Kamis, 20 Februari 2014

J*NA*DI G*MBL*NG

Aku ingat betul tulisan itu (tanpa sensor tentu saja) yang membuat aku dihukum untuk pertama kalinya di sekolah.

Aku, anak kecil cemerlang kebanggaan sekolah (halah)...jatuh martabat karena dua kata itu. He he tentu saja aku tidak berpikir tentang martabat atau kehormatan apapun pada waktu itu, murni keisengan anak kecil yang menemukan sepotong kapur merah dan membutuhkan pelampiasan emosi sesaat.

Kata pertama adalah nama salah seorang temanku di kelas 2 SD, kata kedua  adalah kata dalam bahasa jawa yang berarti ngaco, sableng alias tidak normal pikirannya. Sekarang aku tidak habis pikir, kok bisa-bisanya aku menggabungkan kedua kata itu.

Seingatku teman yang namanya kutulis itu bukan termasuk dalam kategori anak yang usil, bandel dan suka bikin onar dalam kelas. Dia itu anak yang anteng, pendiam dan tidak neko-neko. Bisa jadi pikiran anak kecilku menerjemahkan bahwa anak yang ‘manis menurut kacamata orang tua’ adalah anak kecil yang aneh dan gemblung (#eh gak disensor).

Dua hari setelah membubuhkan tulisan di tembok belakang kantor  guru (nah kan, kenapa pula waktu itu aku pilih tulis di tembok belakang kantor...tidak di WC yang lumayan di luar jangkauan), aku dipanggil wali kelasku Bu Tri.  Rupanya para guru sudah menyelidiki siapa seniman di balik tulisan aneh itu dan dari laporan sana-sini, mengerucutlah tersangkanya kepadaku.

Mungkin Bu Tri kaget juga dengan ke-gemblungan-ku menulis di tembok, dan menyiapkan sebuah hukuman yang cukup intelek buat aku, murid imut kebanggaannya (halah...lagi).

Aku disuruh menulis di selembar kertas dengan kalimat “Aku tidak akan nakal lagi” sebanyak sepuluh baris.  Ah, gampang pikirku, sejak TK aku sudah piawai menulis, jadi hukuman semacam ini tidak akan membuatku jera (h hi hi, keluar tanduk di kepala).

Yang membuat aku bingung adalah ketika Bu Tri menyuruhku meminta tanda tangan Ibu ku di akhir tulisan hukuman itu. What, this is the end of my life!  Ibu ku juga guru SD, tapi tidak sama dengan SD tempat aku bersekolah, itu sengaja dilakukan ibu agar aku (dan kakak-kakakku) lebih mandiri dan tidak berada di bawah bayang-bayang ibu. 

Rupanya ini cara Bu Tri memberitahukan secara tidak langsung kepada Ibuku “Ini lho Bu, anaknya...tolong dididik ya, masak anak guru kok gak bisa kasih contoh yang baik”

Memutar otak, bagaimana aku bisa menjalankan hukuman dengan lancar tanpa tambahan nasehat panjang dari Ibu jika beliau tahu ‘kenakalanku’. Waktu tiga hari yang diberikan Bu Tri untuk menyelesaikan tulisanku tinggal sehari lagi, membawa selembar kertas kosong dan sebatang pulpen aku mendekati ibu.

“Bu, minta tanda tangan” ujarku dengan usaha keras mengatur nada suaraku senormal mungkin
“Buat apa?” Ibu menerima kertas dan pulpen yang kuangsurkan
“Anjas mau koleksi tanda tangan, Ibu tanda tangan di sini ya.” Aku menunjuk titik di kertas itu yang sudah kuhitung akan tepat berada di bawah 10 baris tulisan hukumanku nanti (asli aku gemetar waktu itu, berbohong pada Ibu)

Ibu membubuhkan tanda tangan dan bertanya “Mau minta tanda tangan Bapak nggak? Kan untuk koleksi? Semakin banyak semakin baik” Imbuh Ibu siap memanggil Bapak
Mboten Bu, ini koleksi khusus ibu-ibu” Ujarku sambil berlalu (nah lo, menutup kebohongan dengan kebohongan)

Terbirit-birit aku ke kamar menyelipkan kertas itu di bukuku dan mulai menuliskan 10 baris ‘aku tidak akan nakal lagi’. Karena kamar itu adalah kamar bersama, aku sangat hati-hati dan waspada melihat situasi, jangan sampai kakak-kakaku (yang 7 orang itu) ada yang tahu kalau aku mendapat hukuman.  Selesai menulis, aku lega memandang lembar kertas yang siap kuserahkan ke Bu Tri esok pagi.

Seminggu lebih berlalu dengan aman sentosa sodara, sampai suatu hari  sepulang dari pertemuan guru-guru SD Ibuku bertanya perihal insiden ‘J*na*di gemblung’ itu. Rupanya, Ibu dan Bu Tri bertemu dan mereka membahas tentang aku....Huwaaaaa.  

Tidak ada ekspresi marah dari Ibu, tidak karena aku mempermalukan Ibu, tidak karena aku sudah membohongi beliau.  Justru itu yang membuatku merasa sangat menyesal melakukan hal konyol, aneh dan nggak penting seperti itu yang membuat aku harus berbohong kepada Ibu. 


Jika mengingat kejadian  itu dan  melihat coretan anak-anakku sekarang di tembok rumah, aku bersyukur karena ‘konten’ yang di tulis anak-anak  jauuuuh lebih baik dari ibunya dulu.



1 komentar:

Jangan Asem