Rabu, 29 Februari 2012

KAN KUTITIPKAN KEMANA AMANAH INI ?

Anak adalah anugerah Allah SWT, tempat kita meneruskan cita-cita dan garis keturunan. Anak juga merupakan amanah, titipan harta yang paling berharga yang harus dijaga, dirawat dan dididik agar menjadi penyejuk hati.

Anak adalah amanah bagi orang tuanya, kami (aku dan suami) Alhamdulillah mendapatkan tiga anak cakep, lucu dan cerdas (ehm...ehm..).
Sejak sebelum mempunyai anak, aku berkeinginan, jika mendapatkan amanah itu, ku kan menjaganya sendiri, mengasuhnya sendiri di rumah, mendidiknya, menjadikanku madrasah pertama untuk anak-anakku.
Mengenalkan satu demi satu pertanda yang ada di dunia, mengajarkan langkah demi langkah, menguatkan kaki tuk menjejak setapak kehidupannya kelak.
Sebelum menikah, sampai menikah dan usia kandungan7 bulan aku masih bekerja di luar sampai kemudian aku memutuskan untuk untuk berhenti dan bersiap menyambut bayiku.
Ketika takdir membawaku harus kembali beraktivitas di luar rumah (motivasiku mengikuti test penerimaan kerja dulu mengingat perkataan ibuku "Cobalah ikut ", cerita lengkapnya akan kusampaikan di catatan tersendiri). Saat mendapat pemberitahuan kalau aku diterima bekerja, air mataku menitik...kupandang wajah Sakha yang berumur 9 bulan waktu itu. Kupeluk gadis kecilku, yang ada dalam benakku saat itu "Kan kutitipkan kemana amanah ini?"

Berdiskusi dengan suami, kami berdua berembug mencari pengasuh untuk Sakha.
Ada jeda waktu kurang lebih dua bulan sampai aku bekerja untuk mempersiapkan dan mendapatkan kandiddat yang tepat. Namun tampaknya tak mudah bagi Sakha, berada di bawah pengasuhan orang lain setelah berbulan lengket pada ibunya.
Tak mudah juga bagiku untuk menitipkan buah hatiku, permataku yang sangat berharga, amanah yang dipercayakan padaku kepada orang lain.

Sepuluh bulan usia Sakha, saat aku memulai aktivitasku. Dua bulan pertama, empat orang pengasuh berganti. Tak ada yang bertahan lama, dengan berbagai alasan (akan kuceritakan bagaimana lengkapnya suatu saat nanti...tunggu edisi 'kaderisasi PRT' ya..).
Akhirnya aku dan suami memutuskan untuk tak menggunakan pengasuh, solusi yang kami ambil adalah berbagi jadwal bekerja. Suamiku yang lebih fleksibel, mengambil jam kerja sore - malam atau pagi, kemudian berganti menjaga Sakha di pagi hari saat aku menjalankan jadwal rutin normal bekerja. Jika kami berdua tak bisa menepati kesepakatan jadwal, om-nya Sakha (adik suamiku yang satu kota dengan kami dan hampir menamatkan studinya) bisa kami mintai tolong menjaga Sakha.

Enam bulan hal ini berjalan, cukup nyaman bagi Sakha selalu di bawah pengawasan orang-orang yang sepaham dalam mendidiknya. (paling tidak kami selalu berdiskusi berusaha menyamakan cara mengasuh dan menghadapi Sakha). Namun cara ini cukup melelahkan aku dan suami (terutama suamiku) yang hampir tidak punya waktu tidur.

Berunding kembali, aku dan suami mencoba mencari alternatif untuk 'memihak-ketigakan' amanah yang sudah diberikan kepada kami. Mencari pengasuh lagi, menurut kami saat itu bukan ide yang bagus, rasanya seperti membeli kucing dalam karung.
Mungkin saat itu aku dan suami masih sama-sama tidak bisa berkompromi dengan cara pengasuhan anak yang beda dengan yang kami terapkan.
Mengandalkan pengasuh tidak menjadi pilihan kami (mohon maaf untuk para pengasuh profesional yang sudah mencurahkan segala kemampuannya untuk mengasuh anak orang lain).
Kami melirik alternatif menitipkan Sakha ke lembaga, kenapa lembaga ? alasan terkuat yang kami pikir masuk akal saat itu adalah, lembaga akan lebih profesional menangani anak-anak yang dititipkan padanya, lebih sistematis pola asuhnya, dan tidak akan ngambek atau tersinggung jika kami memberikan masukan, kritik dan saran.

Setelah keputusan itu, mulailah kami berburu referensi tempat penitipan anak, play group, full day school ...atau apapun istilahnya yang penting bisa kutiitipi anak selama jam kerja.
Enam tempat kami datangi, kami ajak Sakha turut serta untuk melihat reaksinya pada tempat baru.
Sebuah matriks kami buat untuk membandingkan tempat-tempat itu dengan komponen yang aku bandingkan antara lain : jarak, pola pengasuhan, rasio pengasuh, kenyamanan, kebersihan, fasilitas dan tentu saja harga.

Akhirnya, pilihan kami jatuhkan pada sebuah taman batita yang 'hanya' berisi 12 anak dengan rentang usia 1 - 2,5 tahun, tempatnya bersih dan nyaman, dengan satu kepala sekolah dan 4 pengasuh, berjarak 5 km dari rumah, tak terlalu ramai karena berada dalam komplek perumahan, mainan indoornya banyak, ada permainan outdoor yang nyaman, pengasuh yang lembut, meski dengan harga yang lumayan...tapi tak ada yang mahal untuk anak kita. Dengan perhitungan matematika manusia dan ucapan Bismillahirrahmanirrahiim, kami titipkan Sakha disana.

Bertambahnya usia Sakha dan jumlah anak (kelahiran Akhsan dan Abbad), membuat kami harus menyiapkan tempat penitipan amanah yang lain. Untuk Akhsan, hal yang sama berlaku, setelah dua orang pengasuh, setelah umur 2 tahun mengikuti jejak kakaknya.

Beranjak besar dari taman batita, menuju play group, TK dan saat ini akan SD, proses yang sama dalam memilih partner mengasuh anak tetap kami lakukan. Survey ke beberapa tempat, bertanya ke banyak orang, melihat keadaan dan membuat matriks perbandingan.

Sekarang Sakha dan Akhsan masih kami percayakan di salah satu sekolah islam terpadu yang meskipun sudah ku survei banyak tempat, baru ini yang pas di hati (menurut kami). Sedangkan Abbad satu setengah tahun terakhir ini bergabung dengan sebuah day care baru, dengan para pengelola muda yang masih menggebu menerapkan ilmu.....
Semoga kami tak menyia-nyiakan amanah-Mu Ya Alloh....

Catt: Untuk para ibu yang bisa mempertahankan pilihannya mengasuh langsung anak, mendampingi amanah di usia emasnya....beribu jempol untuk anda semua...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem