tangan. Seluruh tamu yang hadir, termasuk yang menertawakan si A ikut minum juga.
Aku tidak tahu kebenaran cerita ini, tapi dari cerita ini aku belajar tentang 'menjaga perasaan' dengan cara yang tidak biasa.

Kalau cerita yang berikut ini kisah nyata adanya, aku mengalaminya sendiri.  Aku (dan teman-teman sekantor) biasa makan siang di kantor. Disediakan makan parasmanan lauk sederhana di ruang makan.  Suatu siang,  tumben ruang makan masih sepi. Menyusul masuk ruang makan seorang teman, seorang Ibu berusia 50 tahun yang bekerja di lain bagian denganku.  Seperti biasa si Ibu mengambil nasi yang terletak setengah meter dari meja makan utama, begitu melihat lauknya Ibu ini mengurungkan niatnya untuk makan dan mengembalikan nasi ke tempat semula.  Tapi ia tidak segera meninggalkan ruang makan, namun tetap duduk di hadapanku dengan piring kosong di depannya.

"Tidak jadi makan, Bu?" tanyaku
"Nggak, nemani Mbak Anjas saja" selorohnya
"Kolesterol ya, Bu" Kataku sambil melirik menu yang terhidang
"He..he...menjaga Mbak, kan saya sudah tua" lanjutnya pelan merendahkan suara
"Pemeriksaan rutin-nya gimana?" lanjutku sok detektif menanyakan hasil pemeriksaan darah terakhir di kantor
"Bagus semua sih, tapi namanya menjaga...kan sudah nenek-nenek" lanjutnya

Pembicaraan kami terputus ketika petugas yang mengelola makan siang menambah lauk yang mulai berkurang.
"Nggak jadi makan to Bu...kenapa? Nggak cocok?" tanyanya
"Sudah kok, lha ini lho sudah" Kata Si Ibu menunjukkan piring kosong di depannya

Pembicaraan kami beralih ke soal anak, cuaca dan yang lain, tidak lagi membahas soal makanan. Ketika makanku sudah selesai, kami beriringan ke belakang untuk mencuci piring dan sendok yang kami pakai (Aturan tak tertulis yang berlaku untuk semua karyawan kantor)

"Monggo Ibu, saya duluan" pamitku mendahului si Ibu usai mencuci piring
"Monggo, Mbak..."

Sambil naik tangga menuju ruanganku aku berpikir : salut untuk  si Ibu yang menjaga perasaan pemasak, dia tidak mengajukan komplain soal menu makanan karena menghargai hasil pekerjaannya. (Sesuatu yang kerap kudengar dari beberapa pegawai yang menggerutu ini-itu soal makanan, tapi tetap saja lahap ketika makan).

Si Ibu ini maklum lebih banyak orang yang suka dengan menu makanan yang disajikan, ketika dia memutuskan untuk tidak makan itu merupakan konsekuensi dari pilihannya untuk tidak mengkonsumsi  makanan tertentu.

Keputusannya untuk tetap berada di meja makan dengan "waktu yang sewajarnya" untuk (seolah-olah) menghabiskan makan, sehingga tidak menimbulkan kesan ia tidak menyukai menu yang disajikan.

Siang itu, aku belajar dengan sederhana tentang menjaga perasaan orang lain

Ini gambar diambil dari sini

2 komentar:

  1. wah bener banget tuh mbak anjas, kebanyakan orang sekarang hanya menuntut dan menuntut orang lain untuk membuat/berbuat sesuatu sesuai selera dia, namun dia sendiri enggan bertenggang rasa kepada orang lain...
    ngerasa banget dg cerita diatas, karena dulu pernah punya pengalaman mengelola makan siang kantor, haddooooh... bapak2 ternyata juga gak kalah cerewet dg ibu2... hehheeee...
    [adha_bahagia]

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mas Adha, yuk belajar lagi menjaga perasaan orang lain, mulai dari yang sederhana di sekitar kita #memotivasi diri sendiri#...btw, baru sadar ya kalo banyak pria nyinyir..? kaboooor...

      Hapus

Jangan Asem