Beberapa hari yang lalu, saat mengganti air minum untuk Cincila dan Ter
Imo, pasangan hamster di rumah, aku melihat keduanya langsung berebut
meminum air segar yang kusodorkan. Tampak asik dan rukun mereka,
setelah kehilangan ketujuh anaknya. (Wah, aku belum sempat menuliskan
ya, kronologis kematian anak-anak cincila. Suatu saat, pasti akan
kutuliskan, singkatnya lima ekor dimakan ibunya saat masih merah, satu
ekor dimakan saat sudah bisa memanjat-manjat kandang, dan satu lagi mati
kedinginan setelah kusapih dari induknya karena aku khawatir Imo kecil
akan jadi korban si induk berikutnya...we malah mati, sedihnya)
Melihat hanya mereka berdua dalam kandang besar bersusun tiga yang
sudah kusiapkan untuk keluarga besar, tiba-tiba aku teringat bapak dan
ibuku di rumah (Nuwun sewu nggih Bu, Pak...bukan maksud hati menyamakan
Ibu dan Bapak dengan hamster...tapi pikiran ini terlintas begitu saja)
Aku membayangkan, Bapak dan Ibuku yang membesarkan 8 dari sepuluh
anaknya (yang 2 meninggal saat dilahirkan), kemudian setelah semua
anaknya menikah, beliau berdua kembali seperti dulu....berduaan lagi .
(Untungnya saat ini ada seorang kakak - dengan suami dan dua orang
anaknya- yang sebenarnya berdomisili tetap di Semarang, tinggal di rumah
ibu karena sang suami ditugaskan di Magelang)
Aku membayangkan, betapa riuhnya rumah Bapak-Ibu dulu, ketika kami
semua masih berada di rumah. Satu anak laki-laki diiringi tujuh gadis
yang manis-manis, reriungan di rumah dengan canda dan tawa (lengkap
dengan perkelahian tentu saja) .
Ketika satu demi satu anak-anak meninggalkan rumah (untuk sekolah,
bekerja dan kemudian berkeluarga), keriuhan itu tetap ada pada
waktu-waktu tertentu. Lebaran, liburan dan saat acara pernikahan satu
demi satu anak-anak bapak dan ibu.
Menbayangkan masa-masa dulu, menyenangkan dan (sepertinya) menjadi
waktu yang cukup berat bagi bapak dan ibu (bayangkan memberi makan kami
yang selera makannya yahud-terutama aku, menyekolahkan, merawat saat
sakit dan menghadapi kebandelan kami semua yang bervariasi kadar dan
intensitasnya).
Sepanjang ingatanku, Bapak dan Ibu tak pernah nampak bermuram durja
dan mengeluh di depan anak-anaknya, meski saat aku mulai besar dan mulai
mengerti ada saat-saat dimana mereka berdua tampak berpikir keras untuk
kami. Aku ingat ada saat ibu dan bapak menjual sepeda, menukar motor
baru kami dengan motor tua, menjual tanah....untuk biaya kuliah kami
semua.
Meski saat kakak-kakaku yang lebih dulu bekerja kemudian membantu
bapak ibu, beribu acungan jempol sepertinya tak cukup untuk mereka
berdua. Aku merasakan baru punya anak tiga saja seperti ini adanya.
Teringat aku, saat mencari tahu kenapa ibu hamster memakan anaknya.
Salah satu alasannya adalah karena naluri hamster yang merasa anaknya
terancam oleh dunia luar, dan daripada terancam...mending dimakan
duluan.
Untunglah ibu dan bapak merawat kami dengan begitu rupa, kami diberi
kepercayaan untuk berada di dunia luar dengan bekal disiplin, kerja
keras dan penanaman bahwa ada Alloh yang Maha Segala.
Tak bisa menulis panjang lagi aku disini, hanya ucapan terimakasih
untuk Bapak dan Ibu, terimakasih untuk segala yang telah kami terima
yang takkan habis kami sebutkan satu demi satu.
Tak kan bisa kami membalasnya, hanya doa untuk ibu dan bapak:
"Ya Alloh ampunilah dosa ku dan dosa kedua orang tuaku, dan
sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil"..Amiin
Ibu, Bapak...maafkan segala kesalahan anjas dan maturnuwun sanget.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Kemarin membaca surat elektronik seorang warga Jogja untuk Pak Wali tentang Pelecehan di Balaikota yang lengkapnya ada di sini . Sempat me...
-
Pernahkah anda (dengan iseng atau sengaja) memperhatikan bentuk kepala orang ? Sebelumnya, aku tak pernah serius memperhatikan kepala oran...
-
'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah' SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya. Segera s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar