“Aduh…kurus banget sih!“
“Kok gak bisa gemuk…apa resepnya?“
Pertanyaan seperti itu sungguh seringnya menyapaku.
Hampir semua orang berpendapat sama, aku tak bisa gemuk.
Sebagian
besar bertanya apa rahasianya, sebagian lagi (sepertinya) merasa
kasihan aku tampak kurus karena kelelahan mengurus pekerjaan berikut
rumah seisinya.
Sungguh aku tak punya resep istimewa menjaga
berat badan, tak ada kata berpantang dalam daftar menuku (syarat dan
ketentuan syar’I berlaku) . Untuk ukuran jumlah, porsiku di atas
rata-rata . Kalau dibandingkan dengan suamiku, makanku jelas lebih
banyak dan frekuensinya lebih sering, tapi nampaknya jumlah dan
frekuensi itu tak berbanding lurus dengan kenaikan berat badanku.
Berat
badanku sekarang berkisar antara 42-44 kg saja, kalau ada yang bertanya
berapa barat badan maksimal yang pernah kualami, jawabnya enam puluh
lima kilogram, gendut ya?….begini ceritanya.
Aku mulai dari
penjelasan tentang deretan angka di judul tadi. Deretan pembilang (angka
sebelum garis miring dengan empat digit) adalah Berat Badan Lahir
anak-anakku dalam satuan gram sedangkan deretan penyebut (angka setelah
garis miring dengan dua digit) adalah kenaikan berat badanku selama
hamil dalam satuan kilogram.
Ya, saat hamil anak pertama berat
badanku meroket naik dari semula 40 kg di awal kehamilan, menjadi 65 kg
menjelang melahirkan, saat hamil anak kedua naik drastis dari yang
semula 42 kg menjadi 60 kg dan saat hamil anak ketiga melonjak dari
semula 40 kg menjadi 55 kg.
Kalau pake logika sederhana (bahasa
jawa=cara bodhon), mestinya berat lahir bayiku akan berbanding lurus
dengan kenaikan berat badan ibunya….tapi ternyata tidak ya. Aku coba
menceritakan penyebabnya (tentu saja sebatas sepengetahuanku lho, yang
mau memberikan kritik, saran, pemberitahuan tentang sebab-musabab yang
lebih ilmiah dan masuk akal, maturnuwun sekali).
Saat hamil
pertama kondisi seperti pada umumnya perempuan yang hamil muda aku
rasakan. seperti mual, eneg, morning sick, males, dll. Tapi, meskipun
bau asap masakan sempat memabukkanku (baca=mabuk kalo disuruh masak),
tapi selera makanku tidak berubah. Jenis masakan apa saja aku tak
berpantang, hanya cenderung suka yang asem, kalo makan sayur ya dikasih
tomat banyak-banyak biar berasa kuecuuut.
Setelah trimester
pertama terlewati, selera (baca=nafsu) makanku menjadi-jadi (nggegirisi
orang jawa bilang) Rasa lapar terus mendera, dalam sehari aku bisa makan
lima kali, yah.. lima kali dengan porsi orang normal biasa (satu piring
nasi lengkap dengan sayur dan lauknya)…kadang kala diantara lima kali
makan itu, bila perut terasa perih, aku ngemil juga, dan cemilanku
adalah sesendok dua sendok nasi putih hangat (karbohidrat, karbohidrat
dan karbohidrat)
Setiap kali periksa, dokter sudah mengingatkanku
untuk mengurangi makan minum manis dan mengerem makan nasi….tapi apa
hendak dikata, remnya gak pakem, blong malah.
Satu minggu menjelang
kelahiran, saat USG perkiraan Berat Bayinya ‘cuma’ 3150 gram….aku pikir
waktu itu “Tak apalah, tak terlalu besar” dan kebiasaan makanku tak
beralih dari kategori “gusto”.
Saat Sakha lahir (Bagaimana
prosesnya, akan aku ceritakan di tulisanku yang lain ), semua
terkaget-kaget, 4000 gram, empat kilogram, anak pertama lahir dari
seorang ibu yang badannya cuma lebih dua senti dari 1,5 meter.
Tapi
tak apa, toh semuanya baik saja, Sakha lahir spontan dan tiga hari
sepulang dari rumah sakit, berat badanku tinggal 55 kg alias turun 10 kg
dari sesaat sebelum melahirkan.
Lain lagi cerita saat aku hamil
Akhsan, anak kedua. Waktu itu aku lebih berhati-hati memilih makanan
dan minuman. Aku berusaha menahan diri sekuat tenaga untuk mengatur
asupan karbohidratku. Aku makan dengan porsi sedang tiga kali saja dalam
sehari, minumku hanyalah air putih lebih dari satu setengah liter
sehari. Susu ibu hamil tak setiap hari aku minum. Cemilan penahan lapar
aku upayakan diganti dengan buah.
Ada teori yang mengatakan ibu
hamil harus makan 4-5 kali sehari atau satu kali lebih banyak dari
sebelum hamil dan diselingi dua kali makan cemilan kacang-kacangan,
namun dengan pengalaman yang lalu, makanan yang kukonsumsi “lari” semua
ke bayiku….aku berusaha menjaga diri.
Hasilnya, alhamdulillah
Akhsan lahir dengan berat ‘hanya 3400 gr’ sehat dan dimudahkan dalam
persalinan spontan. Tak sampai enam bulan setelah melahirkan, berat
badanku sudah kembali pada kisaran angka normal 40-44 kg saja.
Saat
hamil Abbad, anak ketiga. Prinsip kehati-hatian yang kupakai saat hamil
Akhsan kembali kulakukan. Sampai minggu ke 34, semua berjalan baik
saja. Memasuki minggu ke-35, perutku tak berhenti kontraksi. Kondisi
darurat aku periksakan ke dokter kandungan dekat rumah, aku mendapat pil
pereda kontraksi dan dianjurkan untuk bedrest di rumah.
Anjuran
dokter aku lakukan, tapi tentu saja bedrest total tak dapat kulakukan.
Dua kurcaci kecil-ku membutuhkan perhatian, meskipun saat itu suamiku
sudah meluangkan waktu untuk mengurusi keduanya.
Dua hari
bedrest di rumah tak berhasil, malam ketiga kontraksi menghebat, paginya
setelah anak-anak berangkat sekolah dengan rasa sakit tak tertahankan
aku diantar ke rumah sakit.
Saat itu ternyata aku sudah buka-5,
karena usia kehamilanku belum mencukupi, dan ukuran bayiku masih terlalu
kecil, dokter menganjurkan untuk mempertahankan bayiku agar tidak lahir
prematur.
Alhasil aku harus bedrest total di rumah sakit. Dua
hari di rumah sakit dan kandunganku sudah membaik, aku pulang ke rumah
dengan pesan serius untuk tidak melakukan aktivitas yang terlalu berat.
Akhirnya, aku mengambil cuti lebih awal dari rencana dan memanfaatkan betul waktu itu untuk beristirahat.
Saat
jeda waktu itulah, aku tak lagi mengindahkan aturan makan yang aku
patuhi sebelumnya. Saat rasa lapar hadir, aku melahap yang ingin
kumakan.
Saat itu yang ada dalam pikiranku “Tak apalah, toh saat terakhir periksa besar bayiku masih dalam hitungan normal”
Rasa laparku kuhilangkan dengan makan dan makan, seperti saat kehamilan pertama dulu.
Akhirnya, mundur satu hari dari perkiraan lahirnya. Si kecil Abbad lahir dengan ukuran yang tidak kecil. 4150 gram…
Belum
lagi sampai usia Abbad 4 bulan, berat badanku sudah kembali ke kisaran
40-44 kg. Sampai-sampai tiap kali aku membawa Abbad, komentar yang
sering muncul adalah “Walah…anaknya guendut kok ibunya kurus, kasian
banget nggendongnya !”
Dan kembali pertanyaan seputar “rahasia” menurunkan berat badan selalu ditanyakan.
Sejujurnya aku tidak bisa memberi jawaban pasti, hanya beberapa kemungkinan yang bisa jadi menjadi penyebabnya :
-
Bisa jadi karena aku menyusui anak-anakku (ASI eksklusif untuk Sakha
selama 6 bulan, Akhsan 4 bulan dan Abbad 5 bulan), kemudian melanjutkan
tetap menyusui sambil memberi mereka P-ASI sampai usia menjelang 2
tahun…karena setelahnya aku langsung hamil (lagi).
- Mungkin
karena meskipun ada asisten (baca=pembantu) di rumah, aku bukan model
orang yang duduk diam memangku bayiku. Apa yang bisa kubantu kerjakan,
pasti aku kerjakan.
- Atau, kalau ada yang menyanggah bahwa point
satu dan dua di atas sudah pula mereka kerjakan tapi badan tetap
melar….jawaban paling mudah adalah, Jatah badanku dari Alloh memang
seperti ini. Lain ladang lain belalang, lain orang lain berat badan.
Bagaimanapun
aku mensyukuri apa yang diberikan untukku, buat yang berbodi bule
(meminjam istilah de’ Pama untuk menghaluskan kata “subur”), asal sehat
tak apalah agak subur…karena dari lubuk hatiku yang paling dalam
sebenarnya aku pengen juga badanku agak “berisi”. Halah….tetep “rumput
tetangga nampak lebih hijau dari rumput sendiri”
Ada yang memberi saran “Kalau ingin gemuk, hamil lagi aja…”
Aku jawab dengan wajah setengah serius setengah blo’on “MAKSUDNYA..?”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Kemarin membaca surat elektronik seorang warga Jogja untuk Pak Wali tentang Pelecehan di Balaikota yang lengkapnya ada di sini . Sempat me...
-
Pernahkah anda (dengan iseng atau sengaja) memperhatikan bentuk kepala orang ? Sebelumnya, aku tak pernah serius memperhatikan kepala oran...
-
'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah' SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya. Segera s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar