Aku ingat betul tulisan itu (tanpa sensor tentu saja) yang
membuat aku dihukum untuk pertama kalinya di sekolah.
Aku, anak kecil cemerlang kebanggaan sekolah (halah)...jatuh
martabat karena dua kata itu. He he tentu saja aku tidak berpikir tentang
martabat atau kehormatan apapun pada waktu itu, murni keisengan anak kecil yang
menemukan sepotong kapur merah dan membutuhkan pelampiasan emosi sesaat.
Kata pertama adalah nama salah seorang temanku di kelas 2 SD,
kata kedua adalah kata dalam bahasa jawa
yang berarti ngaco, sableng alias tidak normal pikirannya. Sekarang aku tidak
habis pikir, kok bisa-bisanya aku menggabungkan kedua kata itu.
Seingatku teman
yang namanya kutulis itu bukan termasuk dalam kategori anak yang usil, bandel dan
suka bikin onar dalam kelas. Dia itu anak yang anteng, pendiam dan tidak neko-neko. Bisa jadi pikiran anak
kecilku menerjemahkan bahwa anak yang ‘manis menurut kacamata orang tua’ adalah
anak kecil yang aneh dan gemblung (#eh gak disensor).
Dua hari setelah membubuhkan tulisan di tembok belakang
kantor guru (nah kan, kenapa pula waktu
itu aku pilih tulis di tembok belakang kantor...tidak di WC yang lumayan di
luar jangkauan), aku dipanggil wali kelasku Bu Tri. Rupanya para guru sudah menyelidiki siapa seniman
di balik tulisan aneh itu dan dari laporan sana-sini, mengerucutlah
tersangkanya kepadaku.
Mungkin Bu Tri kaget juga dengan ke-gemblungan-ku menulis di
tembok, dan menyiapkan sebuah hukuman yang cukup intelek buat aku, murid imut
kebanggaannya (halah...lagi).
Aku disuruh menulis di selembar kertas dengan kalimat “Aku
tidak akan nakal lagi” sebanyak sepuluh baris.
Ah, gampang pikirku, sejak TK aku sudah piawai menulis, jadi hukuman
semacam ini tidak akan membuatku jera (h hi hi, keluar tanduk di kepala).
Yang membuat aku bingung adalah ketika Bu Tri menyuruhku
meminta tanda tangan Ibu ku di akhir tulisan hukuman itu. What, this is the end of my life! Ibu ku juga guru SD, tapi tidak sama dengan SD
tempat aku bersekolah, itu sengaja dilakukan ibu agar aku (dan kakak-kakakku)
lebih mandiri dan tidak berada di bawah bayang-bayang ibu.
Rupanya ini cara Bu
Tri memberitahukan secara tidak langsung kepada Ibuku “Ini lho Bu,
anaknya...tolong dididik ya, masak anak guru kok gak bisa kasih contoh yang
baik”
Memutar otak, bagaimana aku bisa menjalankan hukuman dengan
lancar tanpa tambahan nasehat panjang dari Ibu jika beliau tahu ‘kenakalanku’.
Waktu tiga hari yang diberikan Bu Tri untuk menyelesaikan tulisanku tinggal
sehari lagi, membawa selembar kertas kosong dan sebatang pulpen aku mendekati
ibu.
“Bu, minta tanda tangan” ujarku dengan usaha keras mengatur
nada suaraku senormal mungkin
“Buat apa?” Ibu menerima kertas dan pulpen yang kuangsurkan
“Anjas mau koleksi tanda tangan, Ibu tanda tangan di sini
ya.” Aku menunjuk titik di kertas itu yang sudah kuhitung akan tepat berada di
bawah 10 baris tulisan hukumanku nanti (asli aku gemetar waktu itu, berbohong
pada Ibu)
Ibu membubuhkan tanda tangan dan bertanya “Mau minta tanda
tangan Bapak nggak? Kan untuk koleksi? Semakin banyak semakin baik” Imbuh Ibu
siap memanggil Bapak
“Mboten Bu, ini
koleksi khusus ibu-ibu” Ujarku sambil berlalu (nah lo, menutup kebohongan
dengan kebohongan)
Terbirit-birit aku ke kamar menyelipkan kertas itu di bukuku
dan mulai menuliskan 10 baris ‘aku tidak akan nakal lagi’. Karena kamar itu
adalah kamar bersama, aku sangat hati-hati dan waspada melihat situasi, jangan
sampai kakak-kakaku (yang 7 orang itu) ada yang tahu kalau aku mendapat
hukuman. Selesai menulis, aku lega
memandang lembar kertas yang siap kuserahkan ke Bu Tri esok pagi.
Seminggu lebih berlalu dengan aman sentosa sodara, sampai
suatu hari sepulang dari pertemuan
guru-guru SD Ibuku bertanya perihal insiden ‘J*na*di gemblung’ itu. Rupanya,
Ibu dan Bu Tri bertemu dan mereka membahas tentang aku....Huwaaaaa.
Tidak ada ekspresi marah dari Ibu, tidak
karena aku mempermalukan Ibu, tidak karena aku sudah membohongi beliau. Justru itu yang membuatku merasa sangat
menyesal melakukan hal konyol, aneh dan nggak penting seperti itu yang membuat aku
harus berbohong kepada Ibu.

Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus