Rabu, 29 Februari 2012

Belahan Jiwa

Catatan-catatanku sebelumnya, kalau diibaratkan film, sebagian besar (hampir semua) pemeran utamanya adalah anak-anak. Suamiku, bapaknya anak-anak hanya muncul sebagai peran pembantu atau bahkan figuran saja.

Sekarang saatnya figuran memulai debut-nya menjadi pemeran utama, mumpung sedang ada moment yang tepat, ulang tahun suamiku.
Mengenang hampir tujuh tahun yang lalu, tahun pertama ulang tahun Mas Radat (begitu aku memanggil suamiku waktu itu) bersamaku. Waktu itu, aku membuatkan kue tart untuk suamiku, dengan niat ingsun menyenangkan suami, aku yang tak pernah (dan tak suka) membuat kue, belajar sambil praktek langsung membuat cake, kemudian menghiasnya dengan sepenuh cinta.
Kue tart itu kubuat menjelang akhir pekan, saat jadwal kepulangan suamiku (di awal pernikahan kami sempat mengalami long distance marriage).
Aku bayangkan kejutan itu akan menjadi kejutan yang manis untuk suamiku, dia merasa tersanjung kemudian memujiku sebagai istri solehah yang pandai menyenangkan hati suami (tetep pamrih hehehehe).
Reaksi yang ku dapat saat itu tak kuduga, ulang tahun bagi suamiku bukan sesuatu yang istimewa, tak pernah ada perayaan dan tak biasa dengan ucapan selamat (sesuatu yang mulai mempengaruhiku kemudian).
“Aneh-aneh wae” Kata suamiku saat itu.

Untuk tahun ini, jelas aku tidak akan mengulang kesalahan membuat kue ulang tahun. (Sebenarnya, alasan utamaku tidak membuat kue adalah karena di rumah tidak ada peralatan untuk membuatnya. Kue tart dulu kubuat dirumah ibuku, yang lengkap segala mixer, oven dan loyang-loyangnya).

Dalam bahasa jawa, pasangan hidup, suami atau istri biasa disebut dengan garwa atau sigaraning nyawa, terjemahan mudahnya adalah separuh jiwa.
Itu artinya suami melengkapi istri, istri melengkapi suami, saling melengkapi separuh-separuh untuk menjadi satu utuh.
Seperti juga disebutkan suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami. Pakaian, bisa membuat orang tertutup kemaluannya, tampak lebih cakap, lebih gagah, lebih terhormat.
Tapi pakaian juga bisa membuat orang menjadi aneh, membuat orang lain mengernyitkan dahi ketika memandangnya, atau bahkan dijauhi karena pilihan berpakaiannya.

Pakaianku (baca=suamiku) mempunyai banyak peran dalam hidupku (tentu saja dengan tidak menafikan ibu dan bapak, pengukir jiwa ragaku). Yang kumaksud adalah peranan setelah pernikahan kami.

Suamiku, ada disaat aku membutuhkan (catatan=Ibu Jangan Mati), meskipun kadang juga tidak berada di tempat saat kondisi darurat. Jika aku mengalami kondisi darurat tanpa suami, kumaknai dengan “Ini adalah momen untuk mendewasakan diri, menjadi lebih kuat, lebih tabah, lebih tangguh dan bersabar”

Suamiku mendukung (hampir) seluruh keputusanku, utamanya keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan.
“Ibu yang lebih paham kondisi di kantor” Begitu biasanya ucapan suamiku, bila aku ‘melaporkan’ sesuatu.
Sedangkan keputusan tentang anak, biasanya kami diskusikan, kadang dengan alot, kadang dengan mudah, kadang diiringi cucuran air mata (air mataku tentu saja).

Suamiku menyodorkan sebuah mimpi yang menurutku mustahil melakukannya
‘Menulis sebuah buku’ dia memotivasiku untuk menulis, menulis dan menulis, meski saat ini mimpi itu belum terwujud, setapak demi setapak sedang kulangkahkan kaki ke arah sana.
“Ibu bisa menulis” kata suami meyakinkanku.
Pada akhirnya aku mencoba menulis, menulis dan menulis.
Dan suamiku terus memberikan acungan jempol dan dorongan untuk bersemangat.

Suamiku tentu saja mempunyai (banyak) kekurangan, karena aku menikahi manusia, bukan malaikat. Tapi karena aku adalah pakaiannya, tentu saja akan aku tutupi kekurangannya (Gak usah aku tulis disini, yang kenal mas Radat pasti tahu a, b, c, d jeleknya suamiku)

Belahan Jiwaku, suamiku, motivatorku, fasilitatorku, bapak dari anak-anakku….
I Love You
Selamat Ulang Tahun
11 Februari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan Asem