Seorang kawan bertanya, kenapa catatan yang kubuat hanya bertema anak-anak dan keluarga, kenapa tidak yang lain…
Kenapa bukan ulasan politik atau persoalan perempuan di dunia kerja atawa kritisi sosial.
Ingin aku berkilah dengan menjawab dengan sadis, “Para pengamat
politik itu pandai bicara, pintar mengkritisi …tapi mereka akan
bertindak sama (bahkan lebih buruk) dengan yang dikritiknya jika
dikemudian hari menempati posisi yang sama.”
Atau dengan jawaban sok bijak, “Menulis tentang orang lain belum
tentu benar, bisa menimbulkan intrepretasi yang tidak diharapkan, lebih
banyak mudharat daripada manfaatnya” atau sederet alasan lainnya.
Sebenarnya, sejujurnya, jawaban yang paling tepat adalah “Aku belum mampu”
Saat ini, aku masih dalam taraf belajar menulis, belajar menuangkan
pikiran dan merangkai kata menjadi sebuah tulisan yang minimal bisa
dimengerti oleh orang lain.
Karenanya topik yang berani kutulis adalah hal yang (menurutku) paling dekat dan paling kumengerti.
Sampai saat ini, hal yang paling dekat denganku adalah anak-anak dan
uba rampe-nya. Statusku yang bekerja di luar rumah, tidak bisa
menggeser kedekatanku (paling tidak - keingindekatanku) dengan
anak-anak. Pekerjaan seperti apapun, peluang sebagus apapun, jika ada di
persimpangan yang menjauhkanku dengan anak-anak, selalu kuupayakan
untuk kuhindari. Jikalau tak bisa lagi dihindari, akan aku siasati (dan
siasat disini pastinya berkonotasi positif berpihak anakku dan negatif
untuk pihak yang lain).
Jadi, cerita yang (mungkin menurut orang lain) remeh-temeh inilah
yang bisa kutuliskan. Paling tidak, catatan yang kubuat membuat Sakha
(yang mulai belajar membaca), bersemangat membaca tulisan tentang diri
dan adik-adiknya.
Ada satu petikan dari catatan seorang teman
Petikan Tulisan Bapak Quraish Shihab :
“Ibu” dalam bahasa Al-Qur’an dinamai dengan umm. Dari akar kata yang
sama dibentuk kata imam [pemimpin] dan ummat. Kesemuanya bermakna “yang
dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada
umat, pemimpin, dan ibu untuk diteladani. Umm atau “ibu” melalui
perhatiannya kepada anak serta keteladanannya, serta perhatian anak
kepadanya, dapat menciptakan pemimpin-pemimpin dan bahkan dapat membina
umat. Sebaliknya, jika yang melahirkan seorang anak tidak berfungsi
sebagai umm, maka umat akan hancur karena pemimpin [imam] yang pantas
diteladani tidak akan lahir.
Aku berdoa semoga bisa menjadi seorang ibu, seorang umm, yang sesuai dengan akar katanya.
Bisa jadi (dan hampir pasti) aku bukanlah ibu yang sempurna (masih
sering menyetel nada dengan suara tinggi saat menghadapi anak-anak saat
aku sudah low bat sementara batre anak-anak masing berdenyar dengan
kuat).
Aku hanya berharap, catatanku bisa merekam sepotong pengalaman
hidupku, menjadi seorang ibu, mengasuh anak-anak yang kucoba dengan
sebaik yang kumampu.
Kelak, dikemudian hari…ketika anak-anak beranjak dewasa, bisa
tertawa bersama membaca kekonyolan ibunya saat belajar menapaki hidup
bersama mahluk-mahluk manis yang diamanahkan Alloh padanya.
Lho…kok ujungnya ga nyambung sama pangkalnya ? …Gapapalah…namaya
juga lagi belajar, judulnya juga rasan-rasan (Hayah…alasan maneh)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
-
Kemarin membaca surat elektronik seorang warga Jogja untuk Pak Wali tentang Pelecehan di Balaikota yang lengkapnya ada di sini . Sempat me...
-
Pernahkah anda (dengan iseng atau sengaja) memperhatikan bentuk kepala orang ? Sebelumnya, aku tak pernah serius memperhatikan kepala oran...
-
'Bunda sudah di bandara, sebentar lagi sampai rumah' SMS yang dikirim Risma semenit lalu ke ponsel Bima, suaminya. Segera s...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar