Rabu, 29 Februari 2012

Kandang Besar Yang Kosong

Beberapa hari yang lalu, saat mengganti air minum untuk Cincila dan Ter Imo, pasangan hamster di rumah, aku melihat keduanya langsung berebut meminum air segar yang kusodorkan. Tampak asik dan rukun mereka, setelah kehilangan ketujuh anaknya. (Wah, aku belum sempat menuliskan ya, kronologis kematian anak-anak cincila. Suatu saat, pasti akan kutuliskan, singkatnya lima ekor dimakan ibunya saat masih merah, satu ekor dimakan saat sudah bisa memanjat-manjat kandang, dan satu lagi mati kedinginan setelah kusapih dari induknya karena aku khawatir Imo kecil akan jadi korban si induk berikutnya...we malah mati, sedihnya)

Melihat hanya mereka berdua dalam kandang besar bersusun tiga yang sudah kusiapkan untuk keluarga besar, tiba-tiba aku teringat bapak dan ibuku di rumah (Nuwun sewu nggih Bu, Pak...bukan maksud hati menyamakan Ibu dan Bapak dengan hamster...tapi pikiran ini terlintas begitu saja)

Aku membayangkan, Bapak dan Ibuku yang membesarkan 8 dari sepuluh anaknya (yang 2 meninggal saat dilahirkan), kemudian setelah semua anaknya menikah, beliau berdua kembali seperti dulu....berduaan lagi . (Untungnya saat ini ada seorang kakak - dengan suami dan dua orang anaknya- yang sebenarnya berdomisili tetap di Semarang, tinggal di rumah ibu karena sang suami ditugaskan di Magelang)
Aku membayangkan, betapa riuhnya rumah Bapak-Ibu dulu, ketika kami semua masih berada di rumah. Satu anak laki-laki diiringi tujuh gadis yang manis-manis, reriungan di rumah dengan canda dan tawa (lengkap dengan perkelahian tentu saja) .
Ketika satu demi satu anak-anak meninggalkan rumah (untuk sekolah, bekerja dan kemudian berkeluarga), keriuhan itu tetap ada pada waktu-waktu tertentu. Lebaran, liburan dan saat acara pernikahan satu demi satu anak-anak bapak dan ibu.

Menbayangkan masa-masa dulu, menyenangkan dan (sepertinya) menjadi waktu yang cukup berat bagi bapak dan ibu (bayangkan memberi makan kami yang selera makannya yahud-terutama aku, menyekolahkan, merawat saat sakit dan menghadapi kebandelan kami semua yang bervariasi kadar dan intensitasnya).
Sepanjang ingatanku, Bapak dan Ibu tak pernah nampak bermuram durja dan mengeluh di depan anak-anaknya, meski saat aku mulai besar dan mulai mengerti ada saat-saat dimana mereka berdua tampak berpikir keras untuk kami. Aku ingat ada saat ibu dan bapak menjual sepeda, menukar motor baru kami dengan motor tua, menjual tanah....untuk biaya kuliah kami semua.
Meski saat kakak-kakaku yang lebih dulu bekerja kemudian membantu bapak ibu, beribu acungan jempol sepertinya tak cukup untuk mereka berdua. Aku merasakan baru punya anak tiga saja seperti ini adanya.

Teringat aku, saat mencari tahu kenapa ibu hamster memakan anaknya. Salah satu alasannya adalah karena naluri hamster yang merasa anaknya terancam oleh dunia luar, dan daripada terancam...mending dimakan duluan.

Untunglah ibu dan bapak merawat kami dengan begitu rupa, kami diberi kepercayaan untuk berada di dunia luar dengan bekal disiplin, kerja keras dan penanaman bahwa ada Alloh yang Maha Segala.

Tak bisa menulis panjang lagi aku disini, hanya ucapan terimakasih untuk Bapak dan Ibu, terimakasih untuk segala yang telah kami terima yang takkan habis kami sebutkan satu demi satu.

Tak kan bisa kami membalasnya, hanya doa untuk ibu dan bapak:
"Ya Alloh ampunilah dosa ku dan dosa kedua orang tuaku, dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil"..Amiin

Ibu, Bapak...maafkan segala kesalahan anjas dan maturnuwun sanget.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem