"De Anjas nggak pernah marah ya....?"
Itu komentar setengah bertanya dari seorang tetangga rumah dulu saat aku baru punya anak satu.
Kala itu aku mengiyakan dengan diskusi lanjutan tentang bagaimana mengelola emosi ketika berhadapan dengan anak.
Waktu itu, sebagai ibu baru aku berusaha mempraktekkan segala teori yang menurutku benar tentang pola pengasuhan anak.
Misalnya teori tentang memberikan kesempatan, aku biarkan Sakha kecil bereksplorasi, asal tidak berbahaya, kusengaja melepasnya.
Jika sekiranya ada kemungkinan mencelakakan Sakha, aku melindungi dengan tidak mengurangi ruang gerak anakku..
Misalnya...saat Sakha belajar merangkak, aku ikuti saja, ketika mendekati barang-barang yang agak berbahaya seperti pinggiran meja yang tajam aku akan menutupi kayu atau kaca itu dengan tanganku, membiarkan Sakha lewat sambil berkata padanya
"Hati-hati ya Ka, kalau kepalanya kebentur ini sakit"
Meskipun saat itu Sakha belum bisa bicara dan aku belum terlalu yakin dia memahami semua ucapanku.
Hal lain yang kucoba praktekkan adalah berusaha selalu menggunakan kalimat positif, menghindari pilihan kata negatif seperti 'jangan', 'tidak boleh', 'cengeng','nakal' dan sejenisnya.
Misalnya saat Sakha berusaha menggunting puzzle busa-nya, aku lebih memilih mengatakan :
"Nak, puzzlenya kita susun aja yuk...bergantian, ibu sama Sakha."
Ketika Sakha menolak dan tetap menggunakan guntingnya, akan aku alihkan dengan
"Sakha mau main gunting, yuk ibu ambilkan kertas...puzzlenya kita simpan dulu untuk mainan besok"
Mhm.....mengingat saat itu sungguh iiiinnnnnddaaaahhhh.........
Full time di rumah, berdua dengan Sakha (Bapaknya kerja di kota yang berbeda), ku jadikan Sakha sahabatku, kesayanganku dan tentu saja partner utama mengasah kemampuanku menjadi seorang ibu yang (kuharap) bisa menjadi madrasah pertama, terbaik dan terindah untuk anaknya.
Waktu ini, saat anakku sudah tiga. Kalau pertanyaan serupa diajukan kepadaku, jawabannya adalah :
"Ahhhh....ngejek nih !"
Aku berubah buanyak, tidak ke arah positif tapi justru sebaliknya...tidak menjadi lebih baik.
Elastisitas kesabaranku menurun, kemampuanku mengendalikan emosi ketika menghadapi tingkah polah anak-anak mengendur.
Tentu saja aku berusaha membela diri dengan mengatakan dalam hatiku, wajarlah....aku kan capek, punya tiga anak (dua diantaranya balita) adalah kerepotan yang luar biasa.
Pekerjaan kantor yang (sepertinya) cuma mengetik di depan layar monitor nyatanya menguras energi dan kadang mengganggu emosi jiwa (hiii...segitunya).
Tetapi sesal selalu mendatangi seusai aku mengeluarkan pilihan kata yang tidak tepat, dan memberikan ekspresi yang tidak pantas kepada anak-anak.
Saat suasana sudah reda (setelah badai pertengkaran atau "kengeyelan" anak-anak), aku sering berpikir...
"Kalau aku bicara dengan wajah yang lebih manis, kalimat yang lebih halus...tentunya hasilnya akan lebih baik"
Tidak ada wajah kecut anak-anak mendengar nada tinggi suara ibunya.
Tidak ada hati bersih anak-anak yang tersakiti dengan ekspresi marah di wajah ibunya.
Tidak ada kelelahan yang luar biasa dalam hati ibu tiap usai rasa marah itu.
Berusaha sekuat tenaga, dalam satu pekan ini aku mengendalikan emosi dengan sepenuh hati.
Begitu bertemu anak-anak, kulupakan segala pekerjaan di kantor, pekerjaan sambilan berikut persoalan yang menyertainya.
Tak kusentuh hal-hal yang tak berujung pada kemaslahatan anak-anak.
Ketika di rumah, aku berusaha full menyediakan diri untuk anak-anak.
Mendongeng dengan boneka sampai ketiganya (Abbad sudah bisa menikmati dongengku lho...) terbawa emosi, ikut tegang atau terpingkal-pingkal.
Mendengarkan celoteh cerita seharian mereka bersama teman-teman, makan, bergelut, dan bercanda.
Singkatnya, berusaha mengembalikan energi agar bisa menjadi lebih baik dari yang sudah-sudah.
Keinginan kuatku untuk memperbaiki diri sejujurnya datang saat Akhsan menggambar sesuatu di kertas, saat ditanya apa yang dia gambar...dijawab
"Ini Ibu kalau marah"
Deg ! sedih betul aku mendengarnya, beberapa saat sebelumnya memang aku berucap dengan nada tinggi meminta Akhsan bersegera menyelesaikan aktivitas main airnya setelah BAB (Sesuatu yang sebenarnya bisa kulakukan dengan lebih manis dan santun)
Ketika Akhsan menyodorkan gambarnya, kuberikan senyum termanis dan ucapan terimakasih untuk karyanya.
Janji dalam hatiku untuk memperbaiki diri, dan bersyukur memandang gambar Akhsan berjudul "wajah ibu kalau marah" yang (menurutku) masih tampak indah.
Aku sudah membayangkan gambar dari Akhsan adalah wajah seramku dengan gigi bertaring dan kepala bertanduk.....Hiiii...
Selasa, 28 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Kemarin membaca surat elektronik seorang warga Jogja untuk Pak Wali tentang Pelecehan di Balaikota yang lengkapnya ada di sini . Sempat me...
-
Pernahkah anda (dengan iseng atau sengaja) memperhatikan bentuk kepala orang ? Sebelumnya, aku tak pernah serius memperhatikan kepala oran...
-
'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah' SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya. Segera s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar