Rabu, 29 Februari 2012

B.A.J.*.*.U.R

Sore kemarin (seperti biasa) aku menemani anak-anak bersepeda. Sakha yang lagi seneng-senengya bersepeda roda dua, Akhsan dengan sepeda roda empat berwarna merah-nya dan Abbad semangat mendorong sepeda roda tiga (itung-itung latihan keseimbangan jalan).

Tujuan waktu itu melihat Moca-Moci, sepasang anjing kecil milik salah seorang tetangga. Berendeng-rendeng kami berempat beriringan ke arah utara rumah menuju titik tujuan. Sebelum sampai target, kami bertemu serombongan anak laki-laki (usianya seputaran kelas 3-5 SD).

Rupanya salah seorang dari mereka menemukan ular dan membunuhnya (maklum, rumah dekat sawah dan masih banyak pohon serta semak belukar)
Mas Kiki (si anak yang meng-eksekusi ular itu) kemudian menenteng sang ular dengan memegang ekornya bermaksud membuang bangkai ular itu ke jalan.

Saat di 'jinjing' tiba-tiba si ular bergerak lagi, Kiki melempar kembali si ular diikuti teriakan kaget teman-temannya.

Salah seorang penonton, si Har****, yang usianya seumura Sakha tiba-tiba berteriak dengan keras.
"Bajiguuuur, ulane isih urip!" (jawa=ularnya masih hidup) Kalimat itu diulangnya tiga kali dengan intonasi yang sama.

Beberapa anak yang lebih besar tersenyum-senyum mendengar umpatan itu sambil melirik-lirik padaku (aku satu-satunya orang dewasa disitu, mungkin mereka menunggu reaksiku)

Aku berusaha tidak merubah ekspresi wajahku, hanya berfikir dan membayangkan akan punya PR untuk menjelaskan kepada Sakha atau Akhsan yang (aku yakin) akan melontarkan pertanyaan tentang ini.

Malam harinya, setelah makan Sakha mengajukan pertanyaan yang sudah kuduga (rupanya Akhsan lebih berkonsentrasi mengamati si ular dan mungkin luput tak terlalu memperhatikan komentar-komentar yang disampaikan).

Sakha : "Ibu, bajigur itu apa sih?"
Ibu : "Mhmm, bajigur itu sejenis minuman."
Sakha : "Warnanya apa?"
Ibu : "Warnanya coklat, ada kolang-kalingnya, kayak wedang ronde..."
Sakha : " Kok Mas Har**** tadi bilang bajigur itu maksudnya apa? liat ular kok ngomongin minuman?"

Uh uh.....aku merasa Sakha sudah cukup besar untuk diajak bercerita soal umpatan.

Ibu : "Kak, bajigur itu nama minuman. Tapi kadang-kadang dipakai orang untuk mengumpat."

Sakha : "Mengumpat itu apa?"

Ibu : "Mengumpat itu apa ya....hampir sama dengan mengejek, tapi tidak sama persis (aku berfikir keras mencari kata yang pas). Bajigur itu hampir sama kalo kita bilang asssem.... (aku mengatakan dengan intonasi mengumpat), tapi bajigur itu kasaaar sekali. Ibu memilih tidak ngomong bajigur yang artinya asem."

Sakha : "Aku boleh nggak ngomong bajigur?"

Ibu : "Menurut ibu, kalau Kakak ngomong bajigur minuman (aku sampaikan dengan intonasi biasa), ya tidak apa-apa. Tapi kalau kakak ngomong bajiguuur (aku sampaikan dengan intonasi mengumpat), itu tidak baik. Menurut Kakak gimana? "

Sakha : "Oo....gitu, kapan-kapan aku mau nyoba minuman bajigur"

Ucap Sakha sambil berlalu mengambil kertas gambar dan crayonnya.

Malam hari, ketika anak-anak sudah tidur. Aku menceritakan hal itu pada suami, katanya
"Mhm....tapi disini, kata bajigur itu juga salah satu bentuk keakraban. Hanya dengan teman akrab, umpatan itu akan keluar."

Aku : "Mungkin iya, tetapi untuk anak seumuran Sakha, ibu pikir belum tepat ber-akrab-akrab dengan teman dengan pilihan kata bajigur. Masih banyak kalimat lain yang lebih baik."

Akui tak berusaha mensterilkan anak dari efek pergaulan, tapi mencoba menjaga dan menetralisir apa yang dibaca, dilihat dan didengar mereka.

Jadi ingat kebiasaan bangsawan Arab jaman dahulu yang 'segitunya' menjaga kebakuan bahasa arab anak-anak mereka dengan mengirimkan anak-anak ke dusun supaya hidup di alam yang segar dan mempelajari bahasa Arab yang baku.

Dan sepertinya, "Bajiguuuur..." tidak masuk dalam ranah tatanan baku bahasa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem