Cerita ini terjadi beberapa waktu lalu, di bulan Desember 2010.
Berawal dari kegiatan PKL Sakha ke pasar hewan bersama teman-teman dan ustadzah sekolahnya.
Berbekal
uang 20 ribu rupiah (nominal maksimal yang diperbolehkan dibawa ke
pasar), Sakha pulang membawa seekor kelinci putih kecil.
Kelinci yang kemudian sepakat dinamai 'rabito' oleh Sakha dan adik-adiknya langsung menjadi favorit baru.
Bergantian
mereka memberi makan dengan kangkung dan wortel, memangkunya, mengajak
bermain di depan rumah sambil dibiarkan makan sedikit rumput yang mulai
menyembul di antara paving block.
Untuk urusan membersihkan kandang, menjadi tugas Sakha (sang pemilik utama).
Tiap
pagi sebelum mandi, Sakha akan menenteng kandang rabito, mengambil
bagian bawah kandang yang sudah penuh berisi air kencing (yang alamak
banyaknya untuk hewan sekecil rabito), dan kotoran bulat kecil hitam.
Kotoran
itu dibuang ke sawah di depan rumah - yang khusus di area itu menjadi
tampak lebih subur dibanding padi di sekitarnya - wekeke, hiperbolis
deeh....
Selesai membuang kotoran, Sakha menuju pancuran
belakang rumah untuk menyikat kandang dan membersihkannya dari sisa-sisa
kotoran yang menempel. Setelahnya, rabito dimasukkan kembali ke kandang
yang sudah bersih lengkap dengan seikat kangkung dan sebuah wortel.
(Urusan makanan jadi bagianku untuk tiap hari memasukkan tiga ikat
kangkung dan tiga biji wortel dalam daftar belanja di tempat si mamang
sayur langganan- Wah, sehari anggaran buat rabito 3ribu, rasanya kok ya
eman-eman untuk binatang kecil yang tidak produktif itu.
Tapi
melihat kesungguhan Sakha merawatnya dan keceriaan anak-anak saat
bermain dengannya....aku ikuti saja lah proses pemeliharaan ini.
Masuk
hari kesepuluh, Sakha kelelahan dan mulai jemu, bermain dengan rabito
masih menyenangkan....tapi bagian membersihkan kandang mulai dilewatinya
dengan bersungut-sungut.
Sampai hari keduabelas Sakha menyerah
" Ibu...aku capek ngurusi rabito", katanya suatu malam
" terus gimana?" pancingku (dengan sorakan kecil di hati...lega hehehe)
"
Punya mas irvan udah mati, punya mbak mesta dah disate" lanjut sulungku
dengan hati-hati menceritakan nasib peliharaan teman-temannya (dan aku
mulai menebak-nebak arah pikirannya)
" Kayaknya ibu nggak sanggup
kalo disuruh masak rabito deh kak, nggak tega " aku pasang kuda-kuda,
membayangkan binatang kecil mirip kucing bertelinga panjang itu berakhir
di penggorengan.
"Aku juga nggak mau makan rabito" jawab Sakha dengan wajah ngeri
"Mhmmm....gimana
kalo kita kasih rabito ke orang yang mau ngurusi, siapa gitu..." usulku
gak yakin (ada nggak ya yang mau mengadopsi si putih ini?)
"Ah, masak dikasih ke orang...terus uangku yang 20 ribu balik gak?" Sakha mendelik
"Ya, enggak dong Kak, kan dikasih nggak dijual" (dikasih aja belum tentu ada yang mau, apalagi disuruh beli batinku)
Sakha
akhirnya memutuskan untuk menjual kembali ke si penjual asli dimana dia
membeli rabito di pasar hewan. Aku menyetujuinya setelah memastikan
Sakha betul-betul masih ingat tempat dan wajah si penjual. Kami sepakat
menjual kembali rabito setelah penerimaan rapot dengan rute rumah -
sekolah - pasar hewan.
Hari penerimaan rapot, dua hari
setelah pembicaraan kami. Pagi-pagi kami berkemas, rabito beserta
kandang ikut serta. Jam 10.30 penerimaan rapot selesai, berlima kami
menuju tempat parkir berencana segera meluncur ke pasar hewan.
Saat membuka pintu, Sakha berteriak "Ibu....rabito kenapa"
Segera
bapak mengambil kandang rabito, mengeluarkan hewan malang yang
kepanasan selama 2,5 jam. Binatang putih kecil itu basah berkeringat
(atau apalah namanya) menggigil di dalam kandang.
Dengan hati-hati
suamiku mengeluarkan rabito dan melepaskannya di lapangan berumput yang
menjadi lahan parkir. Sakha, Akhsan melihat dengan tatap kasihan, aku
menggendong Abbad dalam sesal tak meletakkan kandang di luar mobil.
Kami tunggu lima menit sampai akhirnya rabito mengendus rumput disekitarnya dan mulai mau makan.
"Gak papa kak, itu sudah mau makan lagi....jadi kita bawa ke pasar?" tanyaku
"Kasihan Bu, kita bawa pulang lagi saja" Sakha sudah hampir menangis
Aku sebenarnya juga tak yakin, apakah ada yang mau menerima kembali rabito dalam kondisi basah kuyup seperti itu.
Akhirnya
rabito kami bawa kembali pulang ke rumah, dengan catatan setelah pulih
nanti kami akan cari waktu luang untuk menjualnya kembali.
Rabito
ikut berlibur ke Magelang, dua hari disana aku, suami dan Abbad kembali
ke Jogja sementara Sakha dan Akhsan tetap berlibur di rumah budhe-nya.
Rabito yang sudah pulih kubawa serta dengan pesan dari Sakha agar kami
menjualnya ke pasar hewan.
Lima hari di Jogja tanpa Sakha
dan Akhsan, rabito tetap di kandangnya, aku dan suami bergantian
membersihkan kandang dan memberi makan. (Kali ini kubersihkan kandang
dan kuberi makan dengan penuh cinta, melampiaskan rasa rinduku kepada
Sakha dan Akhsan).
Usai berlibur di rumah eyang, kami
jemput anak-anak dari Magelang yang mendapat kejutan yang membahagiakan
karena melihat rabito masih ikut serta menjemput mereka. Aku mengatakan
kalau proses menjual kembali harus bersama Sakha yang membelinya.
Singkat
cerita kami ke pasar hewan, si ibu penjual menolak membeli rabito dan
mengatakan tidak pernah menjualnya kepada Sakha (tapi aku tetap percaya
kepada Sakha yang yakin betul ibu itu penjualnya, dikuatkan dengan
cerita para pedagang di kios sekitarnya yang kutanya dan menjawab dengan
seragam "rombongan anak SD belinya di kios ibu tadi")
Menawarkan
kesana dan kesini akhirnya rabito terjual 25ribu beserta kandangnya
(kandang hamster yang dibeli seharga 80ribu)....Kata si pedagang, lebih
berharga kandangnya, rabito sendiri akan dijual kembali tidak sebagai
kelinci peliharaan tapi untuk pakan ular sanca.
Dengan
berat hati, kami melepas rabito dan kandangnya (tapi daripada tiap hari
melihat Sakha bersungut membersihkan kandang dan aku bersungut membeli
kangkung sepertinya keputusan ini yang paling mungkin). Memberi
pelajaran baru untuk anak-anak, tidaklah mudah bertanggungjawab terhadap
sebuah kehidupan sekecil apapun makhluknya.
Dan 21 hari rabito mencari cinta, berujung di mulut ular sanca......selamat jalan rabito
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Kemarin membaca surat elektronik seorang warga Jogja untuk Pak Wali tentang Pelecehan di Balaikota yang lengkapnya ada di sini . Sempat me...
-
Pernahkah anda (dengan iseng atau sengaja) memperhatikan bentuk kepala orang ? Sebelumnya, aku tak pernah serius memperhatikan kepala oran...
-
'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah' SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya. Segera s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar