Rabu, 29 Februari 2012

4000/25, 3400/18, 4150/15

“Aduh…kurus banget sih!“
“Kok gak bisa gemuk…apa resepnya?“
Pertanyaan seperti itu sungguh seringnya menyapaku.
Hampir semua orang berpendapat sama, aku tak bisa gemuk.
Sebagian besar bertanya apa rahasianya, sebagian lagi (sepertinya) merasa kasihan aku tampak kurus karena kelelahan mengurus pekerjaan berikut rumah seisinya.

Sungguh aku tak punya resep istimewa menjaga berat badan, tak ada kata berpantang dalam daftar menuku (syarat dan ketentuan syar’I berlaku) . Untuk ukuran jumlah, porsiku di atas rata-rata . Kalau dibandingkan dengan suamiku, makanku jelas lebih banyak dan frekuensinya lebih sering, tapi nampaknya jumlah dan frekuensi itu tak berbanding lurus dengan kenaikan berat badanku.
Berat badanku sekarang berkisar antara 42-44 kg saja, kalau ada yang bertanya berapa barat badan maksimal yang pernah kualami, jawabnya enam puluh lima kilogram, gendut ya?….begini ceritanya.

Aku mulai dari penjelasan tentang deretan angka di judul tadi. Deretan pembilang (angka sebelum garis miring dengan empat digit) adalah Berat Badan Lahir anak-anakku dalam satuan gram sedangkan deretan penyebut (angka setelah garis miring dengan dua digit) adalah kenaikan berat badanku selama hamil dalam satuan kilogram.

Ya, saat hamil anak pertama berat badanku meroket naik dari semula 40 kg di awal kehamilan, menjadi 65 kg menjelang melahirkan, saat hamil anak kedua naik drastis dari yang semula 42 kg menjadi 60 kg dan saat hamil anak ketiga melonjak dari semula 40 kg menjadi 55 kg.
Kalau pake logika sederhana (bahasa jawa=cara bodhon), mestinya berat lahir bayiku akan berbanding lurus dengan kenaikan berat badan ibunya….tapi ternyata tidak ya. Aku coba menceritakan penyebabnya (tentu saja sebatas sepengetahuanku lho, yang mau memberikan kritik, saran, pemberitahuan tentang sebab-musabab yang lebih ilmiah dan masuk akal, maturnuwun sekali).

Saat hamil pertama kondisi seperti pada umumnya perempuan yang hamil muda aku rasakan. seperti mual, eneg, morning sick, males, dll. Tapi, meskipun bau asap masakan sempat memabukkanku (baca=mabuk kalo disuruh masak), tapi selera makanku tidak berubah. Jenis masakan apa saja aku tak berpantang, hanya cenderung suka yang asem, kalo makan sayur ya dikasih tomat banyak-banyak biar berasa kuecuuut.

Setelah trimester pertama terlewati, selera (baca=nafsu) makanku menjadi-jadi (nggegirisi orang jawa bilang) Rasa lapar terus mendera, dalam sehari aku bisa makan lima kali, yah.. lima kali dengan porsi orang normal biasa (satu piring nasi lengkap dengan sayur dan lauknya)…kadang kala diantara lima kali makan itu, bila perut terasa perih, aku ngemil juga, dan cemilanku adalah sesendok dua sendok nasi putih hangat (karbohidrat, karbohidrat dan karbohidrat)
Setiap kali periksa, dokter sudah mengingatkanku untuk mengurangi makan minum manis dan mengerem makan nasi….tapi apa hendak dikata, remnya gak pakem, blong malah.
Satu minggu menjelang kelahiran, saat USG perkiraan Berat Bayinya ‘cuma’ 3150 gram….aku pikir waktu itu “Tak apalah, tak terlalu besar” dan kebiasaan makanku tak beralih dari kategori “gusto”.
Saat Sakha lahir (Bagaimana prosesnya, akan aku ceritakan di tulisanku yang lain ), semua terkaget-kaget, 4000 gram, empat kilogram, anak pertama lahir dari seorang ibu yang badannya cuma lebih dua senti dari 1,5 meter.

Tapi tak apa, toh semuanya baik saja, Sakha lahir spontan dan tiga hari sepulang dari rumah sakit, berat badanku tinggal 55 kg alias turun 10 kg dari sesaat sebelum melahirkan.
Lain lagi cerita saat aku hamil Akhsan, anak kedua. Waktu itu aku lebih berhati-hati memilih makanan dan minuman. Aku berusaha menahan diri sekuat tenaga untuk mengatur asupan karbohidratku. Aku makan dengan porsi sedang tiga kali saja dalam sehari, minumku hanyalah air putih lebih dari satu setengah liter sehari. Susu ibu hamil tak setiap hari aku minum. Cemilan penahan lapar aku upayakan diganti dengan buah.

Ada teori yang mengatakan ibu hamil harus makan 4-5 kali sehari atau satu kali lebih banyak dari sebelum hamil dan diselingi dua kali makan cemilan kacang-kacangan, namun dengan pengalaman yang lalu, makanan yang kukonsumsi “lari” semua ke bayiku….aku berusaha menjaga diri.
Hasilnya, alhamdulillah Akhsan lahir dengan berat ‘hanya 3400 gr’ sehat dan dimudahkan dalam persalinan spontan. Tak sampai enam bulan setelah melahirkan, berat badanku sudah kembali pada kisaran angka normal 40-44 kg saja.

Saat hamil Abbad, anak ketiga. Prinsip kehati-hatian yang kupakai saat hamil Akhsan kembali kulakukan. Sampai minggu ke 34, semua berjalan baik saja. Memasuki minggu ke-35, perutku tak berhenti kontraksi. Kondisi darurat aku periksakan ke dokter kandungan dekat rumah, aku mendapat pil pereda kontraksi dan dianjurkan untuk bedrest di rumah.
Anjuran dokter aku lakukan, tapi tentu saja bedrest total tak dapat kulakukan. Dua kurcaci kecil-ku membutuhkan perhatian, meskipun saat itu suamiku sudah meluangkan waktu untuk mengurusi keduanya.

Dua hari bedrest di rumah tak berhasil, malam ketiga kontraksi menghebat, paginya setelah anak-anak berangkat sekolah dengan rasa sakit tak tertahankan aku diantar ke rumah sakit.
Saat itu ternyata aku sudah buka-5, karena usia kehamilanku belum mencukupi, dan ukuran bayiku masih terlalu kecil, dokter menganjurkan untuk mempertahankan bayiku agar tidak lahir prematur.
Alhasil aku harus bedrest total di rumah sakit. Dua hari di rumah sakit dan kandunganku sudah membaik, aku pulang ke rumah dengan pesan serius untuk tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat.
Akhirnya, aku mengambil cuti lebih awal dari rencana dan memanfaatkan betul waktu itu untuk beristirahat.

Saat jeda waktu itulah, aku tak lagi mengindahkan aturan makan yang aku patuhi sebelumnya. Saat rasa lapar hadir, aku melahap yang ingin kumakan.
Saat itu yang ada dalam pikiranku “Tak apalah, toh saat terakhir periksa besar bayiku masih dalam hitungan normal”
Rasa laparku kuhilangkan dengan makan dan makan, seperti saat kehamilan pertama dulu.
Akhirnya, mundur satu hari dari perkiraan lahirnya. Si kecil Abbad lahir dengan ukuran yang tidak kecil. 4150 gram…

Belum lagi sampai usia Abbad 4 bulan, berat badanku sudah kembali ke kisaran 40-44 kg. Sampai-sampai tiap kali aku membawa Abbad, komentar yang sering muncul adalah “Walah…anaknya guendut kok ibunya kurus, kasian banget nggendongnya !”
Dan kembali pertanyaan seputar “rahasia” menurunkan berat badan selalu ditanyakan.
Sejujurnya aku tidak bisa memberi jawaban pasti, hanya beberapa kemungkinan yang bisa jadi menjadi penyebabnya :
- Bisa jadi karena aku menyusui anak-anakku (ASI eksklusif untuk Sakha selama 6 bulan, Akhsan 4 bulan dan Abbad 5 bulan), kemudian melanjutkan tetap menyusui sambil memberi mereka P-ASI sampai usia menjelang 2 tahun…karena setelahnya aku langsung hamil (lagi).

- Mungkin karena meskipun ada asisten (baca=pembantu) di rumah, aku bukan model orang yang duduk diam memangku bayiku. Apa yang bisa kubantu kerjakan, pasti aku kerjakan.

- Atau, kalau ada yang menyanggah bahwa point satu dan dua di atas sudah pula mereka kerjakan tapi badan tetap melar….jawaban paling mudah adalah, Jatah badanku dari Alloh memang seperti ini. Lain ladang lain belalang, lain orang lain berat badan.

Bagaimanapun aku mensyukuri apa yang diberikan untukku, buat yang berbodi bule (meminjam istilah de’ Pama untuk menghaluskan kata “subur”), asal sehat tak apalah agak subur…karena dari lubuk hatiku yang paling dalam sebenarnya aku pengen juga badanku agak “berisi”. Halah….tetep “rumput tetangga nampak lebih hijau dari rumput sendiri”

Ada yang memberi saran “Kalau ingin gemuk, hamil lagi aja…”
Aku jawab dengan wajah setengah serius setengah blo’on “MAKSUDNYA..?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem